Membuka Kembali Etalase Wisata Banyuwangi

  • Whatsapp

BANYUWANGI, beritalima.com | Tabuhan kendang yang dipadu dengan bonang, kenong dan juga gongnya mengiringi langkah kaki Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Jenderal TNI Doni Monardo beserta rombongan ketika memasuki Sanggar Genjah Arum, Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Banyuwangi, Jawa Timur pada Jumat (26/6).

Tari Pitik-Pitikan dan Barong Kemiren turut menyambut kehadiran sang jenderal yang juga memikul tugas sebagai Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, panglima perang melawan virus korona.

Sesampainya di pelataran sanggar, Doni Monardo yang juga ditemani Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas, kemudian menyaksikan bagaimana ibu-ibu tua Suku Osing menumbuk padi menggunakan lesung (othek) dan alu, sehingga menciptakan suara ketukan yang dinamis ditambah dengan suara percikan biji kopi yang disangrai secara tradisional menggunakan wajan tanah liat di atas ‘pawon’.

Tari Pitik-Pitikan, Barong Kemiren dan seni tabuhan ‘othek’ sengaja disuguhkan kepada dua tamu penting tadi sekaligus sebagai upaya memperkenalkan adat kebudayaan yang dimiliki Desa Kemiren, sebagai salah satu daya tarik pariwisata di Bumi Blambangan yang terus dilestarikan.

Menurut pemangku adat Suku Osing, Setyo Herfendy, pemilihan Tari Pitik-Pitikan dan Barong Kemiren sebagai ‘ritual penyambutan’ tentunya bukan tanpa alasan.

Menurutnya, Tari Pitik-Pitikan adalah simbol kesejahteraan. Sedangkan Barong adalah perwujudan dari singa atau harimau, yang mana dalam hal ini dapat mengusir roh jahat.

“Ayam pintar mencari rejekinya sendiri dengan mencakar-cakar kan kakinya ke tanah. Sedangkan Barong merupakan perwujudan dari singa atau harimau. Untuk mengusir roh jahat,” jelasnya.

Tampaknya, dua makna dari perpaduan antara sepasang Pitik dan Barong itu memang sudah sangat tepat apabila dikaitkan dengan arti kehadiran Ketua Gugus Tugas Nasional di wilayah paling ujung timur Pulau Jawa itu.

Banyuwangi, yang juga dijuluki ‘Sunrise of Java’ itu memang memiliki keindahan alam dan kaya akan kebudayaan, yang kemudian menjadi daya tarik wisata andalan di Provinsi Jawa Timur.

Sebut saja Pantai Boom, Pulau Merah, Pantai So Long, Pesona Kawah Biru atau ‘Blue Fire’ Gunung Ijen, Taman Nasional Alas Purwo, Baluran, Pecel Rawon, Tari Gandrung, Suku Osing, Kopi Banyuwangi dan banyak lagi. Semua itu menjadi deretan potensi dan sudah masuk dalam etalase pariwisata kelas dunia yang ada di Banyuwangi.

Namun selama masa Pandemi COVID-19, sektor pariwisata sebagai pundi-pundi ekonomi warga terpaksa harus berhenti. Tentunya hal itu juga membuat pendapatan masyarakat lokal dan para pelaku usaha di bidang pariwisata juga mengalami penurunan drastis.

Dengan hadirnya Ketua Gugus Tugas Nasional beserta Bupati Banyuwangi, sekaligus menjadi simbol bahwa sudah saatnya sektor pariwisata Banyuwangi mulai digenjot kembali, tentunya dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat sebagai kebiasaan baru dan yang aman COVID-19.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo juga telah melihat langsung bagaimana Banyuwangi mempersiapkan diri untuk kembali membuka etalase wisata dunia yang aman COVID-19 pada Kamis (25/6). Hal itu sekaligus menjadi pertanda bahwa era tatanan baru harus diiringi dengan semangat produktif sekaligus aman COVID-19.

Sebagaimana diketahui bahwa ketika bicara mengenai COVID-19, maka hal itu tidak hanya mengenai aspek kesehatan saja akan tetapi juga berkenaan dengan permasalahan ekonomi.

Banyuwangi dalam hal ini menjadi wilayah yang sudah siap untuk menggerakkan roda ekonomi melalui sektor pariwisata.

Dalam hal ini, Banyuwangi dinilai sudah mengimplementasikan aturan pemerintah sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/382 tahun 2020 tentang protokol kesehatan bagi masyarakat di tempat dan fasilitas umum dalam rangka pencegahan dan pengendalian COVID-19.

Sehingga apabila kembali menilik makna dari tari Pitik-Pitikan dan kehadiran Barong Kemiren tadi, maka hal itu menjadi simbol bahwa kesejahteraan rakyat harus mulai kembali dibangun dan tentunya diiringi dengan protokol kesehatan sebagai kebiasaan baru yang aman dari ancaman ‘pageblug’ COVID-19.

Dalam hal ini perekonomian dari sektor wisata yang sehat dan aman COVID-19 menjadi agenda dan tatanan yang mutlak, sebagaimana yang juga telah diterapkan di Sanggar Genjah Arum, Kemiren, miniatur literasi budaya Suku Osing, suku asli Banyuwangi yang dilestarikan.

*Sertifikasi Protokol Kesehatan Pariwisata Banyuwangi*

Keseriusan Banyuwangi dalam menegakkan aturan kesehatan sebagai syarat mutlak dibukanya kembali sektor pariwisata juga dibuktikan dengan pemberlakuan sertifikasi protokol kesehatan, sebagai jaminan keamanan dan kesehatan bagi para pengunjung yang datang.

Sertifikasi protokol tersebut akan ditempel di beberapa obyek wisata, hotel, homestay, kafe, restoran, warung rakyat, lokasi wisata lainnya dan ditampilkan di aplikasi khusus agar mudah dicari oleh wisatawan.

Menurut Bupati Banyuwangi, apabila ada yang tidak menerapkan protokol kesehatan sesuai aturan pemerintah, maka sertifikasi tersebut akan dicabut dan otomatis tidak boleh melanjutkan kegiatan usaha pariwisata.

“Jika melanggar, sertifikatnya dicabut,” jelas Bupati Azwar Anas.

Selain itu, muasal pemilihan Banyuwangi sebagai ‘pilot project’ untuk menyongsong kegiatan pariwisata mengingat daerah tersebut telah berangsur-angsur masuk dalam wilayah zona kuning dan berpotensi beralih ke hijau. Artinya terdapat kasus COVID-19, risiko rendah dan dapat dikendalikan.

Ketua Gugus Tugas Nasional Doni Monardo telah melihat sendiri bagaimana Banyuwangi menerapkan protokol kesehatan dengan baik ditambah adanya sertifikasi normal baru, sebagai jaminan keamanan dan kesehatan bagi pengunjung.

“Saya melihat langsung bagaimana tempat wisata di Banyuwangi, telah menerapkan protokol kesehatan dengan baik, bahkan lokasi ini sudah terpasang sertifikasi normal baru sebagai jaminan keamanan dan kesehatan bagi pengunjung yang datang. Sertifikasi seperti ini harus diikuti oleh daerah lain,” tutur Doni.

Sehari sebelumnya, Doni Monardo yang mendampingi Presiden Joko Widodo menyaksikan bagaimana geliat perekonomian warga di Pasar “Tangguh” Rogojampi di tengah pandemi. Aturan di sana ketat, namun tetap bersahabat dan dilabeli dengan sertifikasi.

Para calon pembeli wajib mengenakan masker dan cuci tangan dengan sabun sebelum masuk ke pasar. Untuk berbelanja, mereka diberikan nomor antrean menggunakan mesin otomatis. Tujuannya untuk membatasi para pembeli agar tidak terjadi kerumunan.

Selain itu, pasar tradisional Rogojampi juga terintegrasi dengan pelayanan publik untuk mengurus dokumen kependudukan, perizinan dan kebutuhan lainnya.

Dengan kata lain, Pasar Rogojampi merupakan destinasi wisata utama Banyuwangi dan menjadi pusat kegiatan atau ‘public space’ yang ditujukan bagi area berkegiatan milenial.

Kepala Desa Bubuk, Kecamatan Rogojampi, Haji Panhari mengatakan, ihwal dibukanya kembali Pasar Rogojampi dengan penerapan aturan kenormalan baru, juga berarti bahwa warga dapat kembali menggerakkan roda ekonomi yang selama ini terkatung akibat pandemi.

“Di masa COVID-19 ini kalau (pasar) ditutup, maka masyarakat kebingungan. Sehingga (pasar) dibuka dengan peraturan atau protokol kesehatan, sehingga semua pelayanan masyarakat tetap jalan pasar tetap jalan,” ujar Panhari, Kamis (25/6).

Pada kesempatan yang lain, Doni Monardo juga mencoba langsung fasilitas wisata bersertifikasi sehat dan aman COVID-19 ketika santap siang bersama Bupati Azwar Anas di Sanggar Genjah Arum.

Keduanya menikmati suguhan kuliner khas Banyuwangi sambil bercengkerama berhadap-berhadapan dibatasi sekat mika transparan yang telah disesuaikan guna mencegah adanya paparan droplets yang keluar dari mulut dan hidung.

Usai santap siang, Bupati Azwar Anas kemudian mengajak Ketua Gugus Tugas Nasional Doni Monardo untuk menikmati pesona Agrowisata Taman Suruh Banyuwangi. Jaraknya hanya 15 menit menggunakan mobil dari Sanggar Genjah Arum.

Agrowisata dengan luas 10 hektar tersebut telah menerapkan standar pariwisata normal baru yang dimulai dari fasilitas protokol kesehatan hingga skema pembatasan pengunjung.

Di pintu masuk, petugas melakukan pengecekan suhu tubuh menggunakan thermo gun. Setiap pengunjung wajib melalui pemeriksaan tersebut.

Fasilitas cuci tangan lengkap dengan sabunnya juga tersedia di pintu masuk, maupun di beberapa titik di area agrowisata.

Jenderal Doni merasakan sendiri kesegaran mata air alami yang dialirkan melalui pipa-pipa untuk kebutuhan kebersihan, pengairan hingga perikanan di satu kawasan.

Selain itu, pihak pengelola agrowisata juga sepakat membatasi jumlah pengunjung guna menghindari kerumunan massa.

Dengan penerapan protokol yang ketat, siapapun yang berkunjung ke Banyuwangi akan merasa tenang karena sudah mengikuti aturan kesehatan yang ditetapkan.

*Kopai Osing, Sekali Seduh Kita Bersaudara*

Mengulik sedikit mengenai Sanggar Genjah Arum, nama sanggar “Genjah Arum” berasal dari varietas padi yang banyak ditanam di Banyuwangi. Hingga saat ini genjah arum masih ditanam secara organik.

Sanggar yang mempertahankan nuansa asli Suku Osing Banyuwangi itu memang menjadi salah satu destinasi wisata unggulan yang terletak di Desa Adat Kemiren, rumah bagi para pegiat seni budaya serta penikmat kopi.

Dari sanggar milik Setiawan Subekti, atau yang akrab dipanggil Iwan, para wisatawan dapat belajar tentang budaya Suku Osing sembari menikmati suguhan kuliner khas Kopai Osing.

Pak Iwan yang juga seorang ‘Q Grader’ atau pencicip kopi profesional kelas dunia berhasil mengangkat dan melestarikan budaya Suku Osing beserta kopinya.

Kopai atau kopi dalam dialek Suku Osing adalah rutinitas sehari-hari. Banyak kalangan artis hingga pejabat tinggi pemerintah yang sudah membuktikan sendiri kualitas kopi terbaik Banyuwangi yang ditanam pada ketinggian 1000 mdpl itu.

Jenderal Doni Monardo sendiri sudah beberapa kali singgah. Terakhir kali adalah pada tanggal 12 Agustus 2019 lalu, sebelum melepas bendera pataka Ekspedisi Desa Tangguh Bencana Tsunami 2019 di Pantai Boom, Banyuwangi.

Dari tangan tester kopi kelas dunia Pak Iwan, kopi Banyuwangi turut melambung tinggi hingga ke luar negeri. Rupanya, sifat sederhana kopi yang hitam dan pahit menjadikan Kopi Banyuwangi memiliki identitasnya sendiri. Bagi Pak Iwan, “Sekali Seduh Kita Bersaudara!”, itu mottonya.

Bicara soal pariwisata bukan lagi hanya mengenai keindahan, kenikmatan ataupun harga yang bersahabat. Pariwisata pada masa pandemi juga harus mengutamakan kepercayaan wisatawan, dengan memperhatikan aspek rasa aman, nyaman dan sehat.
(rr)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait