Oleh : Jeannie Latumahina
Menjelang pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif periode 2019 -2024, kita disuguhi pemandangan yang tragis tentang praktik demokrasi kita.
Pragmatisme yang menyeruak terungkap dalam tertangkapnya sebagian besar (41) anggota DPRD di Kota Malang oleh KPK. Mereka menjadi bulan-bulanan publik karena dianggap sebagai juara dalam mencuri uang negara, ketimbang berprestasi seperti para atlet di Asian Games yang baru saja selesai.
Kasus korupsi seolah menjadi fenomena yang sangat biasa ditonton oleh publik melalui media sosial. KPK hadir sebagai lembaga yang super power ketika menangkap para koruptor. Ironisnya, power itu seakan tidak berdaya berhadapan dengan lambung politik negara yang penuh praktik politik transaksional koruptif. KPK seperti impoten, karena semakin mereka menangkap banyak koruptor, semakin masif praktik korupsi dilakukan. Apakah ini konsekuensi dari demokrasi? Bagaimana
korupsi bisa dipahami dalam kerangka demokrasi.
Penulis berpendapat bahwa korupsi dapatlah dipahami dalam kerangka peta demokrasi Indonesia; bahwa korupsi itu sendiri merupakan bentuk defisit hidup bernegara. Peta demokrasi Indonesia dapat
diterangkan dalam tegangan antara demokrasi liberal (liberalisme) dengan demokrasi
komunal (komunitarianisme) dan implikasinya terhadap korupsi.
Kritik terhadap demokrasi liberal (liberalisme)
Kontur demokrasi kita adalah praktik demokrasi yang berada dalam tegangan demokrasi liberal (liberalisme) dan demokrasi komunal
(komunitarianisme).
Keduanya memahami demokrasi secara berbeda dalam segi dalil-dalilnya yang berimplikasi pada praktik-praktiknya.
Inti dasar dari liberalisme adalah penghargaan terhadap kebebasan indvidual (individualisme). Setiap warga negara bebas/berhak mengambil bagian dalam politik sebodoh apapun orang itu asal dia mengikuti prosedur yang ditentukan. Ciri prosedural dari demokrasi liberal sangat kuat, dan itu ditegaskan dalam adagium:
kebebasan saya adalah batas kebebasan semua orang lain, dan sebaliknya.
Konsekuensinya, adalah orang tidak boleh saling mencampuri urusan orang lain, adanya pemisahan yang tegas antara ruang privat dan ruang publik.
Liberalisme hidup dari dua prinsip ini yakni pro pada liberty (kebebasan) dan equality (kesetaraan).
Demokrasi liberal (liberalisme) tidak luput dari kritik. Kritik terhadap liberalisme diletakkan pada kelemahan liberalisme yang melebih-lebihkan kebebasan individual (individualisme). Penekanan yang berlebihan terhadap individualisme mengurangi bahkan menghilangkan partisipasi politik individu dalam komunitas politik yang bernama negara. Dalam kerangka seperti ini, korupsi bisa dipahami. Korupsi terjadi karena individualisme.
Korupsi muncul karena tidak adanya kepedulian, solidaritas terhadap sesama warga negara. Kepedulian terhadap sesama warga negara merupakan
basis utama perekat kehidupan berbangsa.
Kritik yang lebih dalam adalah liberalisme memandang individu sebagai entitas yang berada dalam ruang kosong dengan hak-hak yang ada begitu saja. Hal Ini berimplikasi bahwa status ewarganegaraan seseorang hanyalah status hukum semata.
Asal seseorang punya KTP dan tertera kewarganegaraannya, dia dianggap sebagai warga negara. Tentu saja, pemahaman seperti ini sangat sederhana dan mereduksi makna kewarganegaraan. Inilah kelemahan demokrasi liberal yang juga dihayati di Indonesia.
Kritik terhadap komunitarianisme (demokrasi komunal)
Kubu komunitarianisme dapat kita lihat pada menguatnya kelompok-kelompok yang membawa dan membela politik identitas entah bernama agama, suku, ras, etnik, gender, dll. Bagi mereka, individu tidak pernah berada di ruang kosong. Selalu berada dan tinggal dalam sebuah komunitas dengan kebudayaan tertentu.
Ketika seseorang lahir, dia terlahir dari kelompok suku tertentu dengan adat istiadat budayanya. Pemikiran, wawasan, perilaku, moralnya ditentukan oleh lingkungan sosial budaya dimana dia hidup. Lingkungan sosial budaya dengan segala filosofinya memberi dia tuntunan bagaimana menghayati kebebasan, memahami keadilan, mengerti benar-salah, baik-buruk, dll.
Apa yang diungkapkan oleh kubu komunitarianisme memang benar adanya.
Meskipun demikian, mereka tidak luput dari kritik. Kubu komunitarianisme menghidupkan politik identitas.
Dalam politik identitas, yang seringkali terjadi adalah dominasi mayoritas terhadap minoritas. Kecenderungan mayoritarianisme sangat kuat. Kesepakatan berarti kesepakatan berdasarkan suara mayoritas. Ini berarti kaum minoritas disingkirkan dari politik, termasuk hak-hak mereka. Ini sangat nyata di Indonesia, ketika politik berbasis agama, suku dan ras terjadi. Kelompok minoritas agama dan suku sering kali dianggap kafir oleh mayoritas. Jadi, tirani mayoritas menjadi problem besar demokrasi ala kaum komunitarian.
Menguatnya politik identitas sedikit banyak menghidupkan primordialisme dalam politik.
Membangun kekuatan politik berdasarkan basis-basis primordial menjadi dagangan laris saat kampanye. Akibatnya, politik pun penuh dengan sentimen, ketimbang akal sehat. Seseorang memilih pemimpin atau calon legislatif tertentu bukan karena dia punya program politik yang konkret, terukur, realsistis, punya track record dan integritas yang baik, tetapi karena dia sesuku, seagama, seras dengan saya.
Jualan primordialisme ini sering campur aduk dengan pemberian uang untuk menyuap rakyat demi mendulang suara. Inilah yang menyebabkan politik kemudian sangat transaksional dan koruptif.
Apa implikasi dari kritik kepada dua bentuk dari demokras modern di atas?
Jika kita mengkritik kedua posisi di atas, di mana atau bagaimana kita menentukan posisi yang tepat terhadap keduanya? Mesti dipahami, dengan pemahaman terhadap dua posisi demokrasi di atas, demokrasi kita sebetulnya mengalami ketegangan di antara dua posisi di atas. Keduanya dipraktikan secara bersamaan.
Akibat-akibatnya pun kita rasakan. Lalu, bagaimaa seharusnya?
Bernegara tidak sekedar memiliki status hukum sebagai warga negara. Bernegara berarti bagaimana membangun kehidupan publik dengan akal sehat dan solidaritas.
Oleh karena itu, bernegara berarti dan terutama berpartisipasi dalam kehidupan politik,
dalam kehidupan publik. Sebab, perubahan sosial yang lebih baik tidak pernah terjadi dengan sendirinya, tetapi datang dari perubahan sosial politik.
Dalam komunitas politik bernama ruang publik, setiap individu menghayati prinsip kebebasan dan
kesetaraan di hadapan yang lain.
Bernegara menggunakan akal sehat hanya mungkin kalau orang paham pemetaan demokrasi modern, mampu mengkritisinya dan menentukan posisi yang tepat dengan konsep yang benar dalam praktiknya. Ini mengandaikan bahwa setiap warga negara harus mampu menggunakan akal sehat, dan bukan sentimentalitas.
*Korupsi yang marak terjadi muncul karena politik biaya tinggi*. Ini terjadi karena tidak ada pemahaman yang benar terhadap bagaimana bernegara seharusnya, bagaimana berdemokrasi.
Dengan kata lain, defisit (konsep) bernegara secara benar dalam demokrasi menghasilkan korupsi. Oleh karena itu, memahami konsep hidup bernegara menjadi sangat penting untuk mengatasi masalah korupsi dan salah kelola kehidupan bangsa.
Praktik konkret demokrasi yang seharusnya menuntut setiap warga negara mesti lepas dari jebakan individualisme demokrasi liberal ataupun mengandalkan suara mayoritas dalam pembentukan kesepakatan versi komunitarianisme. Setiap insan demokrasi mesti mampu keluar dari kedua pakem tersebut.
Keluar dari individualisme memungkinkannya memiliki kepedulain terhadap sesama dan kehidupan publik. Keluar dari komunitraianisme memungkinkannya untuk otonom, punya kebebasan berpikir sambil membawa elemen-elemen moral yang bisa diterima publik. Keluar dari kedua tendensi itu, memungkinkan seorang warga negara terlibat di ruang publik (res publica), di mana orang peduli pada isu-isu kehidupan publik dan isu-isu privat sejauh itu berhubungan dengan publik.
Bagaimana ini dibentuk?
Orang yang terlibat dalam politik mesti memiliki spirit kepublikan (sense of public). Sense ini tidak terbentuk secara instan tetapi dalam waktu yang lama. Perlu proses.Spirit kepublikan itu bisa dibentuk dalam pengabdiannya kepada masyarakat melalui ruang-ruang yang tersedia, entah melalu organisasi, forum seperti: organisasi lingkungan, feminis, asosiasi pedagang, kelompok industriawan, asosiasi profesi, dll.
Konsistensi untuk melatih diri dalam pengabdian masyarakat membentuk spirit kepublikan seseorang. Di sana pula, kepedulian, solidaritas dan penggunaan akal sehat menjadi mungkin atau terbentuk. Inilah nilai-nilai yang bisa menghambat korupsi tumbuh baik karena individualisme (demokrasi liberal) maupun primordialisme ( demokrasi komunal ).
Kediri 15 September 2018