beritalima.com | Ketua Panitia Khusus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Pansus BLBI) DPD-RI, Bustami Zainuddin mengkritisi kinerja Satuan Tugas (Satgas) Penagihan Hak Tagih Negara pada kasus BLBI. Bustami menyebut hingga 31 Maret 2022, Satgas BLBI baru menyita aset obligor dan debitur Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sejumlah Rp19,16 triliun.
Angka ini masih jauh dari target nilai aset eks BLBI yang diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun.
“Artinya Satgas BLBI dalam setahun persis baru mencapai 17 persen dari target padahal waktu kerjanya sudah 37 persen,” ujarnya dalam keterangan tertulis akhir Mei 2022 lalu.
Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) Tahun 2021, nilai aset eks BLBI diperkirakan mencapai Rp110,45 triliun. Namun hingga kini, nilai aset yang berhasil diselamatkan baru Rp 19,16 triliun.
Terbaru, dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Prof. Dr. Mahfud MD bersama Kepala Bareskrim Mabes Polri Komjen Pol. Agus Andrianto dan Kepala Satgas BLBI Rionald Silaban dengan upacara seremonial yang “kolosal” melakukan penyitaan terhadap aset milik PT Bogor Raya Development (BRD) serta PT Bogor Raya Estate (BRE) yang “diduga” terkait dengan Setiawan Harjono dan Hendarwan Harjono, dua di antara para pemilik eks Bank Asia Pasific (Aspac) di lapangan Golf Bogor Raya, Sukaraja, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu 22 Juni 2022) lalu.
Diakui Mahfud, total dengan penyitaan BRD dan BRE ini, Satgas BLBI telah mengumpulkan aset eks BLBI mencapai Rp 22 triliun.
“Waktu kerja Tim Satgas BLBI ini terbatas, masa kerjanya hingga Desember 2023 nanti. Memiliki total masa kerja 32 bulan tetapi selama 12 bulan ini Satgas BLBI baru mengumpulkan nilai sitaan 17 persen dari target,” ungkap Bustami yang juga Wakil Ketua Komite II DPD-RI.
Senator asal Lampung tersebut pesimis hingga akhir masa kerjanya, Satgas BLBI tidak akan mencapai target yang ditetapkan yakni bisa mengumpulkan nilai total aset eks BLBI sebesar Rp 110,45 triliun.
Staf Ahli Pansus BLBI, Hardjuno menambahkan kemampuan Satgas BLBI dalam memburu asset maupun harga para obligor BLBI seperti “jalan di tempat”.
“Saya melihat, Satgas BLBI ini sudah mulai letoy. Sehingga kita tidak bisa mendapatkan hasil yang maksimal sesuai target,” sambung Hardjuno.
Menurutnya, dengan waktu tersisa sangat terbatas maka untuk mengejar target yang telah ditentukan dinilai cukup berat. Herdjuno menyarankan sebaiknya Satgas BLBI bisa berkomunikasi intensif dengan lembaga-lembaga negara lain yang memiliki kewenangan untuk membantu kinerja Satgas BLBI.
Satgas BLBI Terkesan Kejar Setoran.
Pengamat kebijakan publik Universitas Dr. Soetomo, Surabaya Rosnindar Prio E. Rahardjo menyebut kinerja Satgas BLBI memang patut dipertanyakan. Terkesan Satgas BLBI melakukan kerja dengan sistem “kejar setoran” tanpa mengedepankan azas good governance, transparan, akuntabel, dan berpijak pada azas legal yang bisa dipertanggungjawabkan.
“Adanya keberatan dan bukti kepemilikan yang sah dari pihak lain dan tidak terkait dengan relasi obyek-subyek obligor, dari kasus penyitaan BRD dan BRE saja saya melihat adanya kurang profesionalnya tim Satgas BLBI. Belum lagi adanya kepemilikan investor asing dari aset-aset yang “diduga” terkait dengan pemilik eks Bank Aspac, saya menggarisbawahi adanya potensi fraud dari gugatan pihak asing. Satgas BLBI tidak boleh melakukan tindakan “serampangan” dan harus memastikan semua langkah yang diambil telah melalui proses verifikasi administrasi dan hukum secara benar untuk menghindari potensi gugatan dari pihak obligor,” ungkap kandidat doktor dari Universitas Airlangga tersebut.
Belum lagi, pernyataan dan terminologi yang digunakan Ketua Satgas BLBI Rionald Silaban saat penyitaan aset BRD dan BRE adalah “diduga” terkait dengan obligor Bank Aspac sangat terkesan ambigu dan merasa belum yakin mengenai keabsahan kepemilikian aset-aset tersebut.
Pria yang akrab disapa Rossi tersebut menilai pernyataan Mahfud MD yang mempersilakan pihak-pihak yang keberatan untuk menempuh jalur hukum membuka celah kerja Tim Satgas BLBI rawan digugat banyak pihak yang dirugikan.
Menurut Rossi, iklim investasi asing dan kepastian hukum yang kerap disorot oleh investor asing hendaknya tidak dicedarai oleh kekurangprofesionalan Satgas BLBI.
“Ingat Presiden Joko Widodo adalah Ketua Presidensi G-20 dan sebentar lagi akan digelar pertemuan G-20 di Bali. Untuk kali pertama Indonesia memegang Presidensi Group of 20 (G20), forum kerja sama 20 negara pemuka ekonomi utama dunia. Setiap isu miring tentang iklim investasi asing di tanah air pasti akan menjadi sorotan internasional,” sambungnya.
Periode Presidensi Indonesia sendiri berlangsung selama satu tahun, mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022. Serah terima sebagai ketua atau handover, berlangsung pada Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Roma, Italia, pada tanggal 31 Oktober 2021 silam dari Perdana Menteri Mario Draghi kepada Presiden Joko Widodo.
G-20 adalah forum internasional yang fokus pada koordinasi kebijakan di bidang ekonomi dan pembangunan. G-20 merepresentasikan kekuatan ekonomi dan politik dunia, dengan komposisi anggotanya mencakup 80 persen PDB dunia, 75% ekspor global, dan 60% populasi global.
Anggota-anggota G-20 terdiri atas 19 negara dan 1 kawasan, yaitu: Argentina, Australia, Brasil, Kanada, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Prancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Republik Korea, Meksiko, Rusia, Arab Saudi, Afrika Selatan, Turki, Inggris, Amerika Serikat, dan Uni Eropa (RED)