Menata Ulang Efisiensi Berkelanjutan di Era Algoritma: Sebuah Refleksi Menuju JICF 2025

  • Whatsapp

JAKARTA, beritalima.com | Selama seperempat abad penegakan hukum persaingan usaha, model persaingan usaha di Indonesia telah mengalami perubahan signifikan dari logika pasar konvensional.

Saat ini pasar telah bermetamorfosis secara fundamental dan kekuatan
ekonomi tidak lagi harga, melainkan siapa yang menguasai data, jaringan, dan algoritma.

Di tengah transformasi digital yang disruptif ini, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menyadari bahwa pendekatan “bisnis seperti biasa” tidak lagi memadai.

Merespons tantangan itu, KPPU akan mengadakan The Third Jakarta International Competition Forum (3rd JICF) bertemakan “Legal Reform, International Alignment & Enforcement Evolution” di Danareksa Tower, Jakarta.

Forum ini bukan sekadar seremoni perayaan 25 tahun KPPU, melainkan momentum untuk mereformasi hukum dan menyelaraskan aturan main di era ekonomi digital.

Urgensi penyelenggaraan forum ini berangkat dari realitas bahwa perilaku anti persaingan kini semakin canggih. Kita menghadapi fenomena di mana algoritma dapat menciptakan kolusi diam-diam (tacit collusion), memicu konvergensi harga tanpa perlu adanya komunikasi antarmanusia.

Hambatan masuk pasar tidak lagi berupa tembok fisik, melainkan penguasaan data dan ekosistem platform yang menciptakan dominasi baru. Jika penegakan hukum tidak berevolusi, kebijakan pro-persaingan akan selalu tertinggal satu langkah di belakang teknologi.

Oleh karena itu, JICF ke-3 akan menghadirkan diskusi
mendalam mengenai dominasi digital dan transparansi pasar, melibatkan pakar dari otoritas persaingan usaha global seperti Rusia, Australia, Tiongkok, Jepang, ASEAN, hingga Mesir. Tujuannya jelas, Indonesia perlu berakselerasi dengan mengadopsi praktik terbaik global.

Salah satu fokus utama yang menjadi jiwa dari forum ini adalah nasib Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM). Di ekosistem platform, UMKM sering kali menjadi pihak yang paling dirugikan oleh klausul kontrak yang tidak seimbang dan praktik take-it-or-leave-it.

Jika kebijakan persaingan gagal menginternalisasi aspek keadilan bagi pemain kecil, manfaat digitalisasi hanya akan terkonsentrasi pada segelintir raksasa teknologi.

Juga isu merger dan akuisisi global, yang perlu diantisipasi guna mencegah pemusatan konsentrasi domestik secara tidak kasat mata. Sebagai langkah konkret, JICF turut mengangkat kedua isu tersebut.

Selain isu digital, sorotan tajam juga diarahkan pada pengadaan barang dan jasa publik. Dengan skala belanja pemerintah yang begitu besar, sektor ini menjadi lahan basah bagi persekongkolan tender yang merugikan uang rakyat.

Forum ini akan membedah strategi pengawasan pengadaan publik yang lebih efektif, menggunakan perangkat forensik digital dan penyaringan (screening) berbasis data.

Kehadiran tokoh kunci seperti Ketua KPPU, Menteri Keuangan, Menteri UMKM, dan Menteri Komunikasi dan Digital dalam forum ini menegaskan bahwa persaingan usaha yang sehat adalah tulang punggung stabilitas ekonomi nasional.

Pada akhirnya, JICF ke-3 akan menjadi pernyataan sikap, bahwa tanpa pasar yang bisa diperebutkan (contestable market), agenda inovasi nasional akan lumpuh. Indonesia sedang berldari narasi sempit tentang kesejahteraan konsumen jangka pendek menuju
ketahanan ekosistem dan inovasi jangka panjang.

Melalui forum ini, KPPU mengundang para pelaku usaha, akademisi, dan pemangku kebijakan untuk duduk bersama. Bukan hanya untuk merayakan masa lalu, tetapi untuk merancang arsitektur pasar yang adil bagi Indonesia di masa depan. (Gan)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait