Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Sejak 1971 M, sebuah perusahaan kedai kopi terbesar di dunia “Starbuck” berdiri. Jaringan kopi global yang berkantor pusat di Seattle Washington USA ini, telah terbesar lebih dari 61 negara di dunia. Di Indonesia sendiri perusahaan yang didirikan pada tanggal 31 Maret lebih kurang 51 tahun lalu itu, sudah menyebar dengan jumlah 326 gerai, lebih tinggi dari Filipina yang hanya 204 gerai dan Thailand yang hanya 164 gerai.
Dari penulusuran di dunia maya dapat kita temukan informasi seputar kopi. Sebagai minuman berkhasiat dan berenergi, kopi pertama kali ditemukan oleh bangsa Etiopia di Benua Afrika sekitar 3000 tahun (1000 SM) yang lalu. Kopi kemudian terus berkembang hingga saat ini menjadi salah satu minuman paling populer di dunia yang dikonsumsi oleh berbagai kalangan masyarakat. Indonesia sendiri telah mampu memproduksi lebih dari 400 ribu ton kopi per tahunnya. Di samping rasa dan aromanya yang menarik, konon kopi juga dapat menurunkan risiko terkena penyakit kanker, diabetes, batu empedu, dan berbagai penyakit jantung (kardiovaskuler).
Menurut penuturan kopi dr. Samuel, dalam suatu acara di TV swasta, bahwa kopi ternyata ikut andil terhadap vitalitas pria. Akan tetapi, meskipun khasiatanya tidak berpengaruh secara langsung terhadap hormon testoteron pria, tetapi kopi mengandung kafein. Zat ini punya efek stimulant (merangsang). Dengan minum kopi pria lebih segar dan tidak “ngantukan” jika ketemu pasangannya sehingga lebih mudah timbul gairah. Dengan diminum tanpa gula, krimer, dan susu, diharapkan khasiat kafein bisa diperoleh. Oleh karena secangkir kopi mengandung kafein sekitar 80 mg, sementara batas konsumsi kefein tidak boleh 400 mg perhari, maka dalam sehari jangan sampai minum kopi lebih dari 5 cangkir, katanya.
Tetapi ingat dengan iming-iming khasiat menggiurkan kita perlu waspada. Berapa waktu lalu BPOM menemukan sejumlah Bandung dan Kabupaten Bogor yang dicampuri bahan kimia obat (Sildenafil dan Paracetamol).
Arus globalisasi dengan dukungan teknologi informasi, membuat acara minum kopi yang lazim disebut “ngopi” kini muncul seolah sebagai salah satu ‘agama baru’. Kehadiran kopi dengan berbagai kemasan menciptakan kebiasaan baru pada kahidupan manusia. Kini tradisi yang sebelumnya hanya dilakuakan oleh orang-orang tertentu ( biasanya orang tua) kini juga menghinggapi kaum muda, bahkan anak-anak remaja. Dengan gaya seperti orang yang sudah bisa mencari uang sendiri, sering anak-anak sekolah pada malam hari sampai larut malam kongko-konko di café. Kaum perempuan pun juga tidak ketinggalan. Tentu kita masih ingat kasus “kopi mirna” yang terjadi 6 Januari 2016. Seorang perempuan bernama Wayan Mirna Salihin meninggal akibat ngopi. Kopi yang ia tenggak yang ternyata tercampur racun sianida ini kemudian menewaskan perempua berusia 27 tahun itu. Indonesia, terutama dunia perkopian pun geger. Kasus itu pun akhirnya membuat terdakwa Jessica Kumala Wongso, teman ngopi almarhumah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (27-10-2016) diganjar 20 tahun penjara karena dianggap bersalah dan memenuhi unsur dalam Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang Pembunuhan Berencana.
Terlepas dari berbagai cerita baik positif maupun negatif dan dinamika mengenai “ngopi” di kafe, sebenarnya tradisi ini diam-diam juga dilaksanakan oleh para pejabat. Ketika mereka suntuk akibat penatnya pekerjaan atau karena ingin membahas urusan penting mengenai birokrasi, kita saksikan para pejabat baik sendiri maupun bersama sering ngopi di kafe-kafe tertentu. Kebiasan semacam ini tentu bisa dimaksimalkan ‘visi’ dan ‘misinya’. Tradisi ngopi yang kini terkesan ‘sembunyi-sembunyi’ mungkin justru perlu ‘dilegalkan’ menjadi tradisi berkala para pejabat. Rapat pada jam-jam dinas yang, di samping terasa kaku dan sering terasa penuh formalitas, bisa dilanjutkan dengan tradisi ngopi bareng. Ketika ngopi biasanya orang akan berbicara apapun secara lebih santai. Para pejabat dan bawahannya ketika rapat di kantor jam dinas, biasanya duduk di kursi rapat secara formal dan bicara dengan penuh ke-jaim-an. Dengan ngopi bareng para pejabat bisa berbicara lebih santai “ngalor-ngidul” tetapi tetap dalam konteks “ngurusi” rakyat. Dengan suasana santai dan durasi ngopi yang biasanya tidak terikat waktu tertentu, akan lebih membuka mata dan cakrawala pikiran para pejabat melihat dengan jernih situasi rakyat yang dia pimpin dengan penuh rileks pula.
Mengapa tradisi ngopi antar pejabat itu perlu, bahkan penting dibudayakan? Di samping alasan ekonomi, tradisi ngopi ini bisa menambah waktu kerja secara ektra dengan tanpa terasa. Dengan ngopi bareng, para pejabat bisa bekerja maksimal demi rakyat dengan penuh santai. Tradisi ngopi yang selama ini juga rawan bagi aktor-aktor dunia hitam (narkoba dan miras) dengan keikutsertaan para pejabat ‘kelayapan’ pada waktu tertentu di malam hari, juga bisa mengeliminasi dunia kejahatan. Dengan tradisi ngopi bareng hubungan lintas sektoral juga akan terbangun dengan penuh keakraban yang tidak sekedar basa-basi, melainkan dalam suasana ketulusan. Suasana keaakraban yang terbangun dengan suasana ketulusan ini juga akan lebih cepat melakukan kordinasi ketika akan memulai suatu ‘proyek’ pekerjaan tertentu.
Kita prihatin dengan yang terjadi selama ini. Ketika siang bolong di trafict light sering kita saksikan para gelandangan kumuh, pengamen mengecat badan, atau anak-anak kecil mengemis. Hampir seharian mereka berada di sana dan pada saat yang sama mobil pejabat juga lalu lalang di sana pula. Dalam benak kita, di kota sebesar ini dan banyak media mengapa keberadaan mereka seperti luput dari perhatian pejabat setempat. Dan, sering kita saksikan keberadaan orang-orang malang itu hanya beberapa meter dari kantor pemerintah atau dari kampus-kampus ternama tempat manusia-manusia pemikir. Melihat fenomena demikian kita pun sering mempertanyakan di mana kesaktian Pancasila yang di dalamnya memuat sila “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Atau, bagaimana tanggapan para dosen dan para guru besar yang sehari-hari bergulat dengan pemikiran persoalan-persoalan aktual itu?
Di era otonomi ini, peran para pemimpin wilayah sangat penting. Mengerahkan segenap stakeholders menjadi satu gerakan massif demi percepatan pelayanan merupakan langkah yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Hal tersebut bisa dimulai dengan membiasakan tradisi ngopi bareng secara berkala di luar jam-jam dinas. Selamat “ngopi ria”. Merdeka!