Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Banjarmasin)
Salah satu media menulis berita berjudul “Hakim Rencana Mogok Kerja, IKAHI Tak Larang Dengan Catatan”. Dan, tampaknya di akhir bulan ini, berita serupa juga berseliweran eksis di berbagai media baik cetak maupun elektronik. Sekalipun dengan judul yang berbeda tetapi isu utamanya tetap sama, yaitu tentang perjuangan para hakim untuk menuntut ‘perbaikan penghasilan’ dari pemerintah. Alasannya sangat rasional, pendapatan hakim berupa gaji dan tunjangan yang diterima saat ini sudah 12 tahun tidak pernah ditengok pemerintah. Padahal, pada saat yang sama dalam satu dasa warsa lebih ini, laju inflasi ekonomi telah menyebabkan gaji hakim nyaris tidak saja tidak seimbang dengan beban tugas dan tanggung jawab tuntutan pekerjaan, tetapi juga tidak imbang dengan daya beli, untuk menutup kebutuhan hidup logistik domestik keluarganya.
Di sisi lain, sebagaimana telah penulis kemukakan dalam tulisan lain, secara de jure, hakim merupakan pejabat negara. Ketentuan ini sebenarnya sudah disebut dalam 3 undang-undang (UU), yaitu UU Nomor 43 Tahun 1999 (Pasal 11 ayat 1 huruf d ), UU Nomor 5 Tahun 2014 (Pasal 122 huruf e ), dan terakhir dalam UU Nomor 20 Tahun 2023 (Pasal 58 huruf e ). Akan tetapi hampir semua orang tahu, bahwa secara de facto status mentereng sebagai pejabat negara tidak tampak dalam tampilan sebagaimana pejabat negara lainnya.. Banyak hakim yang karena keadaan harus tinggal di rumah-rumah kos terpencil yang bebas dari pantauan. Tidak perlu membandingkan dengan Bupati atau Wali Kota yang sama-sama pejabat negara. Bandingkan tampilannya dengan Kapolres, Dandim, Kepala Dinas. Padahal secara yuridis mereka bukanlah pejabat negara. Akan tetapi, saat mereka pergi pulang kantor di antar, bahkan disediakan ajudan. Pengguna lalu lintas lain pun harus minggir jauh-jauh, termasuk hakim, saat para komandan tersebut kebetulan lewat di jalan.
Ilustrasi ini dikemukakan hanya untuk mengatakan, bahwa sebagai pejabat negara yang lekat dengan panggilan “Yang Mulia” ini sejatinya, eksistensi hakim, terutama di daerah, hanyalah satu-satunya nomenklatur pejabat negara yang termarjinalkan. Ironisnya, sebagai unsur penegak hukum sekaligus keadilan, keberadaan hakim selalu menjadi kambing hitam saat masyarakat mewacanakan seputar kebobrokan hukum dan penegakannya. Hakim selalu disebut sebagai ujung tombak sekaligus hitam putihnya wajah penegakan hukum. Biarlah polisi, jaksa, dan advokat brengsek, asal jangan hakim. Jarang orang, bahkan mungkin juga pemerintah, berpikir bahwa hakim sekalipun bukan manusia biasa tetapi toh tetap manusia. Sebagai manusia tetap terikat dengan hukum-hukum kemunusiaan. Dia bisa lapar, mengantuk dan letih. Dia juga bisa sakit dan stres. Yaitu, saat urusan domestik keluarga tidak stabil kehidupan sosial ekonominya. Sebagai manusia biasa tidak saja, jika punya hutang harus membayar tetapi, hakim juga bukan manusia kebal hukum. Polisi akan menangkap dan memborgolnya kalau kebetulan dia tertangkap tangan melakukan tindak pidana.
Di tengah korupsi yang kata Pak Mahfud MD, konon terjadi di hampir di setiap lini ini, perjuangan kenaikan gaji hakim harus diartikan sebagai perjuangan ideal. Para pejuangnya merupakan kelompok orang-orang idealis yang ingin terbebas dari perilaku koruptip. Mereka tidak ingin idealisme yang dimiliki lambat laun luntur hanya karena kebutuhan dapur tidak ideal lagi. Rentang waktu 12 tahun (sejak terbitnya PP Nomor 94 Tahun 2012 sampai sekarang) merupakan waktu yang cukup untuk menahan diri. Akan tetapi memang patut disayangkan pada saat para hakim diam dikira sudah merasa nyaman oleh pemerintah. Apalagi jika lantas mengaitkannya dengan para oknum hakim tertentu yang masih tertangkap KPK karena jual beli perkara. Perilaku oknum hakim tersebut kemudian memang menjadi setitik nila yang tidak hanya mencoreng ribuan hakim lainnya, tetapi juga membuat opini publik, dan ini yang berbahaya, bahwa di pengadilan ada pendapatan lain yang jauh lebih besar selain gaji resmi. Oleh karena itu, pantas saja hakim tidak pernah menuntut kenaikan gaji. Padahal, selama 12 tahun hakim-hakim idealis ini sebenarnya ingin berteriak lantang “tolong perhatikan kami”. Terutama, saat ada momen kenaikan gaji para PNS non Hakim.
Akan tetapi, dalam realitas kehidupan bernegara, eksistensi hakim memang tidak hanya lemah secara struktural tetapi juga lemah secara politik. Tuntutan keseharian yang harus membaca berkas saat menangani perkara menyebabkan para hakim menjadi pejabat yang praktis hanya bekerja di balik meja. Tuntutan pekerjaan demikian menyebabkan mereka lemah dalam membangun komunikasi politik seperti layaknya para politisi dari berbagai partai politik. Maka wajar jika nilai tawar hakim sangat lemah dibanding para politsi. Para hakim memang tidak mungkin turun di jalan berteriak-teriak sambil membakar ban bekas. Oleh karenanya, meskipun terdengar kurang sedap, seruan cuti bersama dari para hakim idealis tersebut, saat ini sejatinya merupakan upaya satu-satunya yang dirasa wajib ditempuh di saat semua pemangku kepentingan di bidang anggaran tidak hanya menutup mata dan menutup mulut, tetapi juga telah menutup hati nurani.
Hanya saja, perlu dikaji ulang, apakah himbauan “cuti bersama” secara nasional dan jika benar dilaksanakan, merupakan tindakan legal? Pertanyaan dasar demikian adalah penting, terutama jika dikaitkan dengan eksistensi hakim yang harus selalu menjaga integritas dalam keadaan apa pun, kapan pun, dan di mana pun. Sebagai penegak hukum tentu tidak elok memperjuangkan hak dengan melanggar aturan. Memperjuangkan hak adalah satu masalah dan cuti bersama adalah masalah yang lain. Keduanya harus dipilah. Bukankah cuti bersama ada aturannya? Lewat tulisan ini, kita hanya menginginkan agar perjuangan menuntut hak, jangan sampai mereduksi integritas para hakim yang selama telah dengan susah dibangun. Judul berita tentang tuntutan kenaikan gaji hakim yang saat ini provokatif tampaknya ada gejala mengundang cibiran sebagian masyarakat terhadap para hakim.
Wallahu A’lam.