Oleh
DR. EDI PURWINARTO, M.Si
Pengamat Demokrasi dan Kebijakan Publik
Bergeraknya fenomena global memposisikan dunia menjadi tanpa batas, memberikan ruang luas masuknya informasi bagi setiap orang. Dalam perspektif tehnologi tentunya akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi pengembangan keilmuan. Persoalan yang menjadi menarik ketika masuk pada ranah pengembangan demokrasi dan hak azasi manusia.
Demokrasi dan hak azasi manusia sebagai sebuah idola, dengan semangat reformasi dan eforea, dimaknai sebagai kebebasan mutlak. Fakta ini dapat kita lihat pada perubahan perilaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perilaku telah menggejala meninggalkan budaya kesantunan. Yang dulu beda pendapat hanya diekspresikan dengan lesan, sekarang kita bisa melihat beda pendapat melalui ekspresi tindakan fisik. Melihat fenomena seperti itu, maka menjadi menarik untuk diperbincangkan dan bagaimana solusinya.
Budaya kesantunan
Kalau kita memperhatikan budaya kita, orang tua selalu mengajarkan kesantunan. Disitulah maka pendiri negara menempatkan rumusan musyawarah mufakat dalam sila ke 4 Pancasila. Tentunya mekanisme pengambilan keputusan melalui muyawarah mufakat ini menjadi solusi untuk mencegah terjadinya konflik. Terlepas dari setuju atau tidak setuju, perjalanan pemilihan kepala daerah pernah terjadi, dibawa ke kontestasi yang justru dapat mempertajam konflik.
Atas nama demokrasi, pemilihan kepala daerah yang terjadi di Jawa Timur sampai tiga putaran. Yang sesungguhnya, pelaksanaan tiga putaran akan membebani pemerintah untuk menanggung beaya yang lebih banyak, semakin memperpanjang dan mempertajam disharmoni sosial, mengerucutnya dua kontestan justru membangun dua kelompok besar untuk konflik. Itulah fakta perjalanan demokrasi dan konflik yang dapat kita lihat bersama. Sementara itu, kita juga melihat perkembangan politik dalam proses formulasi kebijakan kadang terjadi tindakan yang lepas dari kaidah kesantunan, bahkan sampai terjadi anarkhis. Musyawarah mufakat bukan lagi menjadi model pengambilan keputusan dan dianggap tidak populis.
Makna demokrasi adalah dari, oleh, dan untuk rakyat dalam proses pengambilan keputusan. Hakekat demokrasi adalah pengambilan keputusan secara kolektif. Dalam perspektif kolektif inilah maka transparansi menjadi sangat penting. Artinya bahwa, policy maker harus melibatkan masyarakat secara terbuka dalam formulasi kebijakan publik. Tentunya, setelah kebijakan ditetapkan maka semua harus konsisten untuk mematuhinya. Sikap mematuhi inilah yang dimaksud bertanggungjawab.
Idealisasi Politik
Dua batasan politik yang perlu diselaraskan adalah, politik sebagai ilmu tentang negara, dan politik sebagai cara-cara memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Politik tentang negara tentunya diarahkan untuk memperkuat eksistensi negara, yang dalam ketatanegaraan kita disebut NKRI. Munculnya slogan NKRI harga mati adalah bentuk sikap politik untuk memepertahankan negara. Berpolitik adalah hak. Oleh karenanya, setiap orang mempunyai hak, baik dalam politik negara ataupun politik sebagai cara memperoleh atau mempertahankan kekuasaan.
Fenomena politik dalam konteks memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, menunjukkan dinamika yang sangat terasa. Dari sinilah kemudian memunculkan pertanyaan : politik itu licik apa licin. Dalam perspektif politik licik maka sangat mungkin terjadi tindakan menghalalkan segala cara. Namun demikian, ketika politik itu licin maka akan bermuara pada kesantunan dengan mengedepankan prinsip demokrasi, karena yang terjadi adalah penyusunan strategi yang menuju kearah suasana kondusif. Strategi dimaksud adalah strategi menang dalam memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Konstruksi seperti inilah yang barangkali perlu dibangun ke depan sebagai bentuk idealisasi politik, sehingga tidak menempatkan politik tentang negara berbenturan dengan politik sebagai upaya memperoleh atau mempertahankan kekuasaan. Tetapi sebaliknya, justru mensinergikan.
Kebijakan Publik Sebagai Rambu.
Lahirnya kebijakan publik sebagai sebuah keputusan kolektif, menjadi rambu-rambu bagi rakyat untuk membangun suasana yang tertib dan tenteram. Artinya bahwa kebijakan publik berfungsi sebagai rambu. Kebijakan publik bersifat binding, artinya mengikat bagi yang menetapkan dan mengikat kepada yang dikenai. Sebuah kebijakan publik harus melalui formulasi.
Pada konteks formulasi inilah terjadi proses bersifat kolektif karena mereka yang akan dikenai harus dilibatkan dalam proses ini. Formulasi sebagai proses dapat menjadi sebuah perencanaan, seperti apa kebijakan publik tersebut akan ditetapkan. Kualitas sebuah kebijakan publik akan dipengaruhi oleh formulasinya. Pada tahap proses formulasi inilah yang sangat rawan, dan disitulah perilaku politik akan terekspresi. Pandangan yang mungkin menjadi keliru ketika berbicara masalah hak azasi manusia dimaknai sebagai kebebasan hak tanpa batas.
Itulah yang menjadi sumber masalah yang meninggalkan kesantunan. Oleh karenanya, menguatnya demokrasi dan hak azasi manusia harus tetap dalam koridror rambu normatif, karena harus memperhatikan hak azasi orang lain yang lebih luas. Apapun juga, hak azasi tidak terlepas dengan rambu normatif. Apakah itu norma hukum, norma agama, norma adat, norma susila, dan sebagainya. Tuntutan norma kesantunan tentunya juga berlaku bagi policy maker.
Gagasan Format Politik
Kesantunan bukanlah merupakan satu-satunya untuk dapat menciptakan suasana damai. Pengambilan keputusan yang tidak transparan dapat memicu konflik. Oleh karenanya, transparansi dalam proses pengambilan keputusan adalah bersifat mutlak. Dengan transparansi, dan keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan maka pada tahap implementasi semua fihak harus bertanggungjawab. Demokrasi sebagai khasanah pengambilan keputusan adalah proses politik. Dari sinilah perlunya untuk menampilkan sebuah format politik yang santun, transparan, dan bertanggungjawab.
Konsep pikiran tadi tentunya untuk membangun format politik yang dapat menciptakan suasana kondusif dengan tetap dalam koridor demokrasi. Demorasi harus menjadi nafas dalam menetapkan sebuah kebijakan yang damai, bukan justru menumbuh suburkan konflik. Kalau yang terjadi memperbesar konflik maka ada kesalahan besar dalam menerapkan demokrasi.
Begitulah kira-kira gagasan yang perlu saya kemukakan. Tidak lain dan tidak bukan adaklah untuk kepentingan kejayaan NKRI.