SURABAYA, Beritalima.com |
Vitamin D dan Obesitas ternyata memiliki hubungan yang kurang menyenangkan. Hal itu dipaparkan oleh dr. Henry Suhendra, SpOT yang merupakan alumnus Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga tahun 1992.
Ia mengatakan, jika dikaitkan dengan vitamin D, orang-orang dengan obesitas tinggi lebih rentan terinfeksi Covid-19.
Alasannya, karena kandungan Vitamin D pada tubuh penderita berat badan berlebih hanya sekitar 50 hingga 70 persen dari pada orang-orang dengan tubuh ramping.
Pada orang-orang dengan obesitas tinggi, Vitamin D yang seharusnya larut dalam lemak lebih banyak terperangkap dalam lemak. Sehingga yang tersisa pada pembuluh darah hanya sedikit.
“Yang bisa dipakai kan Vitamin D di pembuluh darah, baru dibawa ke organ-organ. Jadi semakin tebal lemak seseorang, Vitamin D akan semakin banyak tersimpan di lemak dan jadinya useless,” jelasnya dalam siaran Youtube Deddy Corbuzier (13/7/2021).
Namun sebaliknya, Vitamin D yang tinggi sangat baik untuk metabolisme otot. Setiap kali terjadi kerusakan otot, Vitamin D diperlukan untuk perbaikan. Sebab, tidak cukup hanya dengan protein.
Ia juga mengatakan, untuk mengetahui asupan atau kadar Vitamin D dalam tubuh telah optimal atau belum, diperlukan kontrol terhadap sejumlah aspek lain. Seperti kalsium dalam darah; kalsium pada urine; serta hormon yang dikeluarkan oleh paratiroid.
Ia menjelaskan, ada beberapa cara untuk memenuhi kebutuhan Vitamin D agar optimal. Salah satunya yakni berjemur di panas matahari atau mengonsumsi suplemen Vitamin D.
Untuk mendapatkan Vitamin D terbaik selama berjemur, Henry menyarankan memilih waktu antara jam 11 hingga 1 siang. Hal tersebut sesuai dengan hasil riset dari salah satu peneliti asal Boston yang datang ke Indonesia pada 2011 lalu.
“Jam berjemur paling optimal, dimana kadar Ultraviolet B maksimum didapat bukanlah pagi hari, melainkan pada jam 11 hingga jam 1 siang,” tandasnya.
Selain itu, lanjut dia, setidaknya 85 persen tubuh harus terpapar sinar matahari secara langsung. Sebab, jika terhalang baju atau objek lainnya, yang didapat tubuh hanya Ultraviolet A yang tidak membentuk Vitamin D.
Sementara itu, dr. Henry menyampaikan, lama waktu berjemur juga dipengaruhi oleh tipe kulit. Dari enam tipe kulit yang berbeda, mayoritas orang Asia Tenggara berada di urutan 4 dan 5.
“Kita kalau jemur rata-rata perlu tiga sampai empat kali lebih banyak daripada bule-bule untuk mendapatkan Vitamin D yang sama. Itu susah, makanya bisa kita ganti juga dengan suplemen,” pungkasnya. (Yul)
Caption :
ALUMNUS Spesialis Orthopaedi dan Traumatologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga tahun 1992 Dr Henry Suhendra, SpOT.