Menakar Bobot Politik “UAS”

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Alumni PP Wahid Hasyim Yogyakarta)
Pelabuhan tanah merah pada pukul 13.30 siang waktu setempat, tampaknya menjadi saksi bisu, bagaimana pandangan Singapura terhadap sosok Ustadz Abdul Somad yang sering dipanggil UAS. Penolakan kedatangan ustad kondang itu oleh keimigrasian pelabuhan Singapura bersama 5 orang rombongan menjadi berita hangat sejak 16 Mei sampai sekarang. Setelah diperiksa oleh pihak keimigrasian pelabuhan dan dinyatakan tak diizinkan melanjutkan perjalanan, UAS mengaku dimasukkan ke ruang seluas 1×2 meter dengan atap jeruji selama 1 jam.
Berkat kemajuan teknologi informasi berita itupun segera menyebar secara massif kepada masyarakat. Sejumlah pro dan kontra kemudian berkembang menyertai sikap pemerintah Singapura. Pihak yang pro berpandapat, bahwa sesuai kedaulatan, suatu negara memang punya hak mengizinkan atau tidak mengizinkan setip warga negara asing untuk masuk wilayahnya. Ibarat bertamu terdapat sejumlah tatakrama ketika masuk rumah orang. Dalam surah An-Nur ayat 27 dan 28 Allah berfirman : “Wahai orang-orang yg beriman, janganlah kamu memasuki rumah yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya. Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat. Dan jika kamu tidak menemui seorang pun di dalamnya, maka janganlah kamu masuk sebelum mendapat izin. Dan jika dikatakan kepadamu “Kembalilah” maka (hendaklah) kamu kembali (pulang kerumahmu). Itu lebih suci bagimu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Ibarat rumah, Singapura adalah sebuah rumah besar dalam bentuk negara. Dalam konteks demikian UAS pasti sangat memahami konteks ayat di atas. Tetapi sayang dalam konteks UAS kali ini tampaknya tidak semua orang ingat dengan dua ayat ini, lalu bersikap realistis.

Bagi yang kontra, dan ini pasti representasi para pendukung UAS, sangat geram atas perlakukan Singapura terahadap UAS. Dengan kapasitas UAS yang dianggapnya sebagai tokoh, guru, sekalius ulama, tindakan pemerintah Singapura dianggap sangat melecehkan, tidak hanya UAS tetapi ummat Islam. Sejumlah demo dengan sejumlah pernyataan keras dan bahkan berisi ancaman dilotarkan.

Terhadap pro dan kntra tersebut untunglah Pemerintah tidak terpancing bahkan menunjukkan kepeduliannya. Melalui duta besarnya di Singapura segera melayangkan ‘nota diplomatik’ yang pada intinya meminta penjelasan terkait sikap Singapura terhadap pendakwah alumnus S-1 Al Azhar ini. Melalui penjelasan yang disampikan kepada komisi DPR/RI kementrian luar negeri telah pula memberikan garansi bahwa sikap Singapura terhadap UAS, sama sekali tidak ada pesanan dari pemerintah Indonesia. Berikut sejumlah alasan secara resmi dikemukakan oleh pemerintah Singapura, mengapa UAS ditolak masuk– dan bukan dideportasi seperti anggapan sebagian orang– meskipun sekedar mau berlibur bersama keluarga.

Dengan dukungan alam demokrasi yang ada, selama ini UAS bisa bebas berbicara apa saja di Indonesia. Dia pun bebas berkhotbah soal negara khilafah, mengomentari salib yang disusupi jin kafir, mengritik syiah (meskipun sering tidak dirinci syiah sekte mana), tanggapannya tentanag “mother day”, “velentaine day”, dan sejumlah masalah ‘panas’ lainnya. Dan, yang pasti setiap even pengajiannya telah terdokumentasi dan tampaknya telah membius jutaan umat. Dengan gaya bicara yang khas dan bahasa yang merakyat, UAS telah berhasil dengan cepat memikat masyarakat. Kecerdasannya menjawab berbagai persoalan keagamaan dengan “hujjah yang maton” baik mengenai masalah tradisional maupun aktual membuat doktor kelahiran Silo Lama , Asahan Sumatera Utara 18 Mei 1977 alumni Oumdurman Islamic University Sudan ini, dilabeli sebagai salah satu ulama Indonesia. Meskipun dasar amaliahnya mirip kaum nahdhiyyin tetapi kepiawaiannya mengangkat isu-isu aktual ummat Islam yang bersifat universal telah mengantarkannya bisa masuk ke berbagai kelompok Islam lain, di luar basis aslinya. Sebagai puncak ketokohannya, ketika banyak umat Islam garis keras ‘memimpikan’ negara khilafah, UAS tampil menyampaikan dukungan. Ketiadaaan tokoh sentral sebagai katalisatornya, setelah Habib Riziq Shihab (HRS) berurusan hukum, UAS seolah hadir sebagai sosok yang selama ini dirindukan dapat mencapai agenda-agenda besar para pendukung negara khilafah tersebut. Ketokohannya sudah dapat disejajarkan dengan HRS yang digelari sebagian umat sebagai “imam besar”. Di satu sisi UAS adalah penganut ajaran Islam tradisional ( madzhab Syafi’i) tetapi dia seolah melawan arus kaum tradisional yang pada umumnya mendukung pemerintah yang anti khilafah. Tentang ambigiutas UAS ini, benar kata Gus Yusuf (Tegalrejo) memang UAS ini amaliahnya ahlus sunnah ( seperti NU) tetapi pandangan politik (siyasah) nya yang bertentangan dengan NU.

Untuk sebuah legitimasi keberadaannya sebagai dai, undangan berceramah dari lembaga-lembaga resmi bergengsi, seperti Mahkamah Agung , Gedung MPR/DPR dan lembaga bergengsi lainnya tampaknya sudah cukup untuk mengukuhkan keberadaannnya sebagai dai sekaligus tokoh yang ternyata bukan kaleng-kaleng. Tetapi dia harus sadar terhadap konsekuensi dari semua isi pembicaraannya. Jejak digital sebagai konsekuensi kemajuan teknologi informasi tampaknya juga dengan mudah menyebar ke seantero dunia, termasuk dokumentasi ceramah dengan tema-tema panas di atas. Terlepas setuju atau tidak, setiap orang, kelompok, atau bahkan negara punya caranya masing-masing untuk menilainya. Ada yang setuju, biasa-biasa, dan apa pula yang tidak sependapat. Sejumlah alasan bisa saja dikemukakan mengapa mereka setuju, bersikap biasa-biasa, atau bahkan menolaknya. Nabi Muhammad SAW saja yang bekerja atas nama wahyu (yang menurut istilah Gus Baha, pasti benarnya) masih ditolak oleh yang tidak sependapat apalagi UAS yang bekerja atas nama “tafsir wahyu” yang belum tentu benar menurut orang lain.

Dari sisi ini, alasan Singapura menolak UAS berdasarkan penilaian menurut versinya, juga perlu dihargai. Apalagi, dari sisi kedaulatan sebuah negara, mengizinkan masuk atau tidak itu dijamin oleh hukum interasiol. Indonesia juga pernah menolak sejumlah warga negara Asing masuk via Bandara Soekarno Hatta berdasarkan pertimbangan dalam negeri tanpa harus memberikan penjelasan kepada mereka. Apalagi kasus penolakan UAS jelas-jelas punya alasan isu kekinian, seperti terorisme dan intoleran yang sangat ‘ditakuti’ di negeri Singa ini. Rekam jejak (track record) perjalanan internasional mungkin juga menjadi pertimbangan lain. Pernah ditolak ketika masuk di 5 negara sebelumnya—yaitu sebagimana ditulis populis.id (17 mei 2022) di Hongkng (Desember 2017), Timor Leste (2018), Jerman (Oktober 2019), Belanda dan Swis (2019)—tentu sudah cukup membuat negeri jiran ini berhati-hati ketika harus “menerima tamu” sekelas UAS. Negeri maju sekelas Singapura tentu punya perangkat teknologi canggih sekedar mengetahui rekam jejak setiap orang yang akan memasuki negeranya. Kita boleh bertanya, pendukungnya boleh marah, atau bahkan UAS sendiri berargumentasi menurut versinya, tetapi Singapura punya sejumlah alasan tanpa harus meminta persetujuan siapapun.

Berbagai spekulasi dapat kita kemukakan. Akan tetapi, belakangan alasan itu rupanya telah disampaikan secara terbuka oleh Menteri Dalam Negeri Singapura (18 Mei 2022). Menurut Singapura ada empat alasan mengapa UAS ditolak masuk, yaitu: dianggap sebarkan ajaran ekstrimis dan segregasi, pernah ceramah soal bom bunuh diri yang menurut UAS adalah sah dan dalam konteks Israel Palestina dianggap sebagai mati syahid, pernah sebut salib Kristen sebagai rumah jin kafir, dan kafirkan ajaran agama lain (CNN Indonesia 18 Mei 2022 yang mengutip situs resmi kemendagri Singapura).

Sekali lagi, terlepas setuju atau tidak, alasan tersebut merupakan hak ‘prerogatif’ Singapura. Dan, menurut pengalaman berbagai negara, hal-hal seperti itu sebenarnya juga biasa-biasa saja. Sorang sekelas Yasser Arafat habis mengahdiri sebuah acara di AS, pernah tidak diizinkan memasuki New York oleh wali kota setempat. Dengan mengetahui akar masalah sebenarnya, kita perlu menempatkan “isu UAS” pada proporsinya. Rasanya, naif jika masalah yang semula merupakan urusan pribadi itu, akan kita tarik-tarik menjadi urusan negara. Urusan negara bisa mencakup dua pengertian. Pertama, menjadi persoalan internal Indonesia. Sebagaimana kita ketahui, akibat ulah para pendukung dengan segenap aksi-aksinya itu, kini telah ‘merepotkan’ pihak keamanan yang mau tidak mau juga membebani pemerintah. Kedua, menjadi urusan antar negara. Sebagaimana kita ketahui, sejumlah aksi tampaknya juga menuntut agar pemerintah berbuat sesuatu ‘membela’ warganya sekelas UAS yang mereka sebut sebagai ulama besar. Kalau dua hal ini terjadi, tentu akan menjadi tolok ukur, seberapa bobot UAS dari sisi politik. Atau, jangan-jangan UAS sendiri sudah tahu sejak awal, kalau safari liburannya yang ditolak itu akan berakibat seperti ini. Kalau ini benar, UAS, selain sebagai dai kondang, tampaknya patut diperhitungkan oleh para politisi dan parpol pada ‘perhelatan demokrasi’ 2024 mendatang, bahwa ia merupakan salah satu politisi penting dengan setatus “kuda hitam” di negeri ini.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait