‘Mencari’ Potensi Equilibrium Pasar di tengah Polemik ‘Impor Beras’

  • Whatsapp

Dr. Lia Istifhama, M.E.I
(Doktor Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel Surabaya)

Dalam ekonomi, mekanisme pasar dapat dikatakan telah berjalan saat keseimbangan pasar (market equilibrium) telah terbentuk. Keseimbangan yang dimaksud adalah berkaitan demand dan supply, yaitu tidak terjadi kelebihan penawaran (excess supply) akibat harga terlalu tinggi ataupun kelebihan permintaan (excess demand) akibat harga terlalu rendah. Keseimbangan ini dimaksudkan dalam keadaan ceteris paribus, yaitu tidak ada faktor-faktor khusus yang mempengaruhi harga. Sebagai contoh, keseimbangan tersebut mungkin tidak secara normatif dapat diwujudkan saat pandemi Covid 19, dimana terjadi perubahan dalam ‘pola konsumsi’.

Sangat menarik kemudian jika dikaji pada 2021 ini, yaitu sebuah situasi yang ‘seharusnya’ manmade fase new normal menuju kebangkitan dalam berbagai bidang, terutama ekonomi. Namun, ada isu yang sangat menyita perhatian publik dalam kaitannya dengan sektor ekonomi, yaitu ‘pedasnya’ harga cabai dan rencana impor beras 1 juta ton dari Thailand. Atas fakta tersebut, tulisan ini mencoba mengkaji secara holistik isu besar yang sedang terjadi.

Berbicara impor beras, sebenarnya telah terjadi pada masa Orde Lama, tepatnya tahun 1963. Meskipun saat itu, Presiden Soekarno pernah mencanangkan program swasembada beras melalui Yayasan Badan Pembelian Padi pada tahun 1956–1964 sebagai bentuk penolakan impor beras yang sekaligus melepaskan ketergantungan Indonesia pada negara asing.

Pada Orde Baru, impor beras pun masih pernah dilakukan meskipun Presiden Soeharto memperoleh penghargaan dari Food and Agriculture Organization pada 14 November 1985 sebagai bentuk keberhasilan swasembada beras saat itu. Namun harus diakui, Indonesia pada masa Orba juga pernah melakukan ekspor beras, yaitu masing-masing 106 ribu ton pada tahun 1985, 231 ribu ton tahun 1986, 231 ribu ton tahun 1987, dan pada tahun-tahun berikutnya pernah beberapa kali melakukan ekspor beras meskipun jumlahnya tidak mencapai 100 ribu ton. Sedangkan ekspor tertinggi di masa Presiden Jokowi terjadi tahun 2017, yaitu 3,5 ribu ton. Pada era Presiden Jokowi juga, impor beras pun pernah terjadi pada 2018 sebesar 2,5 juta ton dari Vietnam dan Thailand.

Sebenarnya, semua kebijakan pemerintah, termasuk impor beras, tentu telah melalui pertimbangan matang dari ‘ranah legislatif’ (DPR RI) untuk kemudian masuk dalam ‘ranah eksekutif’. Dengan begitu, sangat lumrah jika kemudian dikaji detail potret stok beras 2021 melalui dua cara, data kuantitatif Bulog dan observasi lapangan terkait kenaikan harga.

Pertama, dari data Bulog, melalui Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IV DPR RI 15 Maret lalu menjelaskan bahwa stok beras aman, terlebih saat ini masa puncak panen raya. Stok beras di gudang Bulog mencapai 883.575 ton dengan Cadangan Beras Pemerintah sebesar 859.877 ton dan beras komersial sebesar 23.706 ton. Meski ada penyerapan bulan Maret dan April, namun cadangan beras masih melimpah yakni di atas 1 juta ton setelah memasuki panen raya. Dengan begitu, data tidak menampilkan kekurangan stok beras.

Sedangkan cara yang kedua, yaitu ada tidaknya fakta kenaikan harga yang menunjukkan excess demand. Namun ternyata fakta lapangan justru menunjukkan penurunan harga beras. Sebagai contoh dalam satu semester terakhir, yaitu sejak September 2020, harga beras terus mengalami penurunan meski tidak secara ‘drastis’ seperti halnya kenaikan harga cabai.

Pada September 2020, tercatat harga beras premium turun 0,92 persen secara bulanan menjadi Rp 9.871 per kilogram. Pada Nopember 2020, penurunan masih terjadi, yaitu menjadi Rp 9.715 per kg, sehingga menjadi salah satu komoditas yang menyumbang deflasi saat itu. Kemudian pada awal 2021 hingga Maret, harga beras belum menunjukkan ‘kegairahan’. Harga beras premium masih pada kisaran 9.772 per kg, harga beras medium Rp 9.386 per kg, dan harga beras luar kualitas pada kisaran Rp 9.146 per kg. Padahal sebelum penurunan harga, beras premium pernah mencapai harga Rp10.082,- per kg pada Maret 2020. Dengan begitu, jika mengacu pada hukum supply demand, maka tidak ada indikasi excess demand atau permintaan melebihi stok (supply) beras.

Penurunan harga beras ini sejalan dengan penurunan harga gabah yang menyita perhatian publik saat ini. Dalam hal ini, harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani adalah Rp 4.758 per kg, selisih cukup jauh dengan Maret tahun lalu dimana GKP adalah Rp 5.766 per kilo. Penurunan juga terjadi pada gabah kering giling sehingga fakta tersebut menegaskan pernyataan Bulog bahwa tidak tampak indikasi kekurangan supply dalam komoditi pangan tersebut.

Namun perlu diketahui, bahwa tulisan ini bukan untuk menampakkan sikap kontra atas sebuah kebijakan atau analisa siapapun. Melainkan, fakta di atas sangat penting untuk menjadi pembanding data agar didapat akurasi prediksi stok beras di tahun 2021. Terlebih, datangnya barang impor tentu memiliki potensi dampak pada persaingan usaha komoditi pangan tersebut.

Harus diakui bersama, bahwa dalam era persaingan bebas, impor sangat bisa dilakukan oleh banyak pihak tanpa adanya ‘MOU dari pemerintah’. Maka membendung arus impor melalui larangan impor komoditi pangan, adalah keniscayaan. Bahkan uniknya, komoditi pangan impor memiliki harga jual dibawah produk lokal. Sebagai contoh pada Januari 2021, beras impor salah satu negara tetangga, telah masuk ke pasar tradisional dengan harga hanya Rp 9.000 per kg. Padahal berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 57 tahun 2017, HET beras medium untuk wilayah Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Bali, NTB, dan Sulawesi adalah Rp 9.450/kg. Sedangkan, untuk wilayah Sumatera selain Sumsel, NTT, dan Kalimantan, HET beras medium Rp 9.950/kg. Kemudian, untuk wilayah Maluku dan Papua, HET beras medium Rp 10.250/kg.

Inilah yang merupakan sebuah ironis yang seharusnya menjadi kajian bersama. Karena secara logika, seharusnya produk impor yang masuk ke Indonesia, membutuhkan cost yang tinggi dalam hal transportasi, tarif bea masuk dan pajak impor. Sebagai contoh, pada 2019, tarif pembebanan bea masuk untuk beras impor ditetapkan sebesar Rp. 450/kg. dan memang diperkirakan pada 2019, rata-rata harga ‘beras tetangga’ memang sangat murah, yaitu kisaran Rp.5.000-6.000/kg.

Terlepas kualitas beras lokal yang dinilai lebih bagus daripada ‘beras tetangga’, namun godaan harga yang murah pasti akan mempengaruhi preferensi konsumen dalam menentukan beras yang dikonsumsinya. Hal ini yang harus menjadi kajian bersama karena simbol negara agraris adalah pertanian. Maka ketika pertanian tidak lagi menjadi identitas negri, apakah mungkin Indonesia masih menyandang sebutan negara agraris? Sedangkan harus diakui, bahwa profesi petani adalah profesi yang tidak mudah dan penuh ‘perjuangan’. Petani tidak bisa dipastikan pendapatan bulanannya, apalagi pendapatan sehari-hari. Melainkan, petani adalah profesi yang hanya akan mendatangkan pendapatan saat panen tiba. Lantas, bagaimana jika panen gagal? Ini semacam menambah pertanyaan tatkala kita bandingkan harga beras lokal yang lebih tinggi dari beras impor.

Beberapa faktor yang menyebabkan mahalnya beras lokal adalah komponen cost produksinya, mulai dari benih padi, pestisida untuk melawan hama, pupuk, hingga biaya sewa lahan dan tenaga kerja. Harus diapresiasi, bahwa petani bukan pejuang pangan yang tinggal diam menunggu subsidi. Pupuk misalnya, banyak kisah petani yang berhasil mengembangkan pupuk sendiri. Hal sama juga dilakukan oleh petani dalam melawan hama yang mengancam keberlangsungan tanaman di persawahannya serta upaya khusus untuk mengantisipasi banjir yang bisa menggagalkan panennya, meskipun cara mereka tidak selalu efektif.

Dalam hal ini, harus diperhatikan faktor lain yang sangat mempengaruhi cost produksi bertani, yaitu biaya sewa lahan, transportasi, dan tenaga kerja. Jika dikaji detail, faktor-faktor tersebut adalah bagian dari multiplier effect situasi ekonomi. Peningkatan UMK tahunan yang bertujuan meningkatkan taraf hidup karyawan misalnya, ternyata diiringi peningkatan berbagai biaya, mulai dari kenaikan harga barang, kenaikan biaya asuransi, dan sebagainya sehingga semua lapisan masyarakat juga mendapatkan dampaknya. Maka tak dapat diabaikan, peningkatan biaya hidup menjadi indikator penting terbentuknya kesepakatan ‘harga jasa’ buruh tani. Begitupun sewa lahan, tidak dapat dipersalahkan jika pemilik lahan mematok harga cukup tinggi mengingat harga tanah di banyak wilayah Indonesia, terus mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Sedangkan transportasi, tetap tidak bisa diremehkan karena pada kenyataannya, banyak petani yang harus mengeluarkan biaya-biaya cukup banyak untuk membeli pupuk, pestisida, dan sebagainya dalam proses bertani hingga pasca panen.

Solusi efektif untuk menyelesaikan problem petani pada akhirnya sangat dipengaruhi ‘tangan emas’ Pemerintah sebagai pemangku kebijakan, yang dalam hal legislatif dan eksekutif. Meskipun terdapat prinsip ekonomi laissez-faire bahwa harga ditentukan oleh kekuatan pasar (sendiri), yang oleh Adam Smith disebut dengan invisible hand, namun bukan berarti Pemerintah tidak memiliki kesaktian kuat untuk menyelamatkan suistanability petani.

Jika kita kaji secara regulasi misalnya, sebenarnya telah terdapat regulasi yang memihak petani, terutama dalam kaitannya dengan sewa lahan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLPPB) terdapat beberapa poin yang sebenarnya sangat membantu petani. Pasal 37 misalnya, menjelaskan bahwa PLPPB dilakukan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah melalui pemberian: a. insentif; b. disinsentif; c. mekanisme perizinan; d. proteksi; dan e. penyuluhan. Sedangkan Pasal 38 menjelaskan bahwa insentif diberikan kepada petani berupa: a. keringanan PBB; b. pengembangan infrastruktur pertanian; c. pembiayaan penelitian, pengembangan benih, dan varietas unggul; d. kemudahan dalam mengakses informasi dan teknologi. Dengan begitu, jika regulasi tersebut secara optimal diaplikasikan, maka sangat mungkin kedaulatan pangan yang menjadi nafas Nawa Cita Presiden Jokowi dapat terwujud nyata.

Dan pada akhirnya, jika upaya penyelamatan pertanian dilakukan secara holistik dan sistematis, maka sangat mungkin terbentuk equilibrium market, yaitu tidak ada excess supply dan excess demand sehingga membentuk harga adil (justum pretium) bagi semua pihak, baik petani maupun masyarakat sebagai konsumen. Tentunya, fakta tidak ada excess demand sangat jelas menunjukkan kesimpulan bahwa ‘stok beras aman’. Sedangkan pemerintah yudikatif, juga sangat dibutuhkan perannya dalam mengatasi ‘human error’, yaitu perilaku nakal oknum tertentu yang merusak harga, mulai dari harga komponen produksi beras hingga harga beras pasca panen. Akhir kata, “Semangatnya Petani adalah Selamatnya Pangan”.

beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait