SURABAYA, Beritalima.com|
Momentum pergantian tahun telah dicederai dengan maraknya kasus kekerasan seksual pada anak. Menurut pemberitaan daring, terdapat sejumlah kasus yang sudah terjadi di beberapa kota seperti Sleman, Pandemangan, Gunung Kidul, serta Konawe.
Bahkan, dalam data yang dirilis Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) tahun 2019, tercatat sebanyak 350 kasus. Sebagian di antaranya berlangsung di sekolah.
Hal tersebut tentu memantik keprihatinan dari banyak pihak, khususnya para orang tua. Sebab, modus operandi yang dilakukan pelaku sangat beragam dan dapat berakibat fatal bagi kondisi fisik maupun psikologis anak.
Oleh karena itu, diperlukan sebuah upaya yang bersifat preventif guna meminimalisir sekaligus mencegah kekerasan seksual. Salah satunya dengan memberikan pendidikan terkait seksualitas pada masa yang tepat.
Tidak hanya anak yang mempunyai perkembangan normal, pendidikan seksualitas juga perlu diberikan kepada anak penyandang autistik. Pernyataan itu dibenarkan oleh pengajar asal Fakultas Psikologi (FPsi) Universitas Airlangga, Muryantinah Mulyo Handayani, S.Psi., M.Psych (Ed & Dev).
Ia menjelaskan bahwa anak autistik memiliki hambatan untuk memahami konteks sosial, termasuk saat mendapat pelecehan seksual.Autisme atau Autism Spectrum Disorder (ADS) adalah gangguan neurodevelopmental yang kompleks dan melekat pada diri individu sepanjang hayatnya.
“Hal itu ditandai dengan hambatan dalam melakukan komunikasi sosial, juga adanya minat atau perilaku yang terbatas serta berulang-ulang. Hingga kini, belum dapat dipastikan mengenai penyebab pasti dari autisme,” ujar pengajar yang akrab disapa Antin ini.
Meskipun begitu, terdapat beberapa faktor yang berkontribusi terhadap risiko individu menunjukkan gejala-gejala autisme. Yakni, faktor genetik atau keturunan, faktor neurobiologis terdiri dari struktur dan fungsi otak yang abnormal, serta faktor lingkungan yang meliputi nutrisi, obat-obatan, juga polutan. Faktor genetik serta neurobiologis memberikan pengaruh sebesar 80%, sementara lingkungan sejumlah 20%.
“Upaya Memberikan Pendidikan Seksualitas Kepada Penyandang Autistik, Antin menuturkan, “Menjelang masa remaja, anak-anak autistik harus dipersiapkan untuk siap menghadapi pubertas melalui pendidikan seksualitas. karena mereka akan mengalami perkembangan dan perubahan yang sangat cepat, baik dari segi hormon, fisik, maupun emosi yang tidak stabil. Keadaan tersebut berpotensi menimbulkan rasa cemas, malu, kurang percaya diri atau merasa bermasalah dengan perubahan tubuhnya,”terangnya.
Perkembangan biologis serta seksualitas anak autistik tidak berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Jadi, sebaiknya diberikan pemahaman sejak awal, terutama saat anak mulai menunjukkan ketertarikan terkait masalah seksual atau saat tampak tanda-tanda awal pubertas berupa perubahan ciri-ciri kelamin sekunder. “Berikan pemahaman bahwa perubahan pada dirinya, seperti menstruasi, mimpi basah, dan ketertarikan ke lawan jenis, merupakan sesuatu yang wajar, “jelasnya.
Pendidikan seksualitas untuk anak-anak autistik memiliki bentuk yang beragam. Namun, pemberian informasi harus disesuaikan dengan kondisi anak sehingga mudah dipahami. Ada tiga strategi yang disarankan Antin kepada orang tua yang memiliki anak autistik. Yakni, menggunakan bahasa yang kongkrit dan jelas, menggunakan visual support, dan perilaku orang tua sebagai role model relasi mengenai relasi yang baik dengan pasangan.
Bisa dengan membacakan buku, bercerita atau ketika ngobrol santai saat kondisi dirasa nyaman untuk anak dan orang tua. “Jadi, orang tua dari anak autistik perlu belajar tentang autisme. Bisa dengan mengikuti seminar, pelatihan, membaca artikel atau buku, ataupun bertanya ke ahli guna memahami karakteristik anak autistik. Setelah paham, akan bisa mengembangkan pendekatan dan cara yang bisa diterima anak,”terang Antin.
Peminat bidang anak berkebutuhan khusus dan pendidikan inklusif ini membeberkan, terdapat sejumlah tahapan yang bisa diterapkan oleh orang tua, guru, dan terapis pada anak autistik untuk pendidikan seksualitas.
Pertama, anak memahami pubertas dengan mengenali bagian tubuh dan perubahannya. Kedua, anak memahami hal-hal yang umum maupun pribadi. Ketiga, anak paham cara menjaga kebersihan sekaligus merawat tubuh.
Tahapan berikutnya adalah memahami siklus menstruasi untuk anak perempuan serta memahami proses mimpi basah untuk laki-laki. Terakhir, anak dapat memahami mana sentuhan yang aman dan tidak aman. Berikan pemahaman pada anak bahwa hanya orang tua serta dokter saja yang berhak melihat atau menyentuh bagian tubuh pribadi anak. Yakni, meliputi bagian dada, pantat, bibir, juga di antara dua paha (alat kelamin).
Para orang tua perlu mengajarkan anak autistik untuk menolak, menjauh dan melaporkan pada orang dewasa yang mereka percaya, apabila ada orang selain orang tua dan dokter yang hendak menyentuh bagian tubuh pribadi mereka.
Selain itu, pendidikan seksualitas pada anak autistik memang memerlukan ketelatenan dan pendekatan agar anak dapat memahami informasi yang diberikan oleh orang tuanya, pungkas jebolan Monash University, Australia ini. (yul)