Mendakwahkan COVID-19

  • Whatsapp

Oleh : H. H. Asmu’i Syarkowi

Terhitung sampai awal September 2020 lalu sudah lebih dari 100 dokter “gugur” karena covid-19. Angka tersebut telah menjadi headline berita Jawa Pos (01/09/2020). Jumlah itu tentu belum termasuk tenaga medis lain non dokter, seperti para perawat baik tenaga tetap/PNS maupun yang masih berstatus sebagai tenaga honor. Nyawa mereka yang melayang memang akibat risiko sebuah profesi. Dan, pastinya memang tidak sia-sia. Tetapi, usaha meminimalisasi risiko perlu terus diupayakan dengan usaha-usaha nyata dari pembuat kebijakan. Mengapa?
Syahrizal Syarif, epidemiolog asal Universitas Indonesia, seperti yang dikutip Jawa Pos (01/09/2020), menjelaskan bahwa gugurya para dokter dan tenaga kesehatan tidak terlepas dari faktor kelelahan akibat beban kerja yang berlebihan. Sebagian dokter yang meninggal adalah dokter umum dan sepesialis dalam. Hubungannya dengan covid-19 adalah karena setiap kali ada kasus baru yang menangani kali pertama adalah dokter-dokter tersebut. Selanjutnya, akan berapa lagi tenaga medis yang menjadi korban keganasan virus asal Wuhan, Cina ini, kita belum tahu. Akan tetapi, Syarizal membuat analisis kuantitatif, jika 50 ribu kasus pertama Indonesia dicapai dalam 114 hari. Menurutnya, waktu itu cukup lama. Akan tetapi lain halnya 50 ribu pada kasus kedua yang hanya dicapai dalam waktu 33 hari dan 50 ribu ketiga hanya dicapai dalam waktu 23 hari. Sementara itu 50 ribu keempat diprediksi tercapai dalam dalam kurun waktu 18 hari. Menurutnya, berdasarkan tren kasus tersebut, akhir Desember 2020 kita akan mencapai 500 ribu kasus. Dari data demikian dia hendak menegaskan, bahwa jika dengan kasus 174 ribu kasus covid-19 sudah ada 100 dokter meninggal, lantas akan berapa dokter lagi meninggal jika kasus covid-19 ini sudah menembus angka setengah juta kasus.

Analisis tersebut tentu tidak dimaksudkan untuk membuat pesimis kita apalagi dimaksudkan sebagai pematah semangat juang paramedis, khusunya para dokter, yang menjadi ujung tombak. Tetapi, setidaknya perlu membuat kita sadar agar kita tidak abai terhadap dua hal. Pertama, tentang eksistensi para dokter dan paramedis lainnya. Para dokter dan paramedis lain adalah manusia biasa. Sebagai manusia dia tidak bisa lepas dari hukum-hukum alamiah yang menimpa manusia lainnya. Sebagai manusia mereka bisa lapar, bisa kecapekan, bisa mengantuk. Kualifikasi pendidikanlah yang menyebabkan mereka berbeda dengan manusia lainnya. Sebagai profesional mereka mempunyai kompetensi melakukan pekerjaan yang tidak boleh dilakukan orang lain. Orang lain yang mengambil perannya tidak saja melanggar ‘kapling’ tetapi bisa berurusan hukum. Seorang dokter punya kewenangan menginjeksi pasien. Pekerjaan itu tentu tidak boleh diwakili oleh istri dan ankanya sekalipun yang bukan dokter. Sebagai dokter, sesuai sumpahnya harus memberikan pengobatan kepada pasien tanpa membeda-bedakan strata sosial, suku, ras, dan agama. Ketika menghadapi pasien, dokter hanya melihat, bahwa di hadapannya ada seorang manusia yang mempunyai nyawa. Ketika itu pula seorang dokter hanya berfikir bagaimana menyelamatkan nyawa pasien sesuai dengan “standar operasional” yang ada.

Ilustrasi beban tugas dokter yang demikian berat ini tampaknya sering tidak difahami oleh sebagian masyarakat. Masyarakat seolah tidak pernah membayangkan bagaimana para dokter yang ganteng dan cantik itu harus selalu tampil terbungkus berjam-jam dalam APD yang sangat pengap dan pasti tidak nyaman itu. Bahkan, kekurangpengertian itu juga datang dari para pembuat kebijakan mengenai rumah sakit (bisa pemerintah dan pihak manajemen) tempat mereka bekerja. Para pembuat kebijakan sering lambat memenuhi ‘kemauan’ dokter yang berawal dari kelambanan merespon problematika dokter di lapangan. Sebagai contoh, beberapa waktu lalu, saat bulan-bulan pertama covid-19 mendera Indonesia, tampak para medis harus bekerja tanpa APD (alat pelindung diri). Banyak para medis yang harus membuat sendiri APD dengan kreasi dan bahan seadanya. Saat pandemi ini mulai ‘mengganas’ masih saja terdengar keluhan para dokter mengenai tidak memadainya “peralatan perang”. Setidaknya hal ini pernah disampaikan oleh Eva Sri Wardana, seorang dokter spesialis paru di Jakarta.”Saya bekerja dengan APD yang tidak memadai,” katanya. (Jawa Pos,01/09-2020).

Tentu kita tidak menginvestigasi penyebab kematian para pahlawan covid-19 itu. Akan tetapi, dari ilustrasi di atas paling tidak tergambar betapa situasi dan kondisi di lapangan sering tidak terartikulasi dengan baik sehingga meyakinkan para pembuat kebijakan. Atapun kalau sudah, karena alasan prosedural, para pembuat kebijakan sering lambat merespon hal-hal yang secara cepat dibutuhkan para dokter di lapangan.

Kedua, bahwa wabah covid-19 benar-benar ada sekaligus masih belum lenyap dari bumi. Sebagaimana kita saksikan sehari-hari, dalam kasus covid-19 ini tampaknya masyarakat kita terbagi menjadi 3 kelompok. Pertama, ada yang berpandangan covid-19 memang nyata dan berbahaya. Kedua, yang berpendangan covid ada dan tidak berbahaya. Ketiga, ada pula yang berpendapat covid-19 itu tidak ada.

Yang berpendangan bahwa covid-19 itu nyata dan berbahaya menganggap covid-19 merupakan penyakit yang layak ditakuti. Berita kematian tentang orang yang mengidap covid-19 sampai membuat mereka paranoid. Sikap penolakan pemakaman jenazah covid-19 dan penolakan pulang para petugas medis ke rumah merupakan bentuk paranoid tersebut. Akan tetapi, ada sisi baiknya. Mereka biasanya menjalankan protokol kesehatan dengan ketat. Bahkan, menambah sendiri item-item tertentu demi terlindung dari bahaya virus yang mereka anggap ganas ini. Sedangkan, kelompok masyarakat kedua yang menganggap covid-19 seperti penyakit lainnya. Jangan terlalu ditakuti dan jangan pula diremehkan. Merekapun dengan ‘suka cita’ menjalani protokol kesehatan sebagaimana yang dianjurkan.

Akan tetapi, harus diakui, pada saat yang sama sampai saat ini masih ada pula masyarakat yang beranggapan, bahwa virus corona itu tidak ada. Dengan konyol mereka mengatakan, bahwa covid-19 merupakan penyakit flu biasa. Berita kematian akibat covid-19 di TV dan adanya gugus tugas adalah bagian dari rekayasa untuk membesar-besarkan masalah. Menurut kelompok masyarakat ini, memakai masker merupakan sikap ketakutan akibat dramatisasi covid-19 di media. Larangan berkerumun yang berujung kepada larangan salat di masjid juga sering dimaknai oleh mereka sebagai upaya kaum kafirin (orang-orang kafir musuh Islam) menjauhkan Islam dari ajaran agamanya. Bahkan, tidak jarang ada yang mengkaitkan penutupan masjid dari kegiatan salat Jumat merupakan bagian sekenario ormas terlarang tertentu. Analisis ‘ngawur’ ini seolah menemukan legitimasinya ketika mereka mengatahui fakta, bahwa virus ini berasal dari Cina, negara yang secara historis punya pengalaman sejarah hitam bagi Indonesia.

Keberadaan masyarakat demikian ini, sekali lagi, harus diakui masih ada. Tidak jarang keberadaan mereka semakin kuat berkat ‘hasutan para oknum ustad’. Para oknum ustad ini sepertinya apriori tentang hingar-bingar peperangan melawan covid-19 sekaligus korban-korban yang ditimbulkan. Padahal, para korban tersebut tidak hanya menimpa rakyat kecil tetapi juga para pejabat, tidak hanya orang yang tengah minum obat tetapi juga menimpa orang yang berkewajiban memberikan obat. Pengajian-pengajian rutin yang mestinya menjadi media penyampai informasi yang benar dari pemerintah justru menjadi media serangan balik. Dengan didukung oleh hoax di medsos tampaknya, ‘hasutan’ oknum tersebut membuat masyarakat seolah menemukan bukti bahwa covid-19 itu memang sengaja dibesar-besarkan.

Secara struktural, para pengurus ormas Islam yang ada boleh bangga telah mengikuti kebijakan gugus tugas. Namun secara faktual di lapis masyarakat bawah euphoria melawan covid-19 sering sama sekali tidak terlihat. Ketika ke masjid dan lalu lalang di jalan tanpa masker menjadi pemandangan kita sehari-hari pada masyarakat lapis bawah. Mereka juga berangapan, bahwa covid-19 hanya urusan orang kota, urusan televisi, bahkan urusan pejabat yang akan mengkorupsi anggaran negara.

Oleh karena itu, gugus tugas sebagai instutusi satu-satunya yang diberi kewenangan menanggulangi covid-19, perlu melihat langsung potret masyarakat bawah tersebut. Pemberian pengobatan bagi yang terinfeksi memang penting. Akan tetapi, pemberian penyuluhan dengan memberikan informasi yang benar tentang covid-19 kepada masyarakat juga upaya yang tidak boleh diabaikan. Penyuluhan itu tentu harus dilakukan oleh orang yang berkompeten (dokter atau petugas medis lainya) amat penting. Dalam pengajian-pengajian dan atau para even-even keagamaan lain perlu diselipkan informasi tentang covid-19 dan seluk-beluknya. Tujuannya, agar masyarakat tidak terus menerus mendapat infomrasi yang salah sehingga punya persepsi yang salah pula tentang covid-19 ini. Sebab, akibat mendapat informasi salah seputar pandemi dari para ‘oknum’ dan medsos inilah yang sering mementahkan dan mematahkan greget pemerintah memerangi covid-19. Ke depan jika upaya ini berhasil, “kesalahpahaman” masyarakat dengan modus yang beraneka macam, seperti penjemputan paksa pasien dan jenazah, sikap abai terhadap kepatuhan protokol kesehatan, diharapkan tidak terjadi lagi. Pada gilirannya, berkat kerja keras pemerintah yang didukung penuh oleh semua lapisan masyarakat, diharapkan Covid-19 segera enyah dari bumi Indonesia. Sehingga, kehidupan kita sehari bernar-benar terasa “normal” tanpa embel-embel “new”. Semoga.
Sekedar urun rembug.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait