Menelisik Dugaan Penumpang Gelap Penanganan Pandemi Covid-19 Jelang Tahun Politik 2024

  • Whatsapp

Penulis: Ch. Riyanto, Batuan, Sumenep.

Pandemi Covid 19 yang belum kunjung usai, menjadikan banyak penulis yang turun tangan menuliskan ketajaman analisanya. Tak terkecuali intensitas tulisan maupun statement seorang aktivis yang dijuluki Kartini Milenial yang terbit dari Jawa Timur, ning Lia Istifhama. Dari semua yang disampaikan kader Nahdliyyin tersebut, saya pun tergugah untuk menganalisa lebih kritis, mengapa penanganan Covid 19 dianggap banyak orang belum sepenuhnya efektif.

Penyakit Corona Virus Disease 2019 atau yang lebih dikenal Covid-19, adalah penyakit yang disebabkan oleh perkembangan jenis baru Corona Virus yang belum ditemukan sebelumnya. Corona Virus yang telah ditemukan sebelumnya oleh para ahli virus di dunia, seperti Influenza, Demam atau batuk pilek, Severe Acute Resporatory Syndrome (SARS), Middle East Respiratory Syndrome Corona Virus (MERS-CoV), relatif dapat dikendalikan seiring dengan ditemukan obat penawarnya yang telah beredar di banyak negara di dunia. Kondisi berbeda dengan Covid 19.

Seperti diketahui, virus Covid-19 kali pertama ditemukan di kota Wuhan (Republik Rakyat China), sekitar ahir bulan Desember 2019. Sekalipun jarak Wuhan mencapai lebih 3.488 km dari Indonesia, nyatanya covid-19 mampu menyebar ke wilayah Indonesia, bahkan hampir seluruh negara di dunia.

Di Indonesia sendiri, sejarah Covid 19 bermula dari pernyataan Pemerintah Republik Indonesia, Presiden Ir. H. Joko Widodo, yang mengumumkan 2 kasus penderita Covid-19 per tanggal 2 Maret 2020. Walau sesungguhnya ada anggapan di masyarakat bahwa kasus Covid-19 masuk di Indonesia lebih awal dari bulan Maret 2020.

Penanganan Covid 19 pun tertuang dalam berbagai kebijakan yang menunjukkan bahwa pak Presiden telah berusaha merespon dengan cepat. Bahkan dalam perjalanannya, kebijakan tersebut tertuang dalam regulasi atau ‘payung hukum’. Diantara Payung Hukum yang dapat dipakai adalah Pasal 5 ayat (2) UUD 1945, UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular, UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.

Dibawah Undang-Undang tersebut diatas, setidaknya ada dua Peraturan Pemerintah (PP) yang sudah diundangkan yaitu PP No. 21 Tahun 2020 Tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), PP yang ke-2 adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 Tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem, tiga (3) Keputusan Presiden (Kepres) yaitu: Kepres No. 7 Tahun 2020 Tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), Kepres No.9 Tahun 2020 Tentang Perubahan Kepres No. 7 Tahun 2020, Kepres No. 11 Tahun 2020, satu Inpres No. 4 Tahun 2020, dan lebih dua puluh (20) butir Peraturan setingkat Mentri.

Dari semua peraturan yang mengatur tentang penanganan pandemi covid-19, ditemukan beberapa peraturan yang dibuat pada tanggal yang sangat berdekatan, bahkan ada yang persis atau sama tanggal penetapannya, namun berbeda nomor dan isi Keputusannya,, misal: Ìntruksi Mentri Dalam Negeri Nomor 15 dan 16 Tahun 2020, yang ditetapkan atau diundangkan pada tanggal 2 Juli 2020. Dapatkah hal itu memberikan kesan kebingungan, kepanikan, kesengajaan unsur personal untuk mencuri ikan di air keruh? Atau sebaliknya, Pemerintahan Bapak Jokowi ingin mencari, dan menemukan solusi terbaik untuk secepatnya keluar dari badai tsunami covid-19 jilid-2? Semua itu bisa saja terjadi.

Jika kita telisik kebelakang, awal gelombang pandemi Covid-19 di Jakarta, yang menjadi pusat kekuasaañ Gubernur Anis Baswedan, sekaligus ibu kota Indonesia, tercium aroma lain atas nama penanggulangan covid-19, dengan munculnya polemik dimasyakat dengan istilah lockdown dan PSBB. Bahkan ahir-ahir ini muncul Kepres. RI No.14 tahun 2O21 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No. 99 Tahun 2O2O Tentang Pengadaan Vaksin, dan Pelaksanaan Vaksinasi Dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona Virus Desease 2O19; disisipkan 2 (dua) pasal, yakni Pasal 13A dan pasal 13B, yang memuat sanksi administratif berupa: a. penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; b. penundaan atau penghentian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau c. denda.

Sekalipun, pada pasal 13B tersebut dikatakan “Setiap orang yang telah ditetapkan sebagai sasaran penerima Vaksin COVID- 19, yang tidak mengikuti Vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (2) dan menyebabkan terhalangnya pelaksanaan penanggulangan penyebaran COVID- 19, selain dikenakan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13A ayat (a) dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan undang- undang tentang wabah penyakit menular”, menurut pandangan penulis dapat dijadikan arena oleh lawan-lawan politik Pemerintah untuk menghembuskan angin memabukkan di tingkat glassroot demi tujuan politik baik secara umum, atau khusus.

Telah banyak pernyataan-pernyataan dari berbagai kalangan, baik dari praktisi kesehatan, politik, pendidikan, sosial budaya bahkan dianggap tokoh agama.

Pernyataan dari berbagai kalangan masyarakat yang berseliweran di media cetak atau atau media on line yang bisa menimbulkan orang lain terprovokasi jika tidak berhati-hati mensikapinya. Seperti ahir ahir ini yang ramai dibicarakan tentang dr. Lois, yang kontroversial, juga ada pakar Hukum yang memberikan stateman yang keras dengan menyuruh Bapak Presiden mundur karena dianggap gagal dalam penanganan pandemi Covid-19, dan pernyataan lainnya yang sangat berisik dan menggangu terhadap kelancaran penanganan pandemi covid-19 di Indonesia.

Pernyataan-pernyataan kontroversial yang berseliweran di berbagai media sosial itu, harus disikapi dengan bijak oleh Pemerintah, dan tidak juga dibiarkan liar mendegradasi bangunan Pemerintah dalam mengatasi tsunami covid-19.

Banyak cara yang dilakukan untuk tujuan politik. Bahkan dalam pelaksanaan vaksin perorangan gotong royong yg digagas mentri kesehatan bersama Biofarma, harus dihentikan oleh Jokowi. mungkinkah beraroma bisnis dan tujuan tertentu di tahun 2024?

Melihat beragam permasalahan di lapangan sebagai implikasi berbagai regulasi tersebut di atas, penulis berharap agar Pemerintah tetap waspada dari penumpang gelap yang menyaru penanganan covid-19, mengingat tahun politik 2024 semakin dekat. Lebih-lebih masyarakat, jangan mudah terprovokasi dengan berita-berita hoax, yang dapat memanaskan situasi di tengah pandemi covid-19.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait