Mengapa Harus Hutang?

  • Whatsapp

Oleh: Yuyun Pirngadi, Ketua Umum Pojok Satu

Sejumlah pertanyaan masyarakat yg polos dan murni di sebuah desa di Bondowoso menyingkap tabir nilai anggapan konvesional yg substansial. Begini pertanyaannya, Pemerintah hutang ke luar negeri untuk apa ya? Mengapa harus utang, dan mengapa tidak mencetak uang yg banyak di Peruri?

Patut kita apresiasi pertanyaan tsb untuk kita cerahkan. Ini ilustrasinya begini. Hutang luar negeri adalah pinjaman untuk pembiayaan kebutuhan anggaran belanja modal, infrastruktur dan lainnya. Hutang luar negeri dapat dibedakan yakni, hutang swasta dan hutang pemerintah. Kita akan membahas hutang pemerintah, karena hutang ini akan bersentuhan langsung ke APBN dan kepentingan masyarakat.

Juli-September 2016 hutang pemerintah berkisar Rp 3.332,7 triliun. Hutang harus dibayar kembali, kalau tidak berdosa. Tiap tahun kita harus bayar bunga hutang lebih kurang Rp 128 triliun. Untuk bayar pokoknya, pemerintah belum mampu, maka kata kapan2 aja kalau punya rezeki adalah pernyataan yg paling pas.

Hutang dipergunakan sangat bergantung keperluaannya. Misalnya, pemerintah mengalami defisit keseimbangan primer (CAD) yakni, pengeluaran lebih besar dari penerimaan. Sedangkan, APBN 2017 berkisar Rp 2.070,5 triliun dan penerimaan hanya Rp 1.734,5 triliun maka terjadi defisit ( CAD) lebih kurang Rp 334.7 triliun.
Pertanyaannya kemudian, mengapa pemerintah tidak mencetak uang? Jawabnya, peredaran uang harus berada dalam titik keseimbangan (equlibrium). Jika uang beredar lebih banyak akan terjadi inflasi yakni, harga2 barang dan jasa akan naik, mahal dan nilai rupiah akan murah (undervalue). Misalnya, faktor tekanan dolar terhadap rupiah ini keadaan yg juga memicu inflasi.
Wabil khusus, menguatnya dolar tidak berdiri sendiri, perang dagang AS vs China, The Fed melakukan tigh money policy dan ketidak stabilan secara geopolitik dibelahan dunia mempengaruhi kelangkaan dolar.
Sementara, pemerintah Indonesia harus mencari pembiayaan dlm negeri atau luar negeri untuk mengatasi CAD dan pembiayaan infrastruktur. Disatu sisi BI melakukan operasi pasar terbuka (OMO), tapi dilain sisi, pemerintah juga membutuh pembiayaan untuk infrastruktur fan lainnya.
Tak pelak, menjaga capital outflow menjadi keniscayaan. Menawarkan portofolio atau surat utang negara (SUN), dan surat berharga lainnya terus dilakuksn. Bahkan, untuk berhutang ke lembaga atau negara negara donor, seperti Bank Dunia (World Bank), Bank Pembangunan Asia (ADB), Jepang atau Eropa suatu kelaziman yg diatur undang2.

Hutang tak lain diperuntukkan membiayai proyek2 besar yg menelan biaya besar pula seperti, pembangunan elektrikal, pipa gas, dan infrastruktur jalan transjawa-sumatera dan lainnya. Sementara, APBN tak cukup mampu untuk membiayai proyek proyek yg berimplikasi thd pergerakan ekonomi long term. Hutang bilateral dan multilateral tersebut berdurasi panjang sekitar 20-30 tahun.

Akan tetapi, hutang negara itu bukan tanpa syarat. Syarat ekonomi atau politik selalu menyertainya. Misalnya,Negara2 donor memberi pinjaman sekaligus meminta Indonesia membuka pasarnya lebih luas, restrukturisasi finansial atau persoalan hukum dan ham serta lainnya. Hal itu mempunyai dampak ikutan. Yang pasti pasar bebas (free market) harus dikondisikan dan pemerintah harus menghilangkan pembatas sistem proteksi thd produk2 barang dan jasa, pemangkasan tarif yg dituntut untuk bebas bersaing dlm pasar sempurna.
Pemerintah tak boleh campur tangan, mekanisme pasar harus ditentukan oleh hukum permintaan dan penawaran. Yang kasat mata seperti pasar keuangan, industri perbankan dan lembaga keuangan non bank 99% dikuasai bank bank asing. Tak cuma itu, ekspor -impor produk2 asing juga membanjiri pasar domestik. Akibatnya persaingan bebas membawa konsekuensi logis bagi negara2 dunia ketiga termasuk Indonesia.

Terkait hutang yg dibutuhkan Indonesia harus dilihat dari debt to GDP ratio. Indonesia masih tergolong aman dan wajar berkisar diangka 29% (Kuartal II 2018).

Pada sisi lain, jika dilihat dari ekspor, dari waktu ke waktu mengalami penurunan akibat perlambatan ekonomi dunia. Komoditi pertanian (commodity base) misalnya, anjlok dan cadev 118 Miliar US$ terus keluar untuk biaya impor. Sedanfkan hasil ekspor semakin hari mengalami keprihatinan, terutama negara primadona destinasi spt China. Kondisi itulah yg membuat pertumbuhan ekonomi mengalami gangguan. Untuk capai 5,4% nampaknya akan ke sulitan. Padahal pertumbuhan itu sangat
penting untuk meningkatkan pendapatan masyarakat dan penyerapan tenaga kerja.

Dalam relasi itu, pembangunan desa, tentu dampaknya sangat terasa. Misalnya, pemerintah daerah dalam kelesuan ekonomi banyak yg mengambil jalan pintas. Dengan alasan investasi, maka alih fungsi lahan pertanian terjadi besar2an. Lahan petani berubah fungsi menjadi bangunan sentra2 bisnis, pabrikan dan properti. Dampaknya, petani banyak kehilangan lahan garapan, sehingga penghasilan petani hilang ketika lahan menjadi sektor ekonomi modern. Dengan demikian, petani yg tak memiliki keterampilan dalam sektor ekonomi modern dan harus menerima resiko terburuk yakni, menjadi buruh2 pabrik, pekerja kasar dan banyak pula yg harus kalah bersaing dan menjadi pengangguran atau berada dikantong2 kemiskinan kota ( urban city). Kemiskinan rakyat Indonesia jika kita menggunakan parameter daya beli bank dunia USD 2/jiwa/hari, maka rakyat miskin di Indonesia sebesar 50% dari 250 juta penduduk. Akan tetapi, pak Jokowi mampu mengentaskan angka kemiskinan dari 10% (2014) menjadi 9,08% (2018). Kendati menurun sedikit, namun pemerataan melimpah (adauld Equlization) pembangunan paling dahsyat dilakukan dari sabang sampai merauke. Ini blm pernah terjadi dalam republik ini.

Singkat cerita, hutang mempunyai dampak besar thd pembangunan dan memiliki kewajiban membayar. Mencetak uang banyak akan berdampak terhadap peredaran uang (M1, M2 dan M3) yg akan berpengaruh terhadap nilai uang. Tapi utang jika dibebankan ke masyarakat. Misalnya utang 4000 triliun rupiah, jika dibagi rata2 bayi lahir dari rahim ibunya, maka akan nangis dua kali. Pertama, menangis melihat dunia, kedua menangis karena dibebankan hutang 12 juta/bayi. Belum lagi, defisit kembar tiga seperti defisit anggaran yg telah capai Rp 111,4 triliun atau setara 2,4% dari PDB, defisit neraca traksaksi berjalan yang berdampak thd pendapatan ekspor dan neraca pembayaran hutang ( balance of payment/BOP), bahkan, defisit tabungan domestik yakni, banyak masyarakat dananya tak dialokasikan untuk menabung akibat rendahnya pendapatan masyarakat.

Dengan demikian, hutang memiliki dampak pula kepada masyarakat yakni, lambatnya bergulirnya dana pembinaan UMKM, usaha informal dan pedagang pasar tradisional. Sedangkan, pengeluaran APBD lebih besar belanja anggaran rutin dibanding anggaran pembangunan. Bondowoso misalnya, APBD Rp 1,7 triliun 50% digunakan untuk belanja pegawai dan membeli alat2 dan kendaraan dinas. Padahal, dalam kelesuan ekonomi membutuhkan realisasi anggaran kredit untuk roda ekonomi masyarakat. Ternyata, APBD lebih diutamakan untuk belanja yg tidak produktif, termasuk rendah realisasi untuk anggaran untuk sektor ekonomi dan bocornya anggaran dari perselingkuhan penguasa dan pengusaha. Ambil saja contoh, anggaran kadiknas yg habis dikorupsi, pasar induk Bondowoso yg ambruk akibat bestek yg dikorupsi dan RSUD Koesnadi di mana dokter spesialis hengkang akibat intervensi pejabat yg membatasi yg terkait SPM dan lain-lain.

.

beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *