Mengenang Tragedi Nasional Gerakan 30 September 1965

  • Whatsapp

Catatan: HM Yousri Nur Raja Agam  *)

HARI ini, 30 September 2021. Kembali saya teringat peristiwa tragis 56 tahun silam  Tragedi nasional, tengah malam tanggal 30 September hingga 1 Oktober 1965. Penculikan, penyiksaan dan pembunuhan kejam terhadap 11 orang yang ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi.

Pelaku pelakunya dengan cepat diketahui.  Mereka adalah gerombolan bersenjata yang mengaku dari pasukan Resimen Tjakrabirawa (Cakrabirawa). Pasukan Pengaman Presiden (Paspampres), Presiden Sukarno (waktu itu). Para penculik mendatangi rumah para perwira tinggi TNI-AD di Jakarta, yang mereka sebut sebagai Dewan Jenderal.

Setelah beberapa jenderal itu berhasil diculik, mereka dibawa dengan truk militer ke wilayah Lubang Buaya, dekat Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta. Di tempat ini, para korban disiksa  dan kemudian dibunuh. Jenazah korban, dimasukkan ke dalam sumur kering yang cukup dalam.  Kemudian dikenal sebagai “sumur lubang buaya”.

Diketahui kemudian,  para pelakunya adalah  oknum tentara bersama kader-kader PKI (Partai Komunis Indonesia) — sejak tahun 1966 dibubarkan dan dinyatakan sebagai Partai terlarang di Indonesia.

Kendali sasaran penculikan di Jakarta itu adalah para jenderal,  namun korbannya ada dua ajudan dan satu anak perempuan.

Sebelas korban yang ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi itu adalah:

1. Jenderal Ahmad Yani,
2. Letjen Suprapto,
3. Letjen Mas Tirtodarmo Haryono,
4. Letjen Siswondo Parman,
5. Brigjen Donald Isaac Panjaitan,
6. Mayjen Sutoyo Siswomihardjo,

Selain enam jenderal, ada dua perwira muda yang merupakan ajudan jenderal yang jadi korban,  yakni:
7. Kapten CZI Piere Andreas Tandean,
8. Ajun Inspektur Polisi (AIP) Karel Satsuit Tubun.

Satu lagi, bocah perempuan kecil, anak Jenderal Abdul Haris Nasution, yaitu:
9. Ade Irma Suryani Nasution.

Berikutnya, dua perwira gugur sevagai korban yang sama di Jogjakarta, yakni:
10. Brigjen Katamso Darmokusumo.
11. Kolonel R.Sugiyono Mangunwiyoto.

Ke sebelas orang korban “pembunuhan” yang dilakukan oleh pasukan dan anggota G30S/PKI itulah yang disebut Pahlawan Revolusi.

Waspadai Komunisme Bangkit

Tragedi berdarah itu itu dinyatakan sebagai Hari berkabung nasional. Kita  naikkan bendera setengah tiang, sebagai penghormatan kepada para Pahlawan Revolusi. Besoknya tanggal 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Bendera dikibarkan satu tiang penuh.

Walaupun PKI dan Organisasi yang bernaung di bawahnya sudah dibubarkan dan dilarang hidup di bumi Indonesia, namun gerakan “misterius” kembali muncul. Ada upaya membengkokkan sejarah G-30-S/PKI tahun 1965 itu.

Bagi orang-orang yang mengalami dan mengikuti sejarah tahun 1965 hingga zaman Orde Baru, “Hantu Komunisme”, terlihat semakin masif dan sistematis. Bukan lagi sebagai “bahaya laten”, tetapi sudah berwujud nyata, berganti baju dan ganti nama. Terasa dan menakutkan. Ada kekhawatiran anak-cucu dan buyut “mereka yang terlarang” itu akan membahas dendam. Sebab, “mereka” ini sudah terang-terangan tampil sebagai bagian dari legislatif dan eksekutif,  bahkan yudikatif di jalur penguasa.

Kaum milenial “masa kini”, seolah-olah diombang-ambingkan berbagai informasi yang menyesatkan. Guru dan dosen bagi para murid, siswa dan para mahasiswa, bukan hanpan langsung dengan sang mahaguru, mesin pencari di dunia maya atau internet:  “mbah Google” sebagai kampusnya.

Kini kakek dan nenek, ayah dan ibu mereka yang berada di ruang kelas atau perkuliahan, tidak berdaya. Mereka yang berjuang serta lahir di zaman Orde Lama (Orde Lama), Orde Baru (Orba), terpaksa “mengurut dada”. Sebab, anak-anak sekarang sudah mengalami perubahan pola pikir yang tidak sama. Generasi era reformasi ini, bagaikan berlayar di tengah hantaman gelombang badai.

Sungguh mengkhawatirkan. Adanya perbedaan dalam biduk sejarah yang berkaitan dengan peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Ditambah gonjang-ganjing selama 32 tahun masa Orde Baru berkuasa, tahun 1966 hingga 1998. Waktu itu, mayoritas rakyat Indonesia sudah hafal peristiwa yang terjadi di negara ini. Segala bentuk kegiatan Poleksosbud dan Hankam (Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya dan Pertahanan Keamanan) di  tiga dekade itu diikuti dengan seksama.

Jika kita telusuri, tiga generasi sudah kenyang melahap sejarah sejak zaman Orde Lama (Orla) dan  Orde Baru. Berikutnya menginjak, ke era Reformasi. Generasi “zaman now”  ini sudah tahu sepak terjang para penguasa. Mulai rezim Presiden Sukarno (1945-1966) dan Jenderal Soeharto (1966-1998) serta era Reformasi (1998-2021) ini.

Silih berganti Presiden memerintah dengan pola pikir yang tidak sama. Sudah lima presiden di era reformasi: Baharuddin Jusuf Habibie (1998-1999), Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (1999-2001) Megawati Soekarnoputri (2001-2004), Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY (2004-2014) dan Joko Widodo alias Jokowi, dua periode (2014-2024).

Aksi Angkatan 66

Zaman Presiden Soeharto berkuasa, situasi berubah. Ini terjadi akibat derasnya tuntutan Kesatuan Aksi Angkatan 66 yang disebut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat). Gerakan aksi demo turun ke jalan, mahasiswa dan pemuda pelajar dengan tema Tritura itu adalah: Bubarkan PKI, Turunkan Harga dan Reshufle Kabinet 100 Menteri.

Setelah Dekrit Presiden Sukarno,  5 Juli 1959, terjadi perubahan politik di tanah air. Berlanjut dengan sistem politik Nasakom (Nasional, Agama dan Komunis) oleh Bung Karno. Lalu berkembang menjadi Demokrasi Terpimpin.  Di zaman Orde Baru, diubah menjadi Demokrasi Pancasila. Ekonomi yang merosot ditegakkan dengan menggiatkan pembangunan secara berencana oleh Pak Harto. Diterapkan pola serba berencana. Menata kegiatan pembangunan dengan tahapan Pelita (Pembangunan Lima Tahun).

Sejarah masa lalu memang terbentang luas, namun alam pikir generasi sekarang bisa berkembang tanpa guru dan dosen. Cermin sejarah itu terpapar di hadapan mereka tanpa bingkai. Kisah dan cerita, beserta riwayat yang dibuat berdasarkan legenda, tutur tinular, dongeng,  imajinasi, hoax, bahkan merujuk kepada babad dan tambo, kini dapat mengubah alur sejarah yang sebelumnya sudah baku.

Boleh dikatakan,  satu generasi “terputus”. L,ahir generasi yang sama sekali tidak tahu peristiwa sebenarnya di tahun 1965-1966. Mereka inilah yang membuat perubahan sejarah berdasarkan ilmu teknologi dan informasi yang canggih. Bahkan tanpa konfirmasi dan tak terkendali.

Kakek, nenek, ayah dan Bunda, merasakan adanya “cuci otak” terhadap milenial. Anak-anak muda bagaikan masuk ke alam gaib yang menimbulkan berbagai pandangan sejarah. Sehingga, terjadi pro dan kontra, serta perbedaan yang berhubungan dengan peristiwa G30S/PKI di tahun 1965 beserta rangkaiannya.

Perubahan cakrawala pandang itu terjadi di antara generasi sekarang adalah anak dan cucu, para “pesakitan” akibat kekuasaan Orba. Mereka yang bangkit di era reformasi ini ingin “balas dendam”. Dengan segala cara, berdalih meluruskan sejarah yang dibengkokkan, maka anak-cucu dari “pesakitan” yang juga menyebut dirinya “korban Orba” itu, ada yang secara fulgar menyebut sejarah zaman Orba, adalah sejarah yang dibengkokkan. Sehingga, perlu diluruskan.

Untuk itu kita layak menelusuri secara runtut sejarah G30S/PKI. Apa yang melatarbelakangi, sehingga mereka melakukan penculikan dan pembunuhan para jenderal dan perwira TNI (Tentara Nasional Indonesia), juga yang dari Polri (Kepolisian Republik Indonesia).

Dakam sejarah awal Orde Baru  Diungkapkan tentang pimpinan Cakrabirawa, Letnan Kolonel (Letkol) Untung. Walaupun berangkat perwira menengah, ia secara resmi mengumumkan dirinya sebagai Pimpinan Tertinggi G30S. Para perwira tinggi yang diculik dan dibunuh itu, dinyatakan “musuh”, dengan tuduhan sebagai anggota Dewan Jenderal yang akan mengkudeta kepemimpinan Presiden Soekarno.

G30S yang didalangi oleh PKI ini kemudian diringkus. Desakan dan aksi masa pelajar dan mahasiswa menjadi-jadi. Tidak hanya di ibukota Jakarta, tetapi sampai ke seluruh pelosok tanahair. Tidak kuat membendung suara rakyat melalui
Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat) itu, maka terbitlah Surat Perintah Presiden tertanggal 11 Maret 1966. Surat Perintah 11 Maret (Supersemar).

Dengan Supersemar itu, Presiden Sukarno menyerahkan berbagai kewenangan kepada Jenderal Soeharto. Maka tanggal 12 Maret 1966, PKI dibubarkan. Keputusan ini kemudian dikukuhkan dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (TAP MPRS) No.XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme di bumi Indonesia.

Para Mahasiswa dan Pemuda Pelajar yang tergabung dalam organisasi KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) dan KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) bangkit. Mereka kemudian didukung pula oleh berbagai kesatuan aksi. Para guru bangkit dengan KAGI, buruh (KABI) dan sarjana (KASI). Semua Kesatuan Aksi ini bergabung sebagai Eksponen 66.

Dari kalangan Eksponen 66 atau Angkatan 66 itu, juga berguguran para Pemuda/Pelajar anggota KAPPI dan Mahasiswa anggota KAMI. Mereka ini diberondong peluru pendukung G30S/PKI saat berdemonstrasi pada rentang waktu tahun 1966-1967. Tidak hanya di ibukota Jakarta, tetapi juga di berbagai kota di Indonesia.

Dari catatan sejarah Angkatan 66, ada 13 orang anggota KAMI dan KAPPI dari berbagai daerah di Indonesia yang gugur saat melakukan aksi Tritura. Para pejuang Tritura 1966 ini diberi penghormatan dan jasa sebagai “Pahlawan Ampera” berdasarkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) Nomor: TAP MPRS XXIX/MPRS/1966.

Para Pahlawan Ampera itu adalah:
1. Arief Rachman Hakim, KAMI, di Jakarta
2. Ichwan Ridwan Rais KAPPI di Jakarta
3. Zubaedah KAPPI di Jakarta
4. M.Sjafi’i KAPPI di Jakarta
5. Zainal Zakse Wartawan KAMI di Jakarta
6. Yulius Usman KAPPI di Bandung, Jabar
7. Hasanuddin KAPPI di Banjarmasin, Kalsel
8. Margono KAPPI di Jogjakarta
9. Aris Munandar KAPPI di Jogjakarta
10. Ahmad Karim KAPPI di Bukittinggi, Sumbar
11. M. Syarif Al Kadri KAPPI di Makassar, Sulsel
12. Dicky Oroh KAPPI di Manado, Sulut
13. Yusuf Hasim KAPPI di Manado, Sulut.

Adanya keputusan resmi Pemerintah, menganugerahkan gelar Pahlawan Revolusi dan Pahlawan Ampera  kepada yang gugur sebagai korban kekejaman G30S/PKI, merupakan bukti sejarah yang nyata. Jadi,  bagaimana pun juga kita layak untuk mengetahui masa lalu melalui sejarah. Membaca peristiwa masa lampau.

Marilah kita pelajari berbagai jejak sejarah dan dokumentasi itu. Mari kita  menonton film dan video ,seperti filem Pengkhianatan G30S/PKI yang biasanya diputar ulang setiap akhir September ini. Dan, kita juga perlu mengikuti jejak perjuangan pelajar dan mahasiswa, KAMI dan KAPPI, serta KABI, KAGI dan KASI.

Seluruh massa kesatuan aksi waktu itu kemudian dikenal sebagai Angkatan 66. Berdemonstrasi melakukan gerakan sporadis di seluruh daerah di Indonesia. Sehingga, segala bentuk kegiatan yang berbau komunis, dikikis habis, dilarang di Bumi Nusantara. 

 *) HM Yousri Nur Raja Agam adalah Ketua DPP FKB KAPPI Angkatan 66. (Dewan Pimpinan Pusat Forum Keluarga Besar Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia Angkatan 66).

beritalima.com
beritalima.com beritalima.com

Pos terkait