SURABAYA, beritalima.com | Ketika orang berbicara mengenai investasi di pasar modal, yang umumnya pertama terlintas adalah investasi saham. Padahal, ada banyak instrumen investasi lain, di antaranya berbagai jenis surat utang.
Definisi surat utang atau disebut juga obligasi merupakan dokumen surat berharga (bisa berbentuk fisik atau digital) berupa janji yang berisi pernyataan pengakuan utang dari pihak penerbit surat utang, beserta kewajiban membayar bunga atau kupon bunga yang diberikan kepada pihak yang memberikan pinjaman (pemegang obligasi atau surat utang). Kewajiban jangka waktu pembayaran pokok utang dan kupon juga dicantumkan sebagai janji atau komitmen pembayaran.
Surat utang ini diperjualbelikan di pasar modal, baik melalui Bursa Efek Indonesia (BEI) atau perbankan, maka pemilik dari surat utang atau obligasi disebut dengan investor. Investor bisa membeli surat utang di pasar sekunder selama obligasi tersebut diperdagangkan hingga jatuh tempo. Jatuh tempo surat utang bermacam-macam, ada yang cuma tiga tahun, sampai tiga puluh tahun atau bahkan bisa lebih.
Surat utang bisa diterbitkan oleh pemerintah, yang dikenal dengan sebutan Surat Utang Negara (SUN). SUN umumnya berjangka waktu panjang. Bisa diterbitkan di dalam negeri dengan mata uang rupiah, dan bisa diterbitkan di pasar modal global dengan mata uang asing.
SUN Republik Indonesia (RI) terpanjang adalah seri RI0153 dalam mata uang dolar AS yang bertenor atau jatuh tempo 30 tahun setelah tanggal penerbitan, yaitu pada 11 Januari 2053. SUN ini diterbitkan pemerintah senilai US$ 750 juta. Seri SUN di dalam negeri memiliki kode FR. Misalnya FR044 yang akan jatuh tempo pada 15 September 2024, lalu ada FR0037 yang jatuh tempo 15 September 2026.
Ada SUN yang diterbitkan menggunakan skema syariah (Sukuk), yang dinamakan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). Juli 2024, pemerintah baru saja melelang (istilah penerbitan perdana) tujuh seri SBSN baru, di antaranya seri SPNS 02022025 yang jatuh tempo 29 Mei 2025 dan seri PBS 032 yang jatuh tempo 5 Juli 2026.
Dikarenakan SUN dengan seri FR dan RI serta Sukuk dengan seri SPNS dan PBS umumnya hanya bisa diperjualbelikan dengan minimum denominasi yang besar, kebanyakan pembeli atau penjual di pasar sekunder adalah para investor institusi. Contohnya, seperti Dana Pensiun, Manajer Investasi, Perusahaan Asuransi, Dana Abadi, Yayasan, dan institusi lainnya.
Sementara untuk investor individu atau untuk investor ritel, pemerintah mengeluarkan khusus surat utang yang bisa dibeli dengan minimum pembelian yang relatif terjangkau dengan nama Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan Sukuk Ritel (Sukri). Beberapa seri ORI dan Sukri antara lain ORI024 dan ORI025 serta SR 20T3 dan SR20T5. Investor bisa membeli ORI dan Sukri dengan minimal pembelian serta minimal penjualan Rp1 juta.
Disamping ORI dan Sukri pemerintah juga menerbitkan Saving Bond Ritel (SBR) dan Sukuk Tabungan (ST), yang merupakan surat utang dan sukuk yang tidak dapat diperjual belikan hingga jatuh tempo, namun memiliki suku bunga floating sehingga memiliki potensi kupon dan nilai balik yang lebih tinggi.
Selain mendapatkan potensi keuntungan berupa kupon yang dibayarkan setiap bulan, investor juga bisa mendapatkan capital gain dari kenaikan harga surat utang di pasar sekunder. Harga surat utang akan dihitung 100% ketika jatuh tempo, yang artinya 100% modal dikembalikan. Saat ditawarkan di pasar perdana, harganya bisa 100% juga atau bisa ditawarkan dengan harga diskon, misalnya 90%.
Sehingga jika investor membeli dengan harga 90% dan memegangnya sampai jatuh tempo, dia akan mendapatkan keuntungan 10% dari pokok modal investasi. Keuntungannya juga ditambah kupon yang diterima setiap periode, bisa per bulan, per kuartal, atau per semester.
Besarnya kupon surat utang bervariasi antara 4,9% per tahun, hingga yang tertinggi yang pernah diterbitkan pemerintah adalah 12,05% pada Agustus 2006, karena saat itu suku Bunga acuan Bank Indonesia sedang ada di posisi 12,25%.
Tujuan penerbitan surat utang dan sukuk oleh pemerintah adalah untuk berbagai macam kebutuhan anggaran. Seperti untuk menutupi defisit anggaran yaitu kebutuhan belanja negara, pengendalian inflasi, pembayaran utang, serta pembangunan infrastruktur.
Selain diterbitkan oleh negara, surat utang atau disebut obligasi juga diterbitkan oleh perusahaan, sehingga disebut Obligasi Korporasi. Perusahaan swasta dan BUMN juga menerbitkan obligasi untuk berbagai kebutuhan pendanaan. Antara lain untuk ekspansi usaha, membayar utang-utang, atau kebutuhan keuangan lainnya.
Obligasi korporasi yang diperjualbelikan di pasar modal di antaranya, Obligasi ADHI Commuter Properti, Obligasi Berkelanjutan Adira Finance Tahap IV, Obligasi Berkelanjutan Angkasa Pura II, Obligasi Berkelanjutan Berwawasan Bank BRI Tahap II. Dikarenakan obligasi korporasi memiliki risiko yang lebih besar dari SUN yang bersifat zero risk, perlu melihat kinerja penerbit obligasi dari rating surat utang yang diberikan lembaga pemeringkat efek.
Salah satu lembaga pemeringkat ef reelek di pasar modal Indonesia adalah PEFINDO. Indikator peringkat obligasi dimulai dengan AAA (atau yang setara) yang berarti memiliki kinerja atau kemampuan membayar utang yang paling tinggi.
Berikutnya secara berurutan dilihat dari +, CCC, CC, C, dan D. Jika surat utang memiliki rating D artinya Default, yang berarti perusahaan mengalami gagal bayar atau tidak mampu membayar pokok dan kupon obligasi yang diterbitkan.
Semakin tinggi rating, semakin rendah risiko, tetapi juga semakin kecil tingkat return. Hal ini dikarenakan dalam dunia investasi berlaku rumus high risk high return, low risk low return. Untuk itu, diperlukan pemantauan secara berkala terhadap indikator rating ini. Selain itu, investor tentunya wajib untuk mengamati kinerja keuangan perusahaan penerbit obligasi, dan memahami sektor usaha masing-masing. (Tim BEI – Gan)