Memayu Hayuning Kamardikan yang Luntur di Tengah Gonjang-Ganjing Negeri

  • Whatsapp
Foto: Ketua Perkumpulan Pendopo Semar Nusantara. (Doc: Rony)

BANYUWANGI,Beritalima.com– Hari Kemerdekaan ke-80 tahun ini, suasana kebangsaan di jagad Nusantara justru dirundung keresahan. Simbol-simbol nasional yang semestinya menjadi penanda semangat persatuan, kini kalah pamor oleh kibaran bendera-bendera asing dan simbol budaya populer. Fenomena itu mencerminkan kekecewaan rakyat terhadap arah kebijakan negara yang dinilai kian jauh dari kepentingan wong cilik.

Kebijakan pemerintah yang terus menambah beban rakyat, mulai dari pajak tak wajar, penyitaan lahan menganggur, hingga pemblokiran rekening yang tak terpakai, menjadi sorotan. Di saat lapangan kerja makin sempit dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) terus menghantui, rakyat justru dihadapkan pada aturan-aturan yang dianggap tidak berpihak.

Bacaan Lainnya

“Negeri ini seperti panggung dagelan. Pejabat sibuk membuat program, tapi bukan untuk rakyat. Malah menindas,” ujar Uny Saputra dari Pendopo Semar Nusantara dalam sebuah refleksi kebangsaan berjudul Memayu Hayuning Kamardikan.

Ungkapan Jawa tersebut memiliki makna mendalam. Memayu berarti menjaga atau merawat, hayuning berarti keindahan dan keselamatan, sedangkan kamardikan berarti kemerdekaan. Secara utuh, “Memayu Hayuning Kamardikan” dimaknai sebagai upaya menjaga dan merawat keindahan serta kesejahteraan kemerdekaan agar tetap membawa keselamatan bagi semua rakyat, bukan hanya segelintir golongan.

Namun, menurut Uny, kemerdekaan yang sejatinya diwariskan para pejuang kini hanya dinikmati segelintir pejabat dan pemodal. Rakyat kecil masih terbelenggu dalam kemiskinan struktural, seakan belum benar-benar merdeka lahir dan batin.

Di tengah situasi itu, bulan Agustus yang biasanya penuh gegap gempita perayaan, berubah menjadi simbol kesedihan. Udan tangis air mata rakyat menggantikan pesta kembang api. Nilai sakral kemerdekaan pun kian pudar, terkikis perilaku para pemimpin yang abai terhadap penderitaan masyarakatnya.

“Rasa mardika seolah hanya milik mereka yang bergelimang harta dari keringat rakyat. Sementara wong cilik, harus menahan derita tanpa tahu sampai kapan,” tutur Uny dengan nada getir.

Peringatan kemerdekaan ke-80 tahun 2025 ini, menurutnya, mestinya menjadi momentum untuk kembali menata arah bangsa. Bukan sekadar ritual tahunan dengan bendera berkibar di jalanan, melainkan menghidupkan kembali esensi memayu hayuning kamardikan, menjaga keindahan dan kesejahteraan kemerdekaan bagi semua anak bangsa.

Uny menutup pesannya dengan sebuah harapan, “Semoga para pemimpin negeri ini kembali sadar, bahwa kekuasaan hanyalah titipan. Sudah saatnya kemerdekaan benar-benar dirasakan rakyat kecil. Mardika sejati bukan soal upacara dan simbol, tapi ketika wong cilik bisa hidup tanpa takut, tanpa lapar, dan tanpa kehilangan harapan.” kata Uny.

Di akhir pesannya, Uny menegaskan, “Delapan puluh tahun sudah bangsa ini merdeka, tapi wong cilik masih terbelenggu lapar dan nestapa. Semoga suatu hari nanti kemerdekaan tak lagi hanya berkibar di tiang bendera, melainkan benar-benar hidup di dada setiap rakyat kecil.” harapannya. (Ron//B5).

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait