– Serial 10 P, Marketing Politik
Denny JA
Koran asal Inggris, Independent, 12 September 2016, menulis “Bukan Isu Kesehatan, tapi Meme, yang membuat Hillary Clinton akhirnya kalah dalam pemilu presiden.” Begitu banyak serangan atas Hillary yang mengena: ringkas, jenaka tapi merusak citranya, dalam bentuk meme politik. (1)
Sebagai capres wanita, Hillary Clinton seharusnya mendapatkan surplus dari pemilih wanita. Tapi satu meme politik itu, misalnya, justru membangkitkan kemarahan pemilih wanita. Judul memenya: Happy Bill (Bill Clinton: suami Hillary Clinton, presiden Amerika Serikat 1993-2001).
Dalam meme itu wajah Bill Clinton tertawa riang dengan ucapan yang dikarang karang saja oleh pembuat meme: “Akhirnya, Saya dapat mempekerjakan seorang Internship lagi.”
Publik seketika teringat kasus internship, pekerja magang Bill Clinton, bernama Monica Lewinsky. Ini kisah love affairs Presiden Bill Clinton, yang membuat suami Hillary Clinton ini hampir terkena kasus pemecatan sebagai presiden.
Tulis koran Independent: “Mereka yang mengabaikan peran meme dalam mempengaruhi opini pemilih akan dirugikan. Meme menjadi genre baru komunikasi politik. “
Meme adalah fast food politik. Ini sejenis makanan cepat saji dalam dunia komunikasi politik. Meme cepat dibuat, mudah dibuat, cepat disebar, mudah dipahami. Di era media sosial, meme yang pas dan menohok, atau meme yang mencerahkan, cepat sekali menjadi viral disebarkan, diforward secara beruntun, oleh pemilih sendiri.
-000-
Esai di atas adalah potongan dalam pengantar penulis untuk buku: KATAKANLAH DENGAN MEME: Kumpulan Meme Politik Denny JA di Pilpres 2019. (2)
Sampul buku itu menjadi poster di kantor LSI Denny JA. Melihat poster itu, penulis terkenang masa yang sangat keras dalam pemilu presiden Indonesia tahun 2019. Publik terbelah. Agama dipolitisasi. Perkawanan pecah. Bahkan banyak hubungan keluarga yang terganggu akibat beda pilihan capres.
Di era itu, selama 11 bulan, hampir setiap pagi penulis membuat meme. Total ada 625 meme politik di buku tersebut. Yang paling lama meme itu ditulis di bulan Agustus 2018 dan paling baru bulan di Juli 2019.
Katakanlah 625 meme politik dibagi 11 bulan, dan dibagi 30 hari. Rata rata sehari, setiap hari selama 11 bulan, setiap pagi penulis membuat sekitar 1-3 meme. Dan pagi itu juga, penulis menyebarkannya ke media sosial.
Ini pemilu presiden dipilih langsung keempat di Indonesia. Ini juga pemilu presiden keempat yang penulis terlibat sebagai konsultan politik.
Dalam pemilu presiden Indonesia sebelumnya, walau penulis juga terlibat, di tahun 2004, 2009, 2014, tak pernah penulis membuat satu meme politik sekalipun. Di era itu, meme politik juga memang belum populer.
Penulis buka kembali buku PDF itu: KATAKANLAH DENGAN MEME. Beberapa meme itu bernada humor. Ada pula yang mengkritik keras. Juga ada yang tone nya menyatukan.
Meme di bulan Maret 2019, misalnya. Itu era hoax, kebohongan politik, sedang gencar gencarnya disebar, memukul capres. Sebuah meme dengan gambar Fredy Mercury, penyanyi Queen. Judul lagunya: Too Much Love Will Kill You. Kata “Love” dicoret dan diganti Hoax. Plesetannya berbunyi: Too Much Hoax Will Kill You.
Atau meme di bulan yang sama. Seorang Ulama menyerang Jokowi dan menyebarkan berita jika menang Jokowi akan melegalkan Zina lewat sebuah RUU yang sedang digodok. Tak lama kemudian, ulama itu meminta maaf karena salah membaca.
Meme itu berbunyi: “Jika semangat mengeritik lebih tinggi daripada semangat menyampaikan kebenaran, seorang Ulama pun bisa terkecoh.”
Ada pula meme yang mendamaikan. “Ia yang bukan saudaramu dalam Ormas Agama dan dalam kubu capres, Ia tetap saudaramu sebangsa dan setanah air.”
Juga ada meme seruan untuk jangan Golput: “Kita kadang harus memilih pemimpin yang buruk agar pemimpin yang lebih buruk lagi tak terpilih.” Ini untuk membujuk pemilih kritis yang begitu tajam melihat keburukan dari capes yang ada, dan berniat golput saja.
Tapi jauh lebih banyak meme yang menyebarkan hasil survei LSI Denny JA. Isi survei itu tegas: Jokowi akan menang dalam Pilpres 2019. Ketika UAS (Ustad Abdul Somad) menyatakan dukungannya atas Prabowo, meme itu menyatakan: It is too little and too late. Dukungan UAS itu tak mengubah pemenang.
Walau di masa itu, hasil survei pilpres LSI Denny JA banyak dikecam oleh pihak yang tak suka hasilnya, tapi survei Denny JA itu terbukti akurat. Quick Count LSI Denny JApun terbukti salah satu yang selisihnya terkecil dibandingkan hasil resmi KPU sebulan kemudian.
-000-
Sengaja kisah meme ini diangkat sebagai contoh kasus pentingnya Inovasi dalam marketing politik. Meme politik tersebut buah teknologi media sosial yang baru populer saat itu.
Dalam formula yang penulis susun 10 P untuk Marketing politik, P pertama adalah Pro- Innovation. Sila pertama dari 10 prinsip marketing politik baru adalah sikap yang terus terbuka, bahkan mencari inovasi, cara baru, teknologi baru, pesan baru, agar sosialisasi tokoh atau gagasan selalu segar.
Zaman cepat berubah. Yang dulu baru dan segar, segera kuncup dan menjadi old fashion. Seorang ahli marketing politik yang katakanlah begitu hebat dan modern, misalkan ia tertidur selama lima tahun. Ketika Ia terbangun kembali, cara marketing politik yang ia gunakan segera menjadi kuno.
Sejarah kampanye politik pada dasarnya adalah sejarah inovasi. Datangnya teknologi baru, atau inovasi baru, segera saat itu juga ia mengubah cara berkampanye.
Tahun 1910, lebih dari seratus tahun lalu, publik di Amerika Serikat gempar. Saat itu mobil baru ditemukan. Franklin D Roosevelt, calon senator mengumumkan akan melakukan Speaking Tour. Jadwal pun dibuat.
Senin 24 Oktober 1910, Roosevelt akan bicara di depan Armania Bank, jam 13.00. Selasa 25 Oktober 1910, jam 10.30, ia akan mengajak publik berdiskusi di Paterson R.R. Station. Rabu 26 Oktober 2010, jam 16.00, Roosevelt akan bicara di Hughsonville, 4 Corners. (3).
Roosevelt sudah sangat lincah bergerak dari satu tempat ke tempat lain karena ia berkampanye dengan Automobil. Roosevelt pun dikenang sebagai pelopor. Ia termasuk politisi pertama yang keliling kampanye menggunakan automobile.
Delapan tahun kemudian, tahun 1928, radio mulai populer. Kini politisi Partai Republik Herbert Hoover yang menarik perhatian. Ia membuat jadwal kampanye lewat radio. Pemilih tak perlu datang jauh ke satu tempat. Mereka cukup mendengar radio. Jadwal kampanye di radio Ia sebar.
Hooverpun lantang bicara tanpa tatap muka. Jutaan pendengar diraihnya. Ia pun dikenang sebagai pelopor kampanye lewat radio. Kisah inovasinya difilmkan berjudul Master of Emergencies.
Tahun 1936, kembali terjadi inovasi. Kali ini yang mencuri perhatian adalah George Gallup. Ia memperkenalkan survei opini publik yang ilmiah. Responden yang ia gunakan hanya ribuan saja. Sementara saingan Gallup, Litterary Digest, menggunakan jutaan responden.
Terbukti hasil Poll dari George Gallup yang lebih akurat. Sejak tahun 1936, Poll atau survei opini publik selalu mewarnai kampanye politik di Amerika Serikat. Bahkan kini survei opini publik meluas ke seluruh dunia.
Tahun 1960, kembali terjadi inovasi. Ini era datangnya televisi. Kampanye TV segera lebih menarik perhatian pemilih dibandingkan kampanye radio. Perdebatan capres John F Kennedy dari Partai Demokrat versus Richard Nixon dari Partai Republik adalah sejarah. Itu debat capres pertama di televisi.
Kennedy saat itu pendatang baru dunia politik. Usianya 43 tahun. Sementara Richard Nixon saat itu sudah menjadi wakil presiden. Nixon sudah ditempa oleh kehidupan politik dan perdebatan keras. Nixon juga sangat cerdas.
Pemilih yang mendengar radio, lebih banyak menyatakan Nixon yang menang. Tapi pemilih yang menonton debat di TV, lebih banyak menyatakan Kennedy yang menang.
Di radio, penonton hanya mendengar ucapan, konsep dan program. Tapi di televisi, penonton juga melihat wajah, ekspresi, pakaian, body language.
Inilah untuk pertama kali, kampanye pun mulai memperhatikan penampilan fisik para kandidat. Di televisi, pakain, ekspresi wajah, gerak tubuh Kennedy terlihat. Sementara di radio, yang terdengar hanya suara.
Secara bergurau, tapi cukup serius, para pemantau menyatakan cara Kennedy berpakaian, bukan otaknya, yang membuat Kennedy mengalahkan Nixon bagi penonton TV.
Duniapun berubah. Televisi lebih dari apapun menjadi medium kampanye paling efektif. Sebelum debat TV, tak banyak yang kenal Kennedy. Tapi setelah debat TV, Kennedy menjadi bintang baru. (4)
Tahun 2010, media sosialpun tumbuh. Facebook, Twitter, Youtube, Instagram mulai populer. Kembali terjadi inovasi dalam kampanye.
Hillary Clintonpun membuat sejarah. Biasanya para calon presiden menyatakan diri maju menjadi calon lewat pidato. Atau lewat konferensi pers. Tapi di tahun 2016, Hillary menyatakan maju sebagai capres lewat twitter saja.
Tweet Hillary: “Saya maju sebagai presiden. Setiap hari warga Amerika menginginkan pemenang. Saya hendak menjadi pemenang itu.” (5)
Datangnya media sosial menjadi inovasi berikutnya dunia kampanye. Kini bahkan Presiden Donald Trump menjadikan twitter sebagai medium menyerang oposisi dan siapapun yang tak ia sukai.
Bersama dengan media sosial, meme politik juga menjadi genre komunikasi politik baru. Setiap individu aktivis dapat membuat meme, dan menyebarkan melalui jaringannya. Jika pesannya kuat dan sesuai, bahkan meme dari individu yang awalnya tak dikenal bisa menjadi percakapan nasional.
Inovasi di bidang kampanye dan marketing politik terus berlanjut. Telah datang era Big Data. Artificial Inteligence melalui algoritma bisa merekam jejak siaapun di internet.
Yang terbaca melalui Big Data, tak hanya demografi pemilih (nama, jenis kelamin, usia, pekerjaan). Tapi terbaca pula kecenderungan psikilogis dan preferensi. Isu apa yang disukai pemilih dapat diketahui. Sikap pemilih atas isu itu juga dapat dibaca.
Marketing pun berubah menjadi micro targeting. Big Data dapat membantu memilihkan target segmen pemilih tertentu saja yang perlu disapa untuk jenis isu yang spesifik. (6)
-000-
“Inovasi yang membedakan seorang pelopor dan seorang pengikut (followe),” ujar Steve Jobs. Tentu inovasi tidak terjadi setiap hari. Tapi ilmu dan strategi marketing politik, sebagaimana juga peradaban pada umumnya, akan diperkaya oleh inovasi yang terus menerus.
Kita menghadapi zaman yang begitu cepat berubah. Ini lahan yang subur bagi para inovator, termasuk di bidang marketing politik.***
Juli 2020
(Bersambung)