Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Jayapura)
Apa pun alasannya, saat ini sudah ada 3 pasangan calon presiden dan wakil presiden. Tiga pasangan itulah yang akan borkompetisi sekaligus borkontestasi politik guna memperebutkan suara rakyat pada pemilu 2024. Kalau tidak terdapat perubahan, karena alasan yang luar biasa, KPU telah menjadwalkan pemilu untuk memilih Presiden dan Wakil Pesiden, DPR/DPRD, dan DPD pada 14 Februari 2024. Dengan demikian secara resmi kini 6 orang inilah yang akan menjadi aktor utama yang menjadi perhatian publik pada pesta demokrasi tahun depan. Enam orang itu ialah Anis Baswedan yang bepasangan dengan Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo yang berpasangan dengan Mahfud MD, dan Prabowo Subianto yang berpasangan dengan Gibran Rakabuming Raka.
Kalau berbicara mengenai kekurangan mereka, semua pasti mempunyai kekurangan masing-masing. Munculnya pro kontra terhadap masing-masing calon, menunjukkan bahwa semua calon memang bukan manusia sempurna. Tidak ada satu calon pun, saat ini yang dapat diterima secara bulat oleh semua rakyat Indonesia yang memang sangat heterogen ini. Akan tetapi, setuju atau tidak, mengapa mereka dicalonkan, karena dianggap telah dapat menjadi representasi kepentingan para parpol pengusung.
Sebagaimana kita ketahui pasangan capres wan wapres Anis Baswedan dan Muhaimin Iskandar, telah diusung oleh 3 parpol ( Nasdem, PKS, dan PKB). Pasangan Ganjar Pranowo dan Moh.Mahfud MD diusung setidaknya oleh 5 parpol (PDIP, PPP, Hanura, Perindo, dan PSI). Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran diusung oleh 5 parpol (Gerindra, Golkar, PAN, PBB, dan Demokrat). Mangapa seluruh parpol perlu ‘bekerja sama’ dengan partai yang lain.
Alasannya karena adanya ketentuan Undang-undang yang mengarah kepada persyaratan bersifat kuantitatif. Pencalonan calon presiden mengharuskan pengusung memiliki suara yang memenuhi syarat ambang batas pencalonan capres dan cawapres (presidential threshold) sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Aturan tersebut menyatakan bahwa “Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya.” Oleh karena, ketepatan pengusungan bakal capres dan cawapres dapat berpengaruh kepada perolehan suara partai, maka partai-partai itu pun tentu tidak sembarangan menentukan siapa orang yang tepat untuk diusung sebagai R-1 dan R-2. Dengan demikian, oleh karena para parpol tidak bisa memastikan siapa capres dan cawapres yang akan menjadi pemenang, maka pengusungan capres dan cawapres itu, saat ini sejatinya juga menempatkan parpol pengusung dalam pertaruhan politik yang ‘tidak murah’. Kesalahan mengusung capres dan cawapres akan menentukan baik dan buruk eksistensinya di mata rakyat, saat mereka, pada saat yang sama, harus memilih wakil-wakilya di DPR nanti.
Dalam situasi demikian kerja sama antara capres/cawapres dengan parpol pengusung tentu sangat diperlukan. Sedari sekarang mereka dituntut untuk menunjukkan kapabilitas dan kredibilitasnya di mata rakyat. Ucapan, tindakan, bahkan bahasa tubuh mereka sedari sekarang juga akan lebih disorot oleh jutaaan masyarakat Indonesia. Kesalahan berbuat, bertutur kata, atau berperilaku sedikit saja yang terlihat rakyat, akan dapat mengubah simpati rakyat, tidak hanya kepada diri capres dan cawapres, tetapi juga kepada parpol pengusung.
Dengan kesadaran demikian, para oknum yang tidak bertanggung jawab dari kubu masing saat ini seperti saling mengintip untuk mencari celah kelemahan. Titik lemah mana yang dimiliki kubu lawan akan menjadi santapan empuk menjatuhkan para kandidat. Merskipun tahapan kampanye secara formal belum dimulai, sejatinya masyarakat simpatisan masing-masing capres dan cawapres saat ini sudah memulai kampanye terselubung. Bahkan, sudah terkesan masif. Bukti mengenai hal ini dapat kita lihat dari postingan-postingan di medsos mengenai kelebihan dan kekurangan para kandidat.
Di alam demokrasi, meyampaikan pendapat, di samping bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) setiap orang, memang dijamin oleh peraturan perundang-undangan tentang kebebasan berpendapat. Bahkan, juga dijamin oleh konstitusi. Negara wajib untuk memenuhi dan melindungi hak tersebut. Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.” Selain itu, ada juga Pasal 28E Ayat 3 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jaminan dan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat dipertegas dalam UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Kebebasan berpendapat tertuang dalam Pasal 23 Ayat 2 dan Pasal 25. Menurut Pasal 23 Ayat 2, setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan, melalui media cetak maupun elektronik, dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa. Sementara itu, Pasal 25 menegaskan, bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Tak hanya itu, kebebasan berpendapat, khususnya di muka umum, diatur secara khusus dalam UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Mengemukakan Berpendapat di Muka Umum.
Merujuk pada konstitusi dan paraturan perundang-undangan di atas, kemerdekaan menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab juga harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Menyampaikan pendapat merupakan perwujudan hak dan tanggung jawab berdemokrasi setiap warga negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Akan tetapi, walaupun menyampaikan pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara yang telah dijamin oleh konstitusi, namun pelaksanaannya tentu tidak bisa lepas dengan hukum yang berlaku. Penyampaian pendapat harus dilakukan dengan penuh tanggung jawab agar tidak mengganggu hak orang lain dan tidak ada pihak yang dirugikan.
Yang patut disayangkan adalah, ketika kita menyaksikan, tidak jarang isi postingan tersebut sudah sampai ke tahap ‘keterlaluan’, seperti menyerang kandidat kubu lawan secara membabi buta. Serangan kubu lawan tersebut sudah pada kategori penyerangan pribadi secara tidak adil, seperti menyerang bentuk fisik, dan sejumlah penstigmaan negatif lain kepada capres dan cawapres yang ada. Yang juga patut disayangkan, para pelakunya tidak jarang terdiri kaum terdidik (intelektual). Padahal, ketika memulai propaganda tentang capres dan cawapres, mestinya harus mulai dari persepsi yang sama. Persepsi itu ialah sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa keenam orang yang terpilih sebagai capres dan cawapres, terlepas setuju atau tidak, merupakan orang-orang terbaik. Setidaknya, terbaik secara politik, yang pernah dimiliki bangsa Indonesia saat ini. Pada saatnya, nanti rakyat akan menentukan sikapnya menentukan pilihan setelah melihat mereka beradu gagasan mengenai bangsa dan negara ke depan, yaitu saat KPU memberikan kesempatan mereka berkampanye.
Akhirnya, sebagai anak-anak bangsa, kita perlu ikut mengedukasi masyarakat dengan memberikan kesempatan yang sama kepada keenam anak bangsa tersebut untuk berkompetensi dan berkontestasi secara kesataria (fair) dan terhormat sesuai dengan mekenisme kenegaraan yang kita sepakati. Dan, yang pasti siapa pun yang terpilih nanti, sejauh telah dipilih melalui mekanisme demokrasi yang ada, harus kita tempatkan sebagai pemimpin (presiden dan wakil presiden) bagi seluruh rakyat Indonesia. Stop postingan yang menjelek-jelekan pribadi para putra terbaik bangsa yang kini cebagai capres dan cawapres tersebut, dengan penyebaran berita hoaks. Sebab, di samping tidak mengedukasi (memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat) juga dapat mengakibatkan kita berdosa.