Menegaskan Kembali Roh Pendidikan Nasional

  • Whatsapp

Oleh : Murdijanto, S.Pd

Penulis adalah Kepala Sekolah di SMPN 7 Kota Blitar

Dewasa ini, percaturan Pendidikan Indonesia berada pada titik klimaksnya. Betapa tidak, “kemandegan” pembelajaran selama pandemi ini memberikan impact besar terhadap perkembangan peserta didik yang menjadi obyek pendidikan. Kondisi demikian membuat seluruh stakeholder pendidikan “dipaksa” harus berpacu untuk menekan resiko learning loss akibat pandemi yang tak berkesudahan ini. Beragam upaya pun dilakukan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat hingga lembaga terkecil, yakni sekolah.

Pemerintah pusat melalui Kemendikbud, memberikan solusinya berupa diterbitkannya beberapa regulasi yang mengakomodasi terselenggaranya pendidikan kendati dihimpit berbagai keterbatasan. Sementara disisi lain, pada pihak sekolah, diharapkan mampu menerjemahkan kebijakan Pemerintah Pusat dengan tetap menjamin kelangsungan proses pembelajaran agar terus bejalan: melalukan pendekatan secara humanis terhadap siswa, serta membuat inovasi-inovasi pembelajaran dengan mengedepankan aspek keselamatan dan kesehatan baik guru maupun siswa.

Hal ini disebabkan agar terjadi keselarasan antara konsep Sistem Pendidikan Nasional yang bersifat mengikat, dengan realita dilapangan. Sebagaimana tertuang pada UU Sisdiknas Tahun 2003 No 20 Pasal 3 yang substansinya adalah Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Jika menilik wajah pendidikan kita saat ini, mungkin kita sepakat bahwa kondisi pendidikan kita saat ini sedang mengalami keprihatinan yang mendalam seiring ancaman dekadensi moral yang kian menyeruak di kalangan para pemuda. Gejala dekadensi moral itu kian kentara, tatkala kita melihat berbagai kasus yang melibatkan anak usia sekolah. Terbaru, kasus perundungan terhadap anak yatim piatu di Malang. Mirisnya, para pelaku perundungan ini adalah mereka yang masih berada di bangku sekolah SMP.

Hilangnya rasa sense of crisis (urat malu), empati, belas kasih terhadap sesama adalah realitas yang mengancam masa depan generasi muda. Kondisi empiris ini mengindikasikan bahwa ada problem transformasi kurikulum pendidikan yang belum mampu menjamah terhadap spirit beragama, berbudaya, dan bertata krama di hati generasi muda.
Untuk menjawab problematika ini, setidaknya harus di mulai dari skup terkecil terlebih dahulu, yakni sekolah. Maka tak heran bila Kepala Sekolah dituntut mampu menumbuhkan iklim sekolah yang sehat dan kompetitif. Disamping itu dibutuhkan perangkat regulasi yang mendukung, ketersediaan sarana yang memadai, pemanfaatan IT, dan pengawasan yang ketat demi menggapai tercapainya tujuan pendidikan.

Manajemen Lembaga Sekolah

Posisi Kepala Sekolah yang begitu sentral, membuatnya dituntut oleh berbagai hal. Menurut teori kepemimpinan Sergiovanni (1984) dalam Husaini Usman (2020), menjelaskan terdapat empat prasyarat yang harus dimiliki untuk menjadi seorang pemimpin yang ideal, yaitu memiliki head of leadership (memahami filsafat kepemimpinan), heart of leadership (memiliki nurani/kebijaksanaan dalam kepemimpinan), dan hand of leadership (pengamalan dalam kepemimpinan).

Dalam kacamata penulis, pemahaman seorang Kepala Sekolah tentang filsafat kepemimpinan ini sangatlah penting dimiliki. Yang mana, di dalam konstruksi filsafat kepemimpinan ini mencakup terminologi tentang ontologi (identitas sekolah), aksiologi (tujuan sekolah), dan epistemologi (metode, prosedur, dan cara menggapai tujuan lembaga sekolah). Sehingga alur sebuah lembaga terkesan lebih jelas, lugas, dan tandas.
Ideologi sebuah lembaga haruslah disuguhkan secara konkret kepada peserta didik guna memberikan konfirmasi logis bahwa “Inilah laku, arah dan tujuan sebuah lembaga”. Dennis Waitley menyebutkan, “Alasan kenapa seseorang tak pernah meraih cita-citanya, adalah karena ia tak pernah mendefinisikannya, tak mempelajarinya, dan tak pernah berkeyakinan bahwa ia mampu menggapai cita-citanya”.

Branding School dan Peran Strategis

Eksistensi lembaga tak lepas dari figur kepala sekolah, yang berperan sebagai top manajer yang memiliki wewenang tunggal menentukan arah dan tujuan sekolah. Oleh karena itu, penulis yang saat ini diberikan amanah menjadi Kepala Sekolah di SMPN 7 Blitar, mencoba merumuskan berbagai konsep, strategi, dan regulasi secara komprehensif untuk diterapkan dilingkungan sekolah.

Konsep tersebut penulis kemas ke dalam sebuah branding school, yakni JUARA (Jujur, Ulet, Antri, Ramah, Agamis). Pertama, jujur. Pada konteks saat ini, masyarakat kita mulai mengalami krisis kejujuran. Banyaknya berita yang menayangkan kasus korupsi, pemalsuan, dan lain-lain, menjadi bukti shahih bahwa saat ini, bangsa kita berada pada titik nadhir krisis kejujuran. Padahal, jujur merupakan “mata uang” yang berlaku dan paling berharga di dunia. Hal inilah yang menjadi alasan perilaku jujur harus didoktrinkan di lingkungan sekolah secara massif.

Kedua, Ulet. Perilaku ulet ini diterjemahkan bahwa salah satu syarat penting bagi seorang yang sedang menempuh pendidikan, adalah rasa keteguhan, ketekunan, dan pantang menyerah. Sebab dengan keuletan inilah yang mengokohkan setiap kesulitan, peneguh setiap cobaan, dan penguat setiap godaan. Sehingga, siswa mampu tetap konsisten dalam menghadapi berbagai keadaan. Ketiga, Antri. Tidak banyak lembaga yang mengangkat terminologi ini menjadi branding sebuah lembaga.

Padahal perilaku antri merupakan perilaku yang melekat di negara-negara maju dengan peradaban tinggi. Oleh karena itu, penulis begitu kukuh menanamkan perilaku antri menjadi sebuah kebisaan sehari-hari. Setidaknya diawali di lingkungan sekolah. Sebab di dalam perilaku antri ini, mencerminkan diri sebagai pribadi yang disiplin, bersabar, dan menghormati hak orang lain yang lebih berhak.

Keempat, Ramah. Mengajar di jenjang Menengah Pertama (SMP) menjadi tantangan tersendiri bagi para pendidik. Sebab pada jenjang ini, para siswa menginjak masa puberitas. Yang mana, pada usia ini mereka berada pada titik dimana rasa keingintahuannya yang begitu tinggi, tetapi tidak diimbangi dengan kondisi emosi dan psikologinya yang matang. Akhirnya, kebanyakan dari usia mereka mulai mecoba hal-hal baru yang cenderung beresiko tinggi, demi mendapat pengakuan dari orang lain. Pada titik inilah, setiap guru di tuntut bersikap “ramah” terhadap anak didik. Artinya, guru harus mampu mengenali gejala perubahan perilaku setiap siswanya baik perubahan kearah positif, maupun negatif. Sehingga perilaku atau tindakan kenalan siswa dapat diminimalisir karena tindakan sekolah bersifat preventif (pencegahan), bukan kuratif (menindak setelah peristiwa kasus terjadi).

Kelima, Agamis. Sudah menjadi kesepakatan bersama, bahwa setiap lembaga pendidikan, harus mampu memuat nilai-nilai religius ke dalam program pendidikan dan proses pembelajaran. Oleh karenanya nilai religius haruslah tetap diterapkan baik melalui nasehat keagamaan di kelas, pendalaman kegiatan keagamaan harian di sekolah, hingga mendukung setiap peringatan hari besar agama. Harapannya, siswa tak hanya matang dari segi intelektualitas, tetapi juga memiliki kematangan religius yang kuat.

Peringatan Hari Ulang Tahun ke-76 PGRI ini, semoga menjadi momentum titik balik kebangkitan Pendidikan Indonesia. Dengan melakakukan penyegaran sistem pendidikan, serta penguatan program pendidikan karakter di sekolah, diharapkan mampu menegaskan kembali roh pendidikan nasional kita yang mampu menciptakan siswa religius dan berkompeten. ( Ich/Red )

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait