Oleh : Muh Fauzi Muflih
Mahasiswa Komunikasi Unismuh Makassar
Pada masa awal, sebelum merebak Covid-19 di Indonesia. Pemerintah tampak tidak menanggapi secara serius jika wabah ini akan masuk di Indonesia.
Para pejabat pemerintahan justru melontarkan kalimat guyonan yang cenderung meremehkan Corona ini kemudian justru membangun opini dan psikologi publik bahwa Indonesia akan aman-aman saja.
Ketika virus tersebut akhirnya menyebar di Indonesia, menyebabkan masyarakat tidak siap menghadapi, dan cenderung panik dan kaget. Ini di sebabkan lemah dan lambannya komunikasi yang di bangun oleh pemerintah.
Hal ini juga justru menggambarkan bahwa gagalnya pemerintah dalam menyiapkan sistem kesehatan dari awal, terwujud dalam ketidaksiapan rumah sakit dalam menghadapi virus Covid-19 ini.
Dari hasil riset Lembaga Penelitian, pendidikan, Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) memaparkan data hasil riset blunder komunikasi politik yang di jalin oleh presiden dan kabinetnya
Pada tempo kurang dari 100 hari sejak wabah Corona menjadi isu dan ancaman di Indonesia mulai akhir Januari 2020, telah ada 37 pernyataan blunder di keluarkan Presiden Jokowi dan kabinetnya dalam penanganan Covid-19, terdiri dari 13 pernyataan blunder di masa pra krisis. Ada 4 pernyataan blunder di awal krisis
dan 20 pernyataan blunder di masa krisis.
Masa pra krisis, atau sebelum terjangkitnya Indonesia virus Covid-19. Pada fase ini pemerintah menganggap remeh Covid-19, Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto mengatakan bahwa “karena perizinan di Indonesia berbelit-belit maka virus corona tak bisa masuk”.
Kemudian hadir pula komentar menohok dari Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengatakan bahwa ini cuman corona, mobil corona kan sudah pergi dari Indonesia.
Kemudian Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo mengatakan “Apa mungkin karena kita sering minum jamu? Atau mungkin karena kita sudah kebal dari dulu karena sudah sering kena batuk pilek, jadi begitu ada virus dikit saja virusnya mental”.
Statement bersifat hipotesis (dugaan) terus saja berseliweran di pejabat pemerintahan, tidak ada salahnya melakukan hipotesis, namun perlu data empiris bukan kemudian mengeluarkan statement yang tidak memiliki data akurat yang cenderung meremehkan dan berbuah blunder.
Kemudian pada masa awal krisis, pada masa ini Presiden Jokowi mengumunkan bahwa ada 2 WNI positif Covid-19, Namun pemerintah mengatakan kita harus tenang, jangan khawatir, alih-alih ingin menenangkan masyarakat, tanpa ada respon yang begitu serius.
Bahkan Wapres justru melontarkan candaan bahwa “susu kuda liar bisa tangkal virus corona” pada masa awal krisis ini kembali terjadi blunder.
Kemudia pada masa krisis, hal ini di awali ketika Presiden Jokowi mengumumkan bahwa Covid-19 menjadi bencana nasional.
Pada masa ini banyak polemik yang terjadi, mulai dari polemik darurat sipil, kepanikan masyarakat, simpang siur informasi mengenai Covid-19, hingga krisis ekonomi terjadi.
Menko Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengeluarkan statement yang cenderung meremehkan, menurutnya cuaca Indonesia memiliki ekuator panas dan juga tinggi, untuk Covid-19, ini tidak kuat.
Juru bicara Pemerintah Penanganan Covid-19 Ahmad Yurianto mengeluarkan statement kontroversi soal si kayak dan si miskin yang kemudian menuai banyak kecaman, lagi-lagi blunder terjadi.
Tak berhenti sampai di situ polemik tentang boleh mudik atau tidak kian menjadi sebuah hal yang membingungkan di karenakan adanya tarik ulur kebijakan serta statement yang berbeda-beda dari presiden dan kabinetnya.
Di saat Presiden Jokowi mengeluarkan kebijakan larangan mudik, justru menteri perhubungan mengeluarkan kebijakan pengaktifan kembali moda transportasi umum (dengan segala aturannya) dengan dalih relaksasi ekonomi.
Adanya kebijakan tersebut justru membuat carut marut kebijakan sebelumnya, pemerintah telah mengalokasikan dana melalui APBD masing-masing daerah, artinya ada upaya preventif mengenai krisis ekonomi terhadap masyarkat terdampak, lantas mengapa kebijakan pengaktifan kembali moda transporasi di akui sebagai relaksasi ekonomi.
Tinggal bagaimana pemerintah menguatkan kebijakan sebelumnya bukan malah terjadi tumpang tindih dan cenderung “setengah-setengah” dalam mengambil kebijakan.
Sebaiknya Pemerintah fokus dulu terhadap satu kebijakan, bukan malah membuat kebijakan baru yang justru akan berpotensi menjadi masalah baru yang akan mengakibatkan kondisi yang stagnan.
Ada noise terjadi di pola komunikasi politik pemerintah, sedikit voice banyak noise di publik (Abdul Gaffar Karim). Hal ini juga di tengarai adanya kondisi egosektoral membuat dampak politik di Indonesia berjalan secara inkonsisten.
Hal ini di picu oleh adanya kalangan pemangku kekuasaan yang ingin menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya, hal ini di lakukan untuk membangun wajah elektabilitas di masyarakat.
Komunikasi berkualitas memerlukan konsistensi, sehingga dapat meciptakan integritas dan kredibilitas pada suatu kebijakan. Artinya, kebijakan di sampaikan oleh presiden perlu adanya proses legitimasi kebijakan.
Sehingga dengan adanya legitimasi tersebut para kabinetnya melakukan improvisasi dengan mengeluarkan kebijakan yang se irama. bukan justru mengeluarkan kebijakan lain, yang cenderung bertentangan.