Oleh: Saurip Kadi
Keterpaparan radikalisme agama (Islam) yang kini berkembang pada masyarakat luas dan khususnya pada generasi muda terpelajar adalah sebuah keniscayaan, karena sesungguhnya sejak jatuhnya Bung Karno, bangsa ini hidup tanpa kejelasan dasar negara, akibat sejak awal Orde Baru telah terjadi pemalsuan dan pengingkaran terhadap nilai-nilai Pancasila.
Memang betul, kelima sila yang tercantum dalam Pembukaan UUD -1945 tetap digunakan sebagai dasar negara, namun “tool” yang digunakan Orde Baru dalam menjalankan sistem kenegaraan berasal dari paham dan atau ideologi lain, bukan dengan nilai-nilai yang didasarkan pada paham, jiwa dan semangat Pancasila sebagaimana yang telah final dibahas oleh “Founding Fathers” dalam sejumlah persidangan BPUPKI dan juga PPKI menjelang kemerdekaan negara kita.
Penyebab Kerterpaparan Radikalisme.
Sejarah pejuangan kemerdekaan mencatat bahwa karena ketergesa-gesaan untuk segera merdeka, membuat “Founding Fathers” kita belum sempat menjabarkan nilai-nilai luhurPancasila secara utuh dan menyeluruh menjadi nilai-nilai operasional sebagai “hukum dasar” dalam penyelenggaraan pemerintahan negara yang dituangkan kedalam batang tubuh UUD -1945.
Dalam prakteknya, Orde Baru kemudian melengkapi kekurangan “hukum dasar” termaksud melalui TAP MPRS/MPR sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Rakyat kemudian dijadikan obyek kelinci percobaan gagasan elit Orde Barutentang sistem kenegaraan. Tanpa peduli darimana sumber, validitas keilmuan dan apalagi jaminan keberhasilan dalam praktek, model tata kelola sistem kenegaraan yang dirumuskan Orde Baru kemudian dilabeli dengan sebutan Pancasila.
Tegasnya, nama, simbul serta adribut yang digunakan memangbetul Pancasila, tapi kandungan nilai dan apalagi jiwa serta semangat yang melingkupinya sama sekali bukan Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana yang dimaksudkan oleh Founding Father kita.
Dengan sebutan Demokrasi Pancasila, namun yang diterapkan Orde Baru sesungguhnya adalah sistem negara otoriter. Bangsa yang dikenal dengan budaya “adhi luhung” kemudian kehilangan rasa kemanusiaannya. Kehidupan masyarakat yang begitu marak dengan simbul-simbul keagamaan, dalam praktiknya sebagian dari mereka terlebih elitnya sesungguhnya tidak berketuhanan, bahkan sesembahan mereka justru berhala (Jabatan, Uang dan atau kenikmatan duniawi lainnya).
Dengan konsep Dwi Fungsi, ABRI kemudian dijadikan sebagai alat kekuasaan termasuk untuk melakukan kontrol sosial. Lebih dari itu, atas nama kepentingan dan pembangunan nasional alat kelengkapan negara secara sah menurut hukum begitu saja mendzolimi bangsanya sendiri dengan berbagai stigma politik. Dan masih banyak lagi model serta mekanisme tata kelola kekuasaan negara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila itu sendiri.
Dengan konsep Ekonomi Pancasila, negara yang diberi berkah Tuhan Yang Maha Esa berupa kekayaan alam yang melimpah ruah, rakyatnya justru dimiskinkan secara struktural oleh negaranya sendiri. Sumber Daya Alam yang ada kemudian dibagi-bagikan sedikit untuk BUMN dan yang jauh lebih banyak lagiuntuk kroni penguasa, dalam dan luar negeri. Mereka kemudian diberi kemudahan, proteksi, bahkan monopoli dan sudah barangtentu juga fasilitas per Bank an. Sementara rakyatnya hanya bisa berebut mengkais sisa rezeki yang belum sempat mereka kuasai. Ibarat dalam kehidupan nelayan, “mulai dari ikan Kakap hinggaikan Paus diambil negara, dan rakyatnya disuruh rebutan ikanTeri”.
Paska lengsernya pak Harto, kondisi tersebut terus berlanjut, karena perubahan yang dilakukan melalui reformasi 1998 ternyata menyertakan nilai-nilai lama dan juga orang-orang lama yang justru bermasalah. Disanalah maka sejak awal reformasi hingga saat ini terus terjadi turbulensi elit. Lebih dari itu, praktek kartel dan oligharki kekuasaan yang dimasa lalu dilakukan oleh Penguasa, di era reformasi keadaan bebalik, justru dilakukan oleh kekuatan kapital.
Sungguh tepat statemen Presiden Jokowi diawal pemerintahannya yang menyebutkan bahwa “Mafia Dimana-mana, Dimana-mana Mafia”. Adalah fakta tak terbantahkan, kalau banyak pejabat negara tak terkecuali dilingkungan elit TNI/Polri dan lembaga peradilan termasuk dilingkungan Hakim Agung adalah hasil ternakan Mafia. Dan belum lagi bicara tentang kesenjangan wilayah dan kerusakan sosial lainnya, yang kesemuanya itu oleh pemerintah kini dengan sekuat tenaga tengah diperbaiki.
Maka dapat dipahami kalau diera reformasi, rakyat banyak dan terlebih generasi mudanya menjadi tidak peduli atau bahkanmuncul kesangsian terhadap keberadaan Pancasila, karena realitanya dengan Pancasila sebagai dasar negara, telah mengantar bangsa ini berulang kali dilanda krisis nasional serta malapetaka kemanusiaan yang ujungnya kini kondisi kehidupan bangsa menjadi begitu nestapa, akibat sistem kenegaraan yang amburadul.
Dari realitas sebagaimana dijelaskan diatas, lantas bagaimana mungkin ketika ada harapan baru dan apalagi yang dikemas dengan bungkus agama (Islam) tidak membuat generasi mudadan apalagi kaum terpelajarnya tergerak hatinya untuk dijadikan konsep alternatif dalam menatap masa depan diri, bangsa dan negara nya. Dan kondisi tersebut menjadi lebih subur ketika untuk tujuan politik tertentu, pemerintahan terdahulu memberi kelonggaran dan malah “ngopeni” pihak-pihak yang hendak mengambangkan paham radikalisme.
Upaya Penangkalan Radikalisme.
Sesungguhnya keterlambatan pemerintah dalam menangani persoalan radikalisme juga tidak bisa lepas dari kelalaian pemerintah dimasa lalu dalam melaksanakan amanat Undang-Undang Nomor:3 Tahun 2002 tentang dibentuknya Dewan Pertahanan Negara yang salah satu fungsinya adalah menetapkan Kebijakan Umum Pertahanan Negara termasuk dalam hal pendidikan Kewarga Negaraan sebagai bagian Bela Negara dalam membangun ketahanan nasional dibidang ideologi, sesuai kebutuhan kekinian.
Beruntung Presiden Jokowi dengan sigap segera menerbitkan Perppu Ormas yang kemudian telah di sahkan sebagai UU Nomor:16.Tahun 2018 Tentang: Penetapan Perppu Ormas menjadi UU. Dan dengan mendasarkan pada hukum, Pemerintah juga mengambil kebijakan tegas membubarkan Hitsbut Taher Indonesia. Disamping Presiden Jokowi juga membentuk Badan Pembina Ideologi Bangsa (BPIP).
Utuk itu kedepan, Presiden selaku Kepala Negara bisa saja memanfaatkan keberadaan BPIP disamping untuk membantudalam merumuskan Kebijakan Umum Pertahanan Negara dalam hal ini yang terkait dengan Bela Negara dalam mewujudkan ketahanan nasional dibidang ideologi, bisa saja dimanfaatkan untuk menjabarkan nilai-nilai luhur Pancasila yang diamanatkan oleh Founding Father menjadi nilai-nilai operasional yang kelakdijadikan amanat Pasal-Pasal UUD melalui Amandemen UUD -1945 ke 5. Dengan demikian dalam menjalankan sistem kenegaraan, kedepan bangsa ini mempunyai “hukum dasar”yang benar-benar bersumber dari Pancasila. Dengan demikian, praktek “labeling” nilai-nilai yang berasal dari paham lain dengan “merk” Pancasila, akan berakhir dengan sendirinya.
Hal mendasar lainnya dalam menangkal berkembangnya radikalisme adalah dengan peningkatan kwalitas syiar agama (Islam), kedepan pendakwah haruslah menguasai masalah–masalah kenegaraan disamping mutlak mereka harus tahu “asbabun nuzul” atau sebab-sebab yang melingkupi turunnya ayat dari setiap ayat yang diajarkannya. Dengan demikian Islam tidak akan pernah tampil menakutkan dan apalagi menjadi sumber mala petaka kemanusiaan yang diatas namakan perintah Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena ayat hanya dibaca secara textual.
Disamping itu, kedepan Pemerintah tidak boleh lagi berdiam diri terhadap puluhan ribu Pondok Pesantren yang selama ini titik beratnya lebih pada pembekalan anak didik untuk siap hidup di akherat, yang realitanya untuk sampai ketujuan tersebut masih waktu panjang. Dengan pembekalan ketrampilan yang difasilitasi pemerintah, niscaya akan mengurangi potensi ummat Islam sebagai lahan subur berkembangnya radikalisme, karena faktor kemiskinan dan kesulitan hidup mayoritas bangsa yang kebetulan beragama Islam.
Penulis, Mayjen TNI (Purn) mantan Aster Kasad.