By: Fatmawati
(Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Bandung)
Belakangan ini kita disibukkan dengan berbagai kasus kekerasan seksual yang terjadi pada anak (Child Sexual Abuse). Seperti sebuah cerita sadis yang nyaris tidak ingin mendegarnya, tapi ini nyata terjadi di negeri kita. Kebiadaban yang dilakukan oleh para pelaku membuat hati miris dan tak henti-hentinya mengutuk perbuatan tersebut. Belum hilang ingatan kita tentang kasus JIS di Jakarta, kesadisan emon di Sukabumi. Muncul beragam kasus serupa yang tak kalah sadis dan biadab. Seorang anak SMP dari Bengkulu, Yuyun telah diperkosa sampai meninggal oleh 14 pemuda di kampungnya, pembunuhan Sadis yang dialami oleh Eno dan yang menggemparkan baru-baru ini adalah prilaku bejat seorang pengusaha yang tega memperkosa 17 dari 58 anak korbannya. Lyness (Maslihah, 2006) kekerasan seksual terhadap anak meliputi tindakan menyentuh atau mencium organ seksual anak, tindakan seksual atau pemerkosaan terhadap anak, memperlihatkan media/benda porno, menunjukkan alat kelamin pada anak dan sebagainya.
Setelah rentetan peristiwa itu terjadi, banyak pihak ramai mendiskusikan hukuman apa yang layak untuk diberikan kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Beberapa orang berpendapat bahwa produk hukum yang ada belum mampu memberikan efek jera terhadap pelaku. Menurut pasal 81 dan 82 UU No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak bahwa hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun penjara serta denda minimal sebesar Rp 60 juta dan maksimal sebesar Rp 300 juta. Sedangkan hukuman lainnya menurut KUHP pasal 287 dan 292 menyebutkan bahwa masa hukuman terhadap pelaku pencabulan terhadap anak maksimal 9 tahun (pasal 287) dan maksimal 5 tahun (pasal 292).
Undang-Undang Perlindungan Anak memberi batasan bahwa yang dimaksud dengan anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan. Kekerasan seksual pada anak baik perempuan maupun laki-laki tentu tidak boleh dibiarkan. Kekerasan seksual pada anak adalah pelanggaran moral dan hukum. Kekerasan seksual terhadap anak dapat dilakukan dalam bentuk sodomi, pemerkosaan, pencabulan, serta incest. Dampak yang ditimbulkan dapat secara fisik dan psikologis.
Memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak adalah sangat penting. Tetapi jangan melupakan untuk mengidentifikasi segala potensi yang dapat menimbulkan kasus kekerasan seksual terhadap anak. Memberikan efek jera kepada pelaku harus dibarengi dengan meminimalkan segala potensi terhadap munculnya prilaku menyimpang tersebut. Potensi itu dapat muncul dari berbagai sumber, diantaranya: pertama, Media. Saat ini siapapun, dimanapun dan kapanpun dapat mengakses media tanpa ada aturan yang mengikat. Media begitu “fulgar” menyampaikan informasi apapun. Anak-anak dengan mudah mengakses situs-situs yang berbau pornografi. Tontonan TV pun memberikan potensi yang cukup besar. Saat ini tayangan televisi sudah tidak lagi ramah anak. Banyak tayangan TV yang tidak memiliki nilai edukasi. Televisi kita lebih didominasi oleh hiburan semata, bahkan tak jarang menampilkan berbagai adegan pornoaksi. Literasi media yang baik menjadi sebuah keharusan, agar setiap anak “cerdas” menggunakan media. Kedua, Lingkungan. Rendahnya Perhatian dan kepedulian lingkungan menjadi pemicu munculnya tindakan kekerasan seksual pada anak. Lingkungan memengaruhi 70% terhadap pembentukan karakter anak. Saat lingkungan tidak lagi memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap kondisi anak, maka potensi terhadap terjadinya kekerasan semakin besar. Kesibukan para orang tua dalam bekerja, orientasi guru hanya kepada nilai akademik menjadikan kondisi ini semakin memprihatinkan. Lingkungan harus meningkatkan kepekaan terhadap kondisi anak-anak, jika terjadi perubahan pada tingkah laku anak maka orang tua, guru, keluarga, dan lingkungan lainnya harus segera mengetahui dan memberikan perhatian yang baik kepada anak. Ketiga, Informasi yang kurang. Pembicaraan terkait sex masih dianggap tabu di kalangan anak-anak. Hal ini juga memberikan potensi besar terjadinya penyimpangan. Anak-anak harus diberikan informasi yang cukup terkait kesehatan reproduksi, organ-organ vital yang harus dilindungi dari orang lain serta bagaimana dampak yang ditimbulkan terkait hal tersebut.
Kekerasan seksual terhadap anak akan berdampak panjang, selain masalah kesehatan, juga dapat menyebabkan trauma yang berkepanjangan. Jika hal ini tidak mendapatkan penanganan serius, kekerasan seksual terhadap anak dapat menimbulkan dampak sosial yang luas di masyarakat. Penanganan dan penyembuhan trauma psikis akibat kekerasan seksual haruslah mendapat perhatian besar dari semua pihak yang terkait, seperti keluarga, masyarakat maupun pemerintah.