Mengenal (Sekilas) “Wasiat Wajibah”

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Salah satu terobosan hukum yang perlu diketahui masyarakat (muslim) Indonesia saat ini adalah adanya lembaga hukum “wasiat wajibah”. Mengapa perlu diketahui, agar jangan sampai terjadi kesenjangan akademik antara masyarakat, di satu pihak, dan kinerja pengadilan (agama) di pihak lain. Pengalaman menunjukkan, masyarakat sering masygul bahkan kaget terhadap sejumlah putusan Pengadilan Agama. Ada sejumlah putusan pengadilan yang oleh masyarakat distigma sebagai putusan yang menyimpang dari pengetahuan hukum yang selama ini diketahui, yaitu berbeda dengan ketentuan kitab-kitab fikih menjadi rujukan, seperti I’anatut Thalibin, Bughyatul Mustarsyidin, al-Bajuri, atau kitab fikih klasik standar dalam madzhab Syafi’i lainnya. Bahkan, tidak jarang ada yang menuduh, bahwa putusan Pengadilan Agama sudah melenceng dari syariat Islam.

Tuduhan tersebut di samping disebabkan oleh kesenjangan akademik juga disebabkan oleh ketidaktahuan sebagian masyarakat atas keinerja pengadilan. Banyak yang belum menyadari, bahwa dalam dunia peradilan ada yang namanya hukum positif, pengetahuan hukum, dan hukum yang dibuat hakim dalam bentuk putusan.
Hukum positif merupakan hukum yang berlaku dalam suatu negara. Di negara yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental atau Civil Law System, Indonesia memang sangat mementingkan UU atau hukum tertulis. Kelahirannya ditentukan oleh sebuah mekanisme kenegaraan dengan memberikan kewenangan kepada lembaga tertentu untuk membuatnya. Selanjutnya, aturan tertulis ini akan menjadi acuan para hakim untuk mengadili suatu perkara. Sedangkan, pengetahuan hukum merupakan norma-norma hukum yang masih tertulis dalam buku-buku yang terdiri dari berbagai aliran madzhab yang biasa menjadi kajian hukum secara akademik. Pengetahuan hukum ini biasanya dikenal masyarakat sebagai ilmu fikih yang tertuang dalam berbagai kitab fikih. Sesuai dengan namanya, pendapat fikih itu dalam praktik tidak hanya tentang perbedaan besar tetang pendapat hukum yang terafiliasi dalam berbagai madzhab, tetapi juga perbedaan-perbedaan kecil yang terjadi dalam internal madzhab tetentu. Bahkan, kita lihat, perbedaan pendapat antara ulama yang satu dengan yang lain tersebut sering bersifat antagonis.

Sedangkan hukum yang dibuat hakim tidak lain adalah putusan yang dihasilkan dari proses pemeriksaan suatu perkara dengan acuan hukum positif yang ada. Karena dalam memeriksa perkara, hakim mengadili kasus, maka putusan hakim tentu berbeda antara kasus yang satu dengan yang lain. Realitas menunjukkan, bahwa memang tidak ada perkara yang persis sama. Bahkan, karena alasan tertentu, suatu putusan hakim juga bisa berbeda dengan yang tertulis pada hukum positif yang ada.
Lantas di mana letak wasiat wajibah yang kini sudah digunakan para hakim memutus perkara?
Lembaga hukum “wasiat wajibah” memang belum menjadi hukum positif, sebab memang belum diundangkan oleh lembaga resmi yang diberi kewenangan untuk itu. Eksistensinya yang kini tercantum dalam Pasal 209 Kompilasi Hukum Islam, masih sebatas ‘pedoman tidak resmi’. Namun, dengan eksistensi demikian, wasiat wajibah juga bukan termasuk sekedar pengetahuan hukum sebagaimana fikih pada umumnya. Wasiat wajibah yang ada dalam KHI merupakan fikih khas Indonesia yang meskipun mungkin berbeda dengan pengetahuan hukum mayoritas masyarakat (muslim) Indonesia, tetapi tetap mengacu salah satu pendapat fukaha, dalam hal ini Ibnu Hazm ( 384-456 H ), salah seorang sejarawan, ahli fikih, dan imam ‘ahlus sunnah’ di Andalusia (Spanyol) yang dikenal karena produktivitas keliteraturannya, luas ilmu pengetahuannya, dan kepakaran dalam bahasa sekaligus seorang pendukung dan ahli fikih yang terkemuka dari Mazhab Dhahiri. Pendapat pengarang kitab “al-Muhalla”, ini sengaja dipilih karena dipandang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia. Pada saat yang sama masyarakat Indonesia, yang pada umumnya menjadikan kitab-kitab Madzhab Syafii tentu ‘heran’ dengan eksistensi wasiat wajibah ini.

Yang paling penting kini masyarakat perlu tahu, bahwa yang dimaksud dengan wasiat wajibah, menurut Ahmad Junaidi, adalah wasiat yang pelaksanaannya tidak dipengaruhi atau tidak tergantung kepada kemauan atau kehendak yang meninggal dunia. Wasiat ini tetap harus dilaksanakan, baik diucapkan atau tidak diucapkan, baik dikehendaki atau tidak dikehendaki oleh yang meninggal dunia. Jadi, pelaksanaan wasiat tersebut tidak memerlukan bukti bahwa wasiat terebut diucapkan, ditulis, atau dikehendaki, tetapi pelaksanaannya didasarkan pada alasan-alasan hukum yang membenarkan bahwa wasiat tersebut harus dilaksanakan. (Wasiat Wajibah Pergumulan antara Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Cetakan I, Pustaka Pelajar, 2013, halaman 118)

Tujuan dimasukkannya dalam salah satu ketentuan KHI, menurut Ahmad Junaidi, untuk melakukan pendekatan kompromi dengan hukum adat. Hal ini dilakukan bukan hanya sebatas pengambilan nilai-nilai hukum adat untuk diangkat dan dijadikan ketentuan hukum Islam. Pendekatan kompromistis ini, termasuk juga dalam hal memadukan pengembangan nilai-nilai hukum Islam yang sudah ada nashnya dengan nilai-nilai hukum adat. Tujuannya agar ketentuan hukum Islam itu lebih dekat dengan kesadaran hidup masyarakat. Hal ini dapat dikatakan sebagai islamisasi hukum adat sekaligus seiring dengan upaya mendekatkan hukum adat ke dalam hukum Islam.

Dengan motif demikian, maka jangan heran jika dalam perkembangannya, wasiat wajibah itu kini diterapkan oleh lembaga peradilan, dalam hal ini Mahkamah Agung, dengan jangkauan cakupan yang lebih luas. Maksud jangkauan cakupan yang lebih luas tersebut tidak lain, kini wasiat wajibah tidak hanya sebatas untuk anak angkat dan orang tua angkat, tetapi juga termasuk kerabat dekat yang selama ini, menurut fikih mainstream, tidak mungkin mendapat warisan, seperti ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait