Mengapa Vaksin COVID-19 Telat Ditemukan?

  • Whatsapp

* Realitas Ilmu Pengetahuan, Public Policy dan Kalkulasi Bisnis

Denny JA

Kita pun mengalami peristiwa bersejarah. Ekonomi dunia merosot, terbesar sejak Great Depression tahun 1930an. (1)

Jumlah orang miskin bertambah. Pengangguran melimpah. Kualitas hidup terjun bebas. Berbulan- bulan jutaan manusia terkurung di rumahnya, di rumah sakit. Isolasi mandiri. Juga diisolasi oleh petugas.

Di akhir Januari 2021, jumlah yang terpapar virus corona di seluruh dunia melampaui 100 juta.

Pertanyaan itu berulang- ulang bergema. Mengapa peradaban super modern ini gagal mengantisipasi datangnya Covid 19? Mengapa tak ada persiapan mencari vaksin bagi Covid 19 sejak jauh hari?

Bukankah jika peradaban berhasil mengantisipasi dan menciptakan vaksin jauh hari sebelum datangnya Covid-19, tak perlu kita melewati tragedi sejarah ini?

Kitapun masuk ke dalam realitas ilmu pengetahuan!

Betapa di abad 21, penemuan dalam ilmu pengetahuan, tak lagi hanya tergantung dari kecintaan dan sentimen publik pada science. Tak lagi hanya tergantung pada militansi dan visi pada ilmuwan.

Ilmu pengetahuan juga tergantung pada public policy. Science juga tergantung pada kalkulasi bisnis.

Ilmu pengetahuan memang tak pernah hadir di ruang kosong. Aneka relasi kekuasaan di luar ilmu pengetahuan ikut menentukan.

-000-

Berapa besar biaya diperlukan untuk kerja ilmu pengetahuan? Public policy bagaimana yang kondusif bagi penememuan ilmu.

Kita mulai dengan kasus Higgs Boson.

Penemuan terbesar dekade ini! Di antara 10 penemuan terbesar, ia menempati rangking paling atas. Begitulah respon komunitas ilmu, terutama fisika, menyambut ditemukan dan dibuktikannya eksistensi Partikel Tuhan atau Higgs Boson di tahun 2012. (2)

Di tahun 2013, setahun setelah pembuktian itu, Peter Higgs, sang teoritisi, mendapatkan hadiah Nobel di bidang ilmu fisika.

Bukan penemuan itu saja yang penting. Tapi proses penemuan ini menggambarkan realitas ilmu pengetahuan di abad 21.

Untuk sebuah eksperimen ilmu pengetahuan berskala besar di masa kini, tak hanya dibutuhkan seorang atau beberapa orang jenius. Tak ada yang bisa dibuktikan sang jenius jika ia hanya merenung dari ruang kerja kecilnya.

Penemuan dan pembuktian ilmu alam ini membutuhkan tim besar. Apalagi, ia membutuhkan dana yang teramat dan sangat besar. Dibutuhkan pula public policy, bahkan dukungan beberapa negara sekaligus.

Peter Higgs, seorang teoritisi fisika, di tahun 1960an ia mengembangkan sebuah model. Temuannya ini disebut Higgs mechanism. Asal usul alam semesta, ekpansinya, keseimbangannya, hanya bisa terjadi jika hadir satu partikel.

Partikel yang diteorikan oleh Higgs begitu meyakinkan. Partikel inipun dijadikan bagian dari sebuah model yang lebih besar: Standard Model of Particle Physics (SMPP)

Melalui SMPP inilah aneka temuan dan penjelasan soal alam semesta, terjadinya bintang, bumi hingga lahirnya manusia, bisa masuk akal. Tapi benarkah partikel yang diasumsikan Higgs itu, Higgs Boson itu, Partikel Tuhan itu, memang ada?

Maka dirancanglah eksperimen untuk memburu Higgs Boson atau Partikel Tuhan. Dibutuhkan enerji sangat besar karena harus menggerakkan proton mendekati kecepatan cahaya. Ada atau tidak adanya Higgs Boson dapat meruntuhkan ataupun memperkuat model SMPP yang selama ini diasumsikan saja.

Dibangunlah satu terowongan khusus yang besar yang disebut Large Hadren Collider. Panjangnya saja sekitar 27 kilometer. Ini kira kira separuh dari jarak Jakarta- Bogor. Alat raksasa ini harus pula di tanam di tanah dengan kedalaman 100 meter.

Hanya dengan panjang dan kedalaman ini, eksperimen mempercepat proton dengan kecepatan mendekati cahaya bisa dilakukan. Tapi alat sepanjang ini ditanam dimana? Beberapa negara berkerjasama. Disepakati alat ini disimpan di bawah tanah perbatasan Perancis dan Swiss.

Terowongan ini dikelola sedemikian rupa. Ia memerlukan suhu yang sangat dingin minus 235 celcius. Bayangkan nol celcius saja bisa membuat beku. Terowongan ini harus lebih dari 200 derajat di bawah nol.

Sekarang mari kita hitung, berapa biaya yang diperlukan agar eksperimen ilmu ini terlaksana. Berapa biaya membuat terowongan itu? Berapa dana listrik yang dibutuhkan agar suhunya di bawah 200 derajat celcius? Berapa keperluan honor tim yang besar di belakang eksperimen ini?

Total biaya yang dibutuhkan ternyata sebesar 13,25 billion USD (3). Kurs rupiahnya sekitar 180 trilyun rupiah. Jika tak tersedia dana sebanyak itu, eksperimen tak terjadi.

Tapi siapa yang bersedia membiayai? Tentu saja para jenius ilmuwan tersebut mustahil membiayainya. Para investor juga menolak karena kalkulasi bisnis tak masuk. Namun ini eksperimen sangat penting di bidang ilmu pengetahuan.

Maka tercatat delapan negara sekaligus membiayai dan terlibat: Jerman, UK, Itali, Perancis, Spanyol, Swiss, United States, Rusia dan India.

Betapa zaman sudah berubah. Asal usul alam semesta dan penjelasannya 2000 tahun lalu cukup memuaskan homo sapiens melalui renungan filsuf. Atau melalui wahyu yang diterima para Nabi.

Tapi begitu banyak pandangan filsuf yang saling berbeda. Kini ada 4300 agama yang berbeda pula. Ilmu pengetahuan datang hanya untuk menjelaskan satu pokok saja dari perihal alam semesta itu. Ada atau tidaknya Higgs Boson.

Ternyata eksperimen ilmu itu membutuhkan waktu 50 tahun, dana 150 trilyun rupiah dan public policy kerjasama delapan negara.

-000-

Tak heran jika kemudian Stephen Hawking membuat pernyataan yang terkenal: Filsafat sudah mati. (4).

Ujar Hawking, yang kini dibutuhkan adalah kerja terus menerus para ilmuwan.

Tapi para ilmuwan tak bisa kerja sendiri. Ia memerlukan dukungan dana yang besar dari pihak swasta atau pemerintah.

Di tangan merekalah penjelasan soal alam semesta, juga asal muasal hidup akan semakin sempurna. Bukan pada lamunan Filsuf. Tapi pada kolaborasi ilmuwan plus investor! Ilmuwan plus Plus publicy!

Riset ilmu pengetahuan di masa kini, membutuhkan dana besar. Tanpa dana besar, sepenting apapun ilmu itu, ia akan berhenti tumbuh. Investor cukup menentukan ilmu apa yang ia berminat membiayai.

Sementara pemerintah, public policy, investor tidak bebas nilai. Berpengaruh pula di sana visi, fantasi bahkan ilusi para politisi dan pengusaha.

Dalam metodelogi kerjanya, ilmu pengetahuan memang otonom. Tak perlu apapun di luarnya. Tapi di ruang publik, ilmu pengetahuan, filsafat, agama, public policy, opini publik, politik, ekonomi, bisnis, mereka bersinerji, saling menumbuhkan atau saling mengaborsi.

Di ruang publik, aneka pengetahuan itu menari bersama dengan kepentingan dan kesadaran aneka jenis kekuasaan.

-000-

Kasus pencarian vaksin virus corona dapat menjadi contoh.

Mengapa tak ada investasi soal vaksin covid-19 jauh hari sebelumnya? Bukankah biaya menemukan vaksin ini tak seberapa dibandingkan pencarian Higgs Boson?

Juga riset labolatorium vaksin ini mungkin tak pula sesulit Higgs Boson jika memang ilmuwan diarahkan ke sana? Bukankah tak ada kendala kesulitan ilmu jika sejak awal kita menemukan vaksin virus corona?

Jawabannya adalah Public Policy! Penyebabnya adalah kalkulasi bisnis!

Dengarlah Dr. Peter Hotez. Tahun ini, 2020, ia mengirimkan pesan kepada Konggres Amerika Serikat. Betapa di tahun 2016, ujarnya, semua kita kehilangan momen berharga.

Saat itu, ia dan timnya hampir saja menemukan vaksin untuk virus corona (5). Tapi timnya kekurangan dana. Tak ada investor termasuk pemerintah yang bersedia memberikan dana.

Cortez mendalami keluaga virus corona sejak merebaknya SARS dan MERS di Afrika dan Timur Tengah. Baik SARS tahun 2003, ataupun MERS di tahun 2012, juga disebabkan oleh jenis virus dengan clinical features yang tak terlalu berbeda.

Saat itu, ketika Cortez mengajukan dana, tentu saja tak ada yang membayangkan akan terjadi pandemik virus corona sebesar sekarang. Jumlah korban SARS dan MERS juga sedikit saja. Virus ini tidak horor bagi dunia barat.

Secara bisnis, saat itu, dianggap tak menguntungkan menanamkan investasi di bisnis vaksin itu. Siapa yang akan membeli vaksin corona?

Ternyata pandemik 2020 mendunia. Semua menunggu vaksin. Tapi karena telat diteliti, vaksin untuk corona baru datang di tahun depan, Juni 2021.

Ujar Cortez, kasus Covid-19 harus membuka mata pemerintah soal penyaluran dana untuk riset ilmu pengetahuan.

Kasus Cortez di atas menjadi contoh betapa public policy dan kalkulasi bisnis sangat menentukan jenis ilmu bagaimana yang akan tumbuh karena mendapatkan dana.

Public policy dan kalkulasi bisnis, ikut menentukan jenis ilmu mana yang didukung dan dilarang.

Bagi para pecinta ilmu, realitas di atas harus pula disadari. Ilmu pengetahuan kini adalah ilmu plus investor. Ilmu plus public policy.*

Jan 2021

(Ini revisi esai saya sebelumnya: Partikel Tuhan, Para Filsuf, Kalkulasi Bisnis, dan Public Policy Itu)

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com beritalima.com beritalima.com

Pos terkait