Oleh: H.Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Tinggi Agama Banjarmasin)
Meskipun sebuah kota kecil, Martapura rupanya sangat bertuntung. Setidaknya, karena dua hal: Pertama, kota ini (duhulu) terkenal sebagai penghasil intan. ‘Patung’ permata di alun-alun kota rupanya menjadi saksi bisu mengenai hal ini. Kedua, di kota ini ternyata lahir seorang tokoh yang majas ketokohannya adalah bak mutiara. Ulama yang lahir tahun 1942 dan pada 10 Agustus 2005 (5 Rajab 1426 Hijriah) itu memang bak mutiara. Magnet ketokohannya menyedot kecintaan jutaan orang sampai saat ini. Ulama yang juga dipanggil Guru Ijai ini wafat Rabu pagi tanggal 10 Agustus 2005 M ( 5 Rajab 1426 H). Dalam usia 63 tahun, beliau lahir hari Rabu pula dan wafat hari Rabu pula. Setelah kewafatannya, setiap tanggal 5 Rajab setiap tahun, oleh masyarakat diperingati secara berkala (haul). Kali ini (2025) haul itu adalah untuk yang ke-20 dari sejak kewafatan beliau.
Pada haul ke-20 yang baru lalu, konon (menurut penuturan salah satu sumber) merupakan haul terbesar sepanjang sejarah. Momennya yang jatuh pada hari libur menyebabkan pengunjung melebihi dari jumlah biasanya. Menurut Kepala Kepolisian Resor Banjar AKBP Muhammad Ifan Hariyat di Martapura, pengunjung haul kali ini diperkirakan tembus ke angka 4,1 juta jamaah. Jumlah ini diperoleh dari data provider telepon seluler yang aktif di Kota Martapura dan sekitarnya.“Jumlah jamaah yang tembus 4,1 juta orang diperhitungkan dari para pengguna telepon seluler di sekitar Martapura dan Kota Banjarbaru,” ujar Kapolres Banjar. Menurut Ifan, jumlah pengguna aktif telepon seluler mengalami lonjakan setelah salat Magrib yang semula sebanyak 2,5 juta menjadi 4,1 juta sehingga diperhitungkan jadi jumlah keseluruhan jamaah. Ifan menuturkan jumlah pasti jamaah haul bertepatan malam 5 Rajab yang merupakan pengajian rutin setiap malam Senin di kawasan Musala Ar Raudhah ini kali ini sekitar 4,1 juta sedangkan tahun lalu sekiar 3,3 juta. Ada peningkatan sekitar 800 ribu orang. (https://www.rri.co.id/).
Tentu kita tidak dalam posisi memperdebatkan akurasi angka statistik tersebut. Yang pasti berdasarkan pengetahuan penulis sendiri pada malam hari H itu seluruh ruas jalan utama kota Martapura dan Banjarbaru benar-benar dipenuhi oleh lautan manusia. Penulis sendiri hanya bisa kebagian tempat di radius sekitar 6 kilometer dari pusat acara. Setiap celah ruangan dalam radius 6 kilometer dari titik pusat acara, nyaris tidak ada yang tersisa dari hamparan alas duduk jamaah. Semua dengan tertib dan khidmat mengikuti acara tanpa satu insiden pun. Tidak satupun terlihat penjual asongan (penjual makanan dan minuman) yang memanfaatkan momen tersebut. Kalaupun ada pasti tidak akan laku karena di sekitar jamaah, bahkan di sepanjang jalan masuk di setiap jarak beberapa meter tersedia makan minum gratis. Sulit dipercaya, masyarakat begitu antusias menyediakan berbagai konsumsi dari yang ringan (snack) sampai yang berat (makan) di setiap rest area.
Tidak seperti di pulau Jawa pada umumnya, yang biasanya selain acara tahlil dan dzikir, pada haul kiai besar biasanya, dikemas dalam bentuk acara seremonial. Pada acara ini berbagai tokoh ormas atau parpol tertentu, selain penyempai pengajian utama oleh kiai tertentu, biasanya diberi kesempatan berbicara di podium. Selain terkesan seperti lomba pidato, nuansa politis pun sering mewarnai setiap acara peringatan kematian orang saleh ini. Acara seremonial yang digelar habis isyak ini juga sering selesai larut malam. Hal demikian sangat berbeda dengan haul Guru Sekumpul. Acaranya yang dimulai habis magrib itu sudah selesai sekitar bakda isyak. Tidak ada ceramah pengajian umum atau ceramah agama apa pun selain suara kesyahduan bacaan-bacaan maulid dan tahlil singkat dari para imam.
Meskipun setiap acara terkesan singkat, akan tetapi ternyata tidak sesedarhana yang dibayangkan. Meskipun tidak ada panitia khusus dan tidak ada kesibukan memasang baliho, jauh-jauh haru masyarakat telah sibuk mempersiapkan diri. Secara suka rela tanpa ada himbauan khusus mengorganisasi diri. Persiapan yang dilakukan adalah membuat tenda-tenda rest area berikut hidangan makan minum. Semua dipersiapkan untuk para pengnjung haul terutama yang datang dari jauh secara cuma-cuma.
Aacara singkat itu ternyata juga berakibat tidak sederhana. Saat acara selesai (sekitar masuk waktu isyak), momen luar biasa pun tertjadi. Momen itu tidak lain, banjir lautan manusia yang akan pulang. Semua jalan terpantau terlihat manusia menyemut. Penulis sendiri lebih memilih menepi menyaksikan keajaiban jumlah manusia yang menghadiri haul tokoh kharismatik dari Martapura ini. Angka statistika yang ada jelas di luar batas nalar manusia. Beberapa orang terlihat harus dilarikan di eavakuasi oleh Tim Medis karena pingsan akibat kecapaian dan terpaksa menghirup berbagai gas beracun (emisi gas buang) yang keluar dari cerobong knalpot. Menurut pantauan penulis, jalan baru terlihat agak luang dilalui sepeda motor sekitar pukul 1 dini hari. Setelah itu, kemacetan pun terjadi lagi setelah mobil berganti keluar dari tempat parkir.
Pertanyaan yang mungkin menggelitik kita, mengapa masyarakat dari tahun ke tahun begitu antusias mengahadiri momen tahunan ini? Motivasi apakah gerangan yang mendorong mereka? Ingin mendapat berkah, ingin pahala, sekedar ingin tahu, atau sekedar berwisata? Yang pasti hal ini tentu dapat menjadi bahan penelitian menarik. Karena,berbagai perspektif tentu dapat dikaji dari even ini.