Review Buku Denny JA : MEMBANGUN LEGACY, 10 P Untuk Marketing Politik, Teori dan Praktek
MEMILIH PEMIMPIN YANG MEWARISKAN PERUBAHAN
Dr. Firman Kurniawan S Denny JA telah hampir dua dekade terlibat dalam upaya pemenangan kandidat di berbagai peristiwa pemilihan: pemilihan presiden, pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif.
Baginya, aneka kontestasi itu bukan sekedar hendak meraih kemenangan. Marketing politik tak hanya berurusan dengan politik elektoral.
Lewat bukunya Membangun Legacy 10P untuk Marketing Politik: Teori dan Praktik, Denny menggarisbawahi, maxim dari marketing politik adalah mengekalkan gagasan atau kebijakan publik.
Setiap pemimpin yang hendak maju dalam aneka ajang pemilihan, harusnya memikirkan warisan yang hendak ditorehkan selama kekuasaan digenggam, dibanding sekedar meraih kekuasaan.
-000- Pernyataan mengandung nilai moral itu terasa bagai oase, yang memberi alasan pembaca untuk terus membaca buku yang tebalnya 248 halaman ini.
Sebab di tengah pikiran pragmatis, yang menghinggapi banyak kepala para pemburu kekuasaan: kemenangan bagaimana pun caranya dan berapa pun harga yang harus dibayar, adalah dimensi tunggal yang jadi tujuan. Untuk mempertajam pernyataannya itu, diketengahkan narasi ringan perjuangan yang ditempuh Mahatma Gandhi di India saat melawan Inggris, lewat politik antikekerasannya. Maupun upaya Nelson Mandela melawan politik Apartheid yang membelenggu Afrika Selatan, berpuluh tahun.
Sebaliknya, kontestasi yang berdimensi sekedar kemenangan ditempuh Presiden ke-37 Amerika Serikat, Richard M. Nixon. Presiden yang dikenal cerdas ini, mampu meraih prestasi elektoral di waktu singkat, dalam hitungan angka yang mengesankan.
Namun sejarah mencatat, Nixon terpaksa terjungkal dari kursi kekuasaannya, lantaran skandal Watergate. Ketakpercayaan publik menggerusnya dalam waktu singkat, akibat skandal yang meluas tak tertangani. Dalam pandangan teori-teori yang membahas tentang upaya meraih kekuasaan, relevansi trust terhadap kandidat, merupakan unsur utama. Pembahasan tentang aspek trust, jadi makin relevan terlebih ketika aneka pemilihan hari ini, terjadi dalam suasana transparan, yang kehadirannya, “dipaksa” oleh teknologi informasi dan komunikasi.
Denny JA menghadirkan 10P marketing politik, yang disusun berdasar pengalamannya sebagai konsultan pemenangan pemilihan, dengan dikonfirmasi aneka teori yang relevan.
Betapa ringan pembahasan 1P demi 1P dalam formulasinya, berikut contoh praktik pemenangan yang relevan, cocok juga jika buku ini diberi tajuk, ‘Ngobrol-Ngobrol Bernas dan Terbukti, Pemilu di Indonesia’. Sebelum membahas 10P pada uraian buku ini, ada pentingnya mengkaji kembali fungsi dasar aneka pemilihan, terutama di negara yang menganut sistem demokrasi.
Dalam tulisannya, Function of Election in Democratic System, Waldemar Wojtasik, 2013, menyebut pemilihan umum (pemilu) adalah prosedur yang khas untuk sistem demokrasi.
Namun demikian, sistem yang tak menganut prinsip demokrasi pun, juga sering menerapkannya.
Selanjutnya Azeen Kiani dan Hossein Sartipi, 2016 dalam tulisan yang berjudul kurang lebih sama, mengemukakan: Pemilu dianggap sebagai mekanisme yang efisien untuk transfer kekuasaan yang damai, aturan rakyat yang stabil dalam sistem demokrasi.
Karenanya pemilu harus diselenggarakan sesuai dengan prinsip pemilu yang adil dan kompetitif. Sehingga terselenggara dengan menerima aturan rakyat, hak menentukan nasib sendiri dan pembangunan sistem demokrasi yang berperan sesuai sistem yang berlaku.
Lebih lanjut Kiani dan Sartipi menggarisbawahi, pemilu yang sejati dalam sistem demokrasi memiliki fungsi-fungsi seperti legitimasi, transfer kekuasaan secara damai, mempertahankan stabilitas politik, perwujudan kedaulatan rakyat, kontrol kekuasaan politik, pilihan dan selektivitas serta mengatur kehendak publik. Maka dalam mewujudkan tujuan pemilu sebagai bagian sistem demokrasi, pendekatan marketing politik bukan semata mencapai tujuan elektoral: memenangkan kekuasaan.
Ontologi marketing politik tak bisa dibatasi sebagaimana dalam bahasan ilmu politik: ilmu dan seni meraih kekuasaan.
Juga bukan ilmu pemasaran, yang substansinya disusun oleh objeknya yang berwujud jelas dan segera dapat diambil manfaatnya.
Ontologi marketing politik berkaitan dengan tindakan transaksi yang dilakukan sekelompok orang, dengan meniadakan kemungkinan bertransaksi pada pilihan lain.
Untuk transaksi terbatasnya ini pun, pemilih tak serta merta dapat meraih manfaat yang diharapkan. Dalam mekanismenya, memilih presiden, gubernur, walikota, bupati, maupun anggota legislatif hanya punya kesempatan pada satu pilihan, sedangkan hasil pilihan tak serta-merta dapat dirasakan manfaatnya, bahkan kadang tak terpenuhi.
Maka untuk mewujudkan keterpilihan itu, trust jadi kunci. Sebab, bagaimana mungkin dapat meletakkan harapan yang baru terwujud di waktu mendatang pada personal yang informasinya hanya diperoleh lewat baliho di pinggir jalan, baru dikenal dalam kerumunan massa kampanye, bahkan hanya didengar lewat ujaran orang lain, jika tak mengandalkan trust? Memahami formula 10P marketing politik dalam buku ini, mengingatkan 4P, Product, Price, Promotion dan Place ala pemasaran yang diajukan oleh Jerome McCarthy 1969, 1969.
Ini menegaskan, varian pembahasan marketing politik yang berusaha berdiri sendiri dengan menegasikan pendekatan murni ilmu marketing dan ilmu politik semata, masih berakar pada kedua cabang ilmu itu. Sintesa dua unsur pengetahuan, yang tak sepenuhnya meninggalkan unsur pembentuknya.
10P marketing politik itu terdiri dari Pro-Innovation, Public Opinion, Polling, Profiling, Positioning, Product, Pull Marketing, Push Marketing, Post Election, Political Legacy. Susunan 10P yang tak menempatkan product sebagai P ke 1 merupakan hal menarik, yang sekaligus membuktikan marketing politik sebagaimana janji maxim-nya bukan sekedar urusan elektoral.
Product yang cakupannya: kandidat presiden, gubernur, walikota, bupati atau anggota legislatif bukanlah hal terpenting.
Ini mengingatkan, dalam prinsip marketing yang hari ini berkembang jadi ‘Marketing 4.0’ pun, from traditional to digital, marketing bukanlah soal product.
Product hanya relevan ketika jumlah pilihan lebih sedikit daripada yang membutuhkan. Misalnya dalam keadaan pascaperang atau bencana. Demikian juga ketika sebuah produk baru ditemukan dan belum banyak yang terlibat memproduksinya. Jumlah produsen jauh lebih sedikit dibanding konsumen. Product jadi utama. Namun ketika sistem produksi berkembang, banyak produsen menginvestasikan modalnya untuk menghasilkan produk sejenis.
Dominansi product dan produsen bergeser ke otoritas konsumen. Mode of production berubah prioritas, jadi mode of consumption. Yang diproduksi para produsen justru konsumsi itu sendiri.
Kehendak konsumen untuk melakukan konsumsi. Ini semua mengandalkan upaya komunikasi. Rezim produksi dengan jargon efektif dan efisien bergeser jadi upaya komunikasi tepat sasaran, menciptakan konsumsi.
Upaya pemastian, “produk sayalah yang ada di benak, dipilih, dan ada dalam lemari-lemari persediaan konsumen”. Dalam formulasi yang disusun Denny JA, P bagian awal, P1-P5 adalah upaya untuk membangun cara berpikir yang benar dalam memetakan pasar pemilih itu. Mewujudkan harapan, selera, menepis kecemasan, hingga identifikasi diri pemilih, lewat kandidat yang sesuai value pemilih.
Di sini tergaris tegas, persoalan memenangkan pemilihan dimulai dari membangun cara berpikir yang benar: meletakkan basis suprastruktur.
Dalam marketing politik, basis suprastruktur itu adalah pro-innovation: membuat inovasi dan terobosan dalam meraih trust para pemilih. Ini ditekankan, sebab dalam kenyataan sejarah pemilihan di dunia, sesungguhnya adalah sejarah tentang inovasi cara berkomunikasi yang terus berkembang.
Mereka yang hanya patuh pada pendekatan-pendekatan lama, akan kecewa menangisi kekalahan. Ilustrasi-ilustrasi yang dikemukakan pun berisi tentang catatan para pemimpin dunia, yang berhasil meraih kemenangan dengan memanfaatkan inovasi berkomunikasi yang hidup di tengah zamannya: presiden era media cetak, presiden era televisi, presiden era internet, dan yang terakhir Presiden Donald Trump yang menang lantaran intensif membangun relasi lewat twitter. Terlepas dari kontroversinya. Selanjutnya, P2 hingga P5 adalah disiplin mendengar needs, wants dan expectations calon pemilih. Tim pemenangan kandidat wajib menangkap dinamika dan keragaman public opinion.
Ini ditempuh lewat metode polling yang handal. Hasil polling, berupa profiling karakter calon pemilih. Ketepatan langkah-langkah itu, memudahkan perencanaannya cara mengemas kandidat dengan pendekatan yang dikehendaki calon pemilih.
Ini perwujudan konsep positioning. Nampak, P1 adalah upaya membenahi pikiran tim pemenangan kandidat, sedangkan P2-P5 adalah memahami pikiran calon pemilih. P1-P5 adalah formula hulu, dalam pemenangan pemilihan. Formula hilir sebagai wujud pembacaan aspek hulu, yang diterapkan menjelang periode pemilihan adalah P6-P8. Tim pemenangan menampilkan product andalannya lewat berbagai ajang komunikasi: kampanye umum, debat kandidat, wawancara media hingga tampilan di media sosial.
Tujuan berbagai komunikasi itu adalah menghadirkan keunggulan nyata produk di hadapan calon pemilih. Dan untuk mengatasi keterbatasan jangkauan akibat kepadatan jadwal, tim pemenangan wajib melakukan pull marketing.
Dalam pemasaran, formula ini sering disebut canvassing, upaya para salesman untuk mendekati calon konsumen secara personal. Pada marketing politik, pull marketing bertujuan memastikan agar pemilih potensial terpapar informasi keunggulan kandidat.
Upaya ini dilakukan dengan mendengarkan harapan pemilih, seraya mengembangkan dialog yang mengemukakan keunggulan kandidat. Pull marketing diikuti dengan push marketing, yang menampilkan kandidat di media-media iklan, termasuk media digital.
Dari konsep push marketing ini, penulis ingin menandaskan tujuan formula P8 adalah “menekan” citra kandidat hingga mampu memasuki ingatan calon konsumen. Push marketing sangat menentukan pilihan aktual calon pemilih, di hari pemilihan. Ketika hari kemenangan tiba, belum saatnya bagi tim pemenangan untuk berpesta pora. Periode ini justru genting bagi kandidat terpilih.
Sang Terpilih harus mewujudkan janji-janjinya. Formula P9 dan P10 wajib dijalankan, jika Sang Terpilih tak ingin dikenang sebagai peraih kursi kekuasaan belaka.
Sang Terpilih harus menjalankan program-program yang direncanakannya, post election, dalam menyejahterakan masyarakat. Menjalankan program-program seraya meninggalkan warisan baik, political legacy juga jadi sarana bagi Sang Terpilih, untuk terpilih kembali pada pemilihan periode berikutnya.
Ini sekali lagi menempatkan pemilihan bukan urusan meraih kemenangan. Setiap orang yang berpikir jadi pemimpin, mutlak memikirkan warisan baik yang bakal ditinggalkannya. Secara umum, buku ini sepenuhnya berfungsi menduduki posisi sebagai “warisan” gagasan penulisnya.
Ini sangat langka sekaligus berharga di dunia pemilihan kandidat politik di Indonesia. Tak banyak personal yang terlibat dalam aneka peristiwa pemilihan di Indonesia punya pengalaman selengkap Denny JA.
Dan yang terpenting, ia bersedia membagikannya. Jika pun kritik harus dilontarkan, terasa agak kosong dalam periode penerbitan buku, 2020, saat membahas Pemilu Raya 2019.
Buku ini tak membahas kekuatan media digital yang massif digunakan. Segregasi sosial yang ditinggalkannya pun, masih terasa hingga hari ini. Bagian itu terasa hilang, dan ganjil karenanya. Mungkinkah jadi bahan penulisan buku berikutnya ? ***