Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A)
Masih ingatkah kita peristiwa heroik tentang sebuah pesawat terbang tanggal 16 Januari 2002? Sebuah pesawat Boeing 737 milik Garuda Indonesia, melakukan pendaratan darurat di Sungai Bengawan Solo. Dan, yang lebih fantastis seluruh penumpang pesawat sebanyak 54 orang itu selamat, sedangkan dari 6 kru pesawat hanya seorang pramugari yang meninggal. Diduga pramugari pesawat dengan nomor penerbangan GA 421 ini terlempar saat terjadi benturan keras. Kita tidak dapat membayangkan bagaimana suasana seluruh penumpang saat pesawat menghadapi gangguan (mesin mati) di atas ketinggian beribu kaki di angkasa. Kepanikan, ketakutan, dan teriakan histeris serta doa-doa dalam suasana kengerian pasti bercampur aduk dalam kotak pesawat. Kita juga tidak dapat menggambarkan bagaimana kepanikan kru pesawat yang hanya punya waktu sangat terbatas harus segera mengambil keputusan yang tepat demi nyawa seluruh penumpang. Waktu berdebat antar kru pasti tidak seperti yang teradi pada sidang DPR atau sidang para anggota partai.
Pesawat dengan rute penerbangan Salaprang (Lombok)-Yogyakarta yang pada awalnya berjalan lancar itu, kemudian memasuki awan hitam pekat yang berpotensi menimbulkan petir. Drama kepanikan mulai terjadi, saat kemudian mesin pesawat mati. Kapten Abdul Rozak pun segera berdiskusi dengan co-Pilot. Saat pesawat dirurunkan dan lalu berdiskusi, terlihat hamparan sawah dan sungai. Co- Pilot berpendapat, agar pesawat melakukan pendaratan di sawah tetapi sang pilot memilih ke sungai. Sebelumnya Co-Pilot Haryadi dari kokpit juga berteriak-teriak kepada para penumpang yang berada di kabin, memberi tahu tentang kondisi pesawat. Akan tetapi, ternyata alat komunikasi yang ada sudah mati. Yang menarik Sang Pilot dengan pasrah kepada Tuhan, sambil mengingatkan kematian sudah dekat, justru menyuruhnya berdoa dan pasrah. “Saya katakana, kita berdoa, detik-detik kematian sudah di depan mata. Kita suruh berdoa dan saya takbir. Setelah itu, saya konsentrasi lagi,” kenang Abdul Rozak tentang sikap dan tindakannya waktu itu.(Merdeka.com, 23 Januari 2021). Sikap pilot Abdul Rozak itulah yang sering disebut oleh para motivator sebagai Zero Mind Process (ZMP) atau Proses Pikiran Bersih.
ZMP merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menunjukkan kepasrahan penuh kepada Tuhan Yang Mahaesa dalam keadaan apa pun. Ari Ginanjar merumuskan hal tersebut dengan 1 dibagi 0 yang hasilnya tak terhingga. Angka 1 menunjukkan Allah dalam posisinya sebagai pembilang (di atas) sementara angka 0 menunjukkan pikiran yang bersih dan pasrah dalam diri manusia dan dalam posisi penyebut, yang menghasilkan sesuatu yang tidak terhingga, tidak terduga-duga atau di luar nalar manusia. Dari rumus ini Ari Ginanjar hendak menyampaikan pesan, bahwa apa pun yang terjadi dalam kehidupan ini yang didasari dengan kepasrahan kepada Allah SWT, akan membawa manusia mampu ditempa dengan berbagai cobaan dan hambatan. Ketika berusaha atau bekerja terkadang manusia khawatir: “berhasil” atau “gagal”. Bahkan, kalaupun berhasil, apakah hasil yang dicapai baik atau buruk atau apakah berguna atau sia-sia. Akan tetapi ketika manusia mampu pasrah kepada Allah SWT, biasanya justru akan mendapatkan segala sesuatu yang tidak pernah dibayangkan atau tidak diduga. Ini pula kiranya makna Firman Allah SWT dalam Surat At Talaq ayat 3 : “Barang siapa pasrah (tawakal) maka Allah mencukupinya.”
Ketika perang Badar pasukan kaum muslimin hanya berjumlah 313 orang sedangkan kaum musyrikin berjumalh 1000 orang. Perang yang terjadi di bulan ramadhan dan kondisi alam gurun yang sangat panas itu jelas membuat kekuatan tidak hanya tidak seimbang dari segi jumlah tetapi juga fisik. Akan tetapi, rasulullah mengeluarkan sebuah doa pemungkas dengan penuh kepasarahan “Ya rabbi in tuhlik hadzihil ‘ishobata falan tu’bad fil ardhi abadan” ( Ya Tuhanku jika golongan ini engkau binasakan, maka engkau tidak akan disembah selamanya). Kepasrahan rasulullah dan para kaum muslimin timbul dari pengakuan ketidakberdayaan itu pun, pada ahirnya melahirkan hasil di luar nalar. Pasukan yang hanya 313 dan relatif lemah secara fisik itu, ternyata berhasil memporak-porandakan pasukan kaum musyrikin dan menewaskan banyak pembesar Quraisy.
Kebenaran mengenai teori ZMP ini terbukti juga pada “Perang Hunain”. Pada peparangan ini jumlah kaum muslimin tercatat dalam sejarah justru 3 kali lipat dari jumlah musuh. Akan tetapi, justru kaum muslimin kalah pada putaran pertama akibat merasa bangga dengan jumlah orang banyak. Kekalahan pada perang Hunain ini diabadikan dalam surat At Taubah ayat 25: “Sesungguhnya Allah telah menolongmu di tempat-tempat yang banyak dan di hari perang Hunain. Ingatlah saat itu kalian merasa ‘ujub dengan jumlah yang banyak. Padahal, jumlah yang banyak itu tidak bermanfaat sedikit pun untuk kalian dan menjadi sempitlah bumi yang luas bagi kalian dan kalian pun lari ke belakang.”
Mengambil pelajaran dari peristiwa sejarah dan bukti-bukti kebenarannya secara empiris, maka para sufi pun telah ikut mengajarkan kepada kita agar kta tidak terlalu percaya diri (over confidence) dengan kemampuan diri. Sebab, di atas langit ada langit dan yang lebih penting di atas langit ada penguasa langit, Allah SWT. Dengan segenap kemampuan yang ada dan aneka ragamnya, sejatinya manusia hanya diberikan kekuatan dan kemampuan sedikit saja. Maka benar kata Ibnu Athaillah: “Tunjukkan sifat-sifatmu, niscaya Dia akan membantumu dengan sifat-sifat-Nya. Wujudkan sifat kehinaanmu, niscaya Dia akan memberimu kemuliaan-Nya sehinga engkau akan menjadi mulia, bukan dengan dirimu sendiri. Wujudkan sifat kelemahanmu, niscaya Dia akan membantumu dengan kekuatan-Nya sehingga kamu mampu berbuat apa saja, bukan dengan dirimu sendiri. Tampakkan ketidakberdayaanmu, niscaya Dia membantumu dengan kekuatan dan daya-Nya sehingga kamu menjadi kuat dengan kekuatan-Nya, bukan kekuatan dirimu sendiri.”
Semoga dapat menjadi bahan renungan kita di Bulan Suci Ramadhan ini.
Biodata Penulis