Oleh: Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
( Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)
Hati sipa pun pasti akan terasa teriris ketika menyaksikan akibat peperangan, kapan pun dan di mana pun. Sudah berapa bangunan mewah dan hunian harus hancur. Anak-anak dan perempuan tak berdosa yang tidak terlibat peperangan–dan mungkin juga tidak tahu kenapa harus terjadi perang–harus menjadi korban. Jiwa melayang dan yang hidup pun harus mengalami luka-luka atau cacat seumur hidup. Yang masih hidup pun dan kebetulan selamat harus kehilangan tempat tinggal. Di tengah desingan mesin perang hampir tidak ada yang tahu kapan perang akan berakhir. Mereka pun seolah berharap hampa kapan kehidupan normal dimulai lagi.
Kini gambaran pilu ini secara nyata kita saksikan dalam konflik Palestina-Israel. Sejumlah pertanyaan dari hati nurani yang paling dalam selalu muncul: mengapa Palestina-Israel selalu perang? Mereka seolah harus membiarkan dan bahkan mengabadikan konflik ini terus tetap berlangsung. Pada saat yang sama rakyat kecil dan yang sama sekali tidak terlibat urusan politik, selalu mendambakan hidup damai dan bermartabat seperti saudara-saudara di belahan dunia yang lain.
Dakam menyikapi konflik berkepanjangan Palestina Israel ini, posisi negar kita sejak dulu memang tetap konsisten. Konsistensi Negara kita ini memang bukan tanpa alasan. Konsititusi yang menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara memang telah menggariskannya. Garis itu telah terukir dengan jelas dan tegas dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai berikut:
“Sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan.”
Oleh karena kalimat ‘sakti’ itu tertulis dalam konstitusi, maka harus menjadi pedoman oleh siapapun yang menjadi pemimpin negara di Indonesia. Oleh karena itu siapapun yang menyangsikan komitmen pemerintah pada konflik Palestina-Israel pasti akan kecele. Karena, rejim dari kalangan mana pun, selama konstitusi itu belum diubah pasti tidak ada yang berani ambil risiko mengabaikannya. Hanya pemimpin yang tidak waras saja yang berani melawan konstitusi yang ketika disumpah telah menyatakan kesanggupannya untuk melaksanakan konstitusi dengan selurus-lurusnya.
Beberapa waktu lalu memang sempat ada yang menyangsikan sikap pemerintah yang tidak membela Palestina saat Negara-negara lain mengutuk serangan biadab Israel. Kebencian mereka kepada rejim berkuasa hari ini, rupanya menutup mata dan telinga bahwa pemerintah Indonesia sangat sibuk melakukan langkah-langkah diplomasi strategis bagaimana menyudahi konflik dan tetap mendukung kemerdekaan bangsa Palestina. Akan tetapi, sebagian pengamat memang menyangsikannya, Bagaimana Indonesia bisa berperan secara maksimal, bila sampai sekarangpun Indonesia tidak punya hubungan diplomatik dengan Isarel? Bagaimana kita bisa membujuk zionis itu ‘mendapat hidayah’ (berubah pikiran) kalau kita tidak bisa meyakinkan pentingnya perdamian. Bukankah dengan hanya berhubungan dengan Palestina kita dianggap musuh pula bagi Israel dan itu berarti menutup peran kita menegakkan konstitusi dan menyebabkan Israel mendapat hidayah? Dalam rangka itulah sebenarnya mengapa Gus Dur dan Gus Yahya ‘ngebet’ ke Israel yang ternyata justru dikecam habis-habisan oleh kelompok Islam tertentu.
Di era demokrasi yang semakin terbuka dan didukung oleh medsos yang semakin marak ini mamag ada fenomena di luar dugaan kita. Ternyata, di saat kelompok mayoritas bangsa bersimpati dan berempati mendukung kemerdekaan dan ikut merasakan kepedihan rakyat Palestina, ternyata ada sekelompok orang yang membela Israel dan bahkan ‘mencibiri’ Palestina. Sehingga seorang Ulil Absar Abdala—yang terkenal dangan stigma penganut islam liberal–pun sampai-sampai perlu dibilang sudah menjadi ‘kadrun’ karena membela Palestina. Belaiaun balik mengatakan dan pasang badan dengan mengatakan:”Jika membela Palestina membuat seseorang menjadi kadrun, Gus Mus juga kadrun, sebab Gus Mus menjadi inisiator malam puisi Palestina tahun 2017 di TIM melanjutkan inisiatif serupa yang digagas Gus Dur sebelumnya. PBNU pun kadrun (ngopibareng.id/19/05/2021).
Di kesempatan lain beliau juga pernah bilang jika berpihak kepada bangsa palestina ada biang itu pertanda kadrun, ya saya kadrun. I don’t care, tulisnya. Beliaupun mengutip ucapan Imam Syafi’i:” Kalau mencintai ahlul bait disebut syi’ah, saya syi’ah”.
Di balik julukan yang biasa disematkan kepada kelompok Islam salfi wahabi yang biasa sok Arabis itu, tampak secara terbuka ada proses polarisasi dukungan dalam konflik Palestina-Israel. Kalau dulu yang mendukung Israel tidak berani karena ‘takut’ dengan besarnya arus gelombang para pendukung Palestina, kini mulai berani eksis. Akan tetapi salahkah mereka?
Dalam melihat konflik Palestina-Israel tampaknya memang tidak bisa dilihat secara hitam putih sama halnya tidak bisa dilihat semata konflik Islam-Yahudi. SEbab, masing-masing ada Yahudi da nada Islamnya. Perang itu juga tidak sepenuhnya sebagai perang agama, sekalipun semangat agama bisa menjadi motivasi perang masing-masing pihak.
Apalagi, lantas dengan serta merta mengutip ayat-ayat Al Qur’an (misalnya, walan tardho ankal yahudu walan nashoro hatta tattabi’a millatahum…). Di sana ada egoisme suku, bangsa, dan politik. Masing-masing ada kelompok radikal yang sama sekali tidak bersedia saling berunding. Sepeninggal mendiang Yasser Arafat Palestina praktis dikuasai oleh kelompok garis keras. Di Israel pernah ada seorang pemimpin bernama Yitzak Rabin Dia adalah seorang mantan tentara yang pernah ikut “perang enam hari” melawan negara-negara Arab.
Akan tetapi, setelah perang terebut Rabin berubah menjadi seorang yang cinta damai. Diketahui ia sering melakukan kompromi dengan rakyat Palestina yang tinggal di wilayah kekuasaan Israel ketika sedang bertugas. Setelah menjadi perdana menteri Israel Rabin mulai melakukan berbagai upaya perdamaian dengan Palestina. Salah satu ‘jasanya’ adalah ketika memberikan keleluasaan bagi Palestina untuk memerintah di wilayah tepi Barat dan sepanjang jalur Gaza. Akan tetapi, kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada perdamaiajn itu tampaknya banyak ditentang oleh masyarakat Israel (garis keras) terutama ketika ia melakukan sebuah perjanjian dengan Yasser Arafat sampai akhirnya harus meregang nyawa pada tanggal 4 November 1995 oleh peluru bangsanya sendiri dari Yahudi garis keras. Dalam perkembangan berikutnya orang Yahudi garis keras memang seperti mendapat tangan kekuasaan ketika partai konservatif berkuasa. Radikal versus radikal, mungkin begitu gambaran konflik Palestina-Israel saat ini. Masing-masing sama-sama manafikan yang lain.
Pada akhirnya, masing-masing pun biasanya sering memberikan legitimasi sikap politik dengan teks-teks kitab suci masing-masing. Di negara kita kelompok (Islam) yang memandang konflik Palestina-Israel dari sisi demikian cukup banyak. Dan, tampaknya yang kontra pun mulai eksis. Dengan kondisi semacam ini maka tidak kita tidak heran, jika ada yang sampai mengatakan dengan nada pesismistis, bahwa hanya kiamatlah yang dapat menyudahi konflik Palestina-Israel dari dulu sekarang ini.
Dengan mengetahui sumber akar masalah konflik, kita memang harus tetap mendukung bangsa Palestina sesuai konteksnya. Konteksnya adalah konstitusi yaitu mendukung perdamaian dan anti penjajahan. Dalam konteks ini kita berharap agar konflik Palestina segera di sudahi dengan memberikan kemerdekaan tanpa syarat bagi bangsa Palestina sesuai amanat konstitusi. Kata Gus Ulil: “Kita harus mengecam Israel sebagai entitas politik dan tidak boleh membenci bangsa Yahudi sebagai manusia. Karena di mana saja manusia sama saja: ada yang baik, ada yang jahat. Kaidah ini berlaku bagi manusia Yahudi, Muslim, Kristen, dan lain-lain”.
Kata-kata Gus Ulil itu tampaknya, sangat relevan untuk membantu kita agar menempatkan konflik Palestina-Isael pada proporsinya. Jangan sampai kita terjebak pada pro dan kontra secara membabi buta tanpa tahu akar masalah yang ujungnya dapat memperkeruh suasana yang justru akan merugikan bagi terwujudnya negara Palestina yang merdeka dan damai. Dengan kata lain, kita tetap mendukung Palestina menjadi bangsa yang merdeka karena amanat konstitusi, tetapi juga tidak boleh anti-semitik. Karena seperti keberadaan bangsa-bangsa lain, keberadaan bangsa Yahudi pun merupakan fitrah yang tidak terbantahkan, bahwa keberadaannya memang dikehendaki Tuhan. Wallahu a’lam.
Mei 2021