beritalima.com, Ide berkarya bagi seniman bisa datang dari mana saja. Affandi Setiawan menemukan tak jauh-jauh, hanya dari dirinya sendiri. Potensi itu ia tuangkan menjadi 39 karya yang ia jadikan materi solo art exhibition-nya yang pertama bertajuk “Dark Space” di SOHAM Creative Space, Jl. Kemang Raya 82A Jakarta Selatan.
Seperti judulnya, ‘ruang gelap’ dalam kehidupan lulusan Rhode Island School of Design, USA, Bachelor of Fine Arts pada 2011 ini disajikan tanpa ‘tedeng aling-aling’ (batas). Semua dengan jujur disampaikan Affandi lewat 39 karya sejak 7 Desember hingga 31 Desember 2018. Baginya, karya seni adalah ruang terang yang mengubah ruang gelap yang ia alami.
Salah satunya tampak dalam karya berjudul “Murdered Soul”. Di situ Affandi menyimbolkan situasi seseorang yang hidup dalam depresi. Tubuhnya hidup, tetapi jiwanya tidak bernyawa. Ini persis seperti yang dilaluinya di masa lalu. Dalam “Memorials” ia menyimbolkan banyaknya jiwa manusia yang hilang karena pikiran yang tidak damai. “Entah manusia itu mengakhiri hidupnya sendiri atau mengakhiri hidup orang lain, tapi pada dasarnya semuanya berakar dari pikiran manusia yang dipenuhi energi negatif,” terangnya.
Masih senada, dalam “Tortured Soul” ia mengungkapkan sebuah simbolisasi perdebatan dan perang di dalam batin seseorang yang masih belum berdamai dengan diri sendiri. Dalam keadaan ini seseorang bisa terus melukai diri sendiri dan melukai orang lain dengan pikiran dan perbuatan yang penuh kebencian dan amarah. ‘Ruang gelap’ yang lebih dalam lagi tampak dalam karya “Let Me Out” (#5 dari 5). Affandi menceritakan perjuangannya keluar dari depresi berkepanjangan yang berawal sejak ia masih remaja.
Bentuk-bentuk simbolik ‘self-harm’ yang dihasilkannya itu diakuinya timbul saat ada pikiran-pikiran depresi yang kadang membuat ia berpikir untuk bunuh diri. Dari banyak hal yang sudah terjadi, Affandi mengingat bahwa pilihannya untuk mencintai dunia seni tak begitu saja mudah ia lakukan. Sebab sejak muda, bungsu dari tiga bersaudara ini dituntut untuk menekuni dunia bisnis. “Banyak emosi yang terpendam dari kecil karena saya berasal dari keluarga yang keras dan penuh amarah. Dan itu bisa berangsur bisa saya atasi dampaknya dengan berkarya,” katanya jujur.
Karena menuangkan segala yang ada dalam dirinya, Affandi mengaku tak sulit untuk berkarya. Terhitung, ia hanya membutuhkan waktu tiga bulan untuk membuat semua karya dalam pameran tunggalnya kali ini. Dalam proses berkarya, Affandi menyatakan bahwa ia benar-benar membebaskan diri agar semua yang ada di dalam dirinya keluar. Ada yang dihasilkannya dengan menggunakan kuas, ada yang menggunakan tangan saja. Dalam beberapa karya seperti “Cut So It Stops Hurting tampak goresannya lebih kasar. Bahkan dalam karya Sliced, Affandi sengaja merobeknya, memotongnya dengan dengan pisau agar mendapatkan karya yang ia maksud.
Tercatat 39 karya itu terdiri dari 18 lukisan dengan media akrilik di atas kanvas, 19 gambar dengan media marker on paper, 1 instalasi kaca dan satu 1 seri art video. Dalam opening ia menggelar “Live Performance Contemporary Dance” diiringi violinist Mitra. Diakui owner Kencana Pajajaran Batik & Fashion itu ide begitu deras itu lahir sejak Juli 2018 setelah pulang dari India untuk belajar meditasi sekalian training untuk bisa mengajar,” kata Affandi yang juga adalah seorang Licensed Hypnotherapist. Sejak itu, semuanya tiba-tiba saja keluar. Banyak emosi yang terpendam tiba-tiba meluap. Apalagi Affandi tipikal pekerja cepat sehingga karya pun tercipta dengan sangat memuaskan. “Buat saya, proses membuat karya seni adalah bentuk pelampiasan emosi juga. Jadi berkarya itu sifatnya eksplosif,” katanya.
Itulah dalam solo art exhibition-nya kali ini, Affandi merasa apa yang ada di dalam dirinya sudah tertuang menjadi karya seni. Tidak saja ternikmati oleh dirinya namun ia juga senang bisa menyajikannya ke khalayak seni yang bisa mengapreasiasinya. Untuk bisa sampai tahap ini, Affandi mengaku ia banyak di-support oleh teman-temannya. “Saya punya teman yang meyakinkan saya untuk mengadakan pameran karya seni yaitu sahabat saya yang juga seniman contemporary china ink painting, Fabiola Natsaha di Surabaya. Ia sahabat dan teman berdebat yang asyik dalam diskusi,” akunya.
Bersama Fabiola yang menggelar solo exhibition “The Sound of My Soul” di Soham Gallery pada 1-23 September 2018 lalu dan Elise Orlowski (cinematographer), Affandi pernah bekerja sama. Ketiganya menghasilkan karya kolaborasi instalasi foto-video berjudul “Transition”. Teman-temannya inilah yang mendukung Affandi untuk terus berkarya. “Setelah solo art exhibition ini saya akan mengekspresikan banyak hal lain lagi untuk dijadikan karya dengan tema yang berbeda. Saya memiliki komitmen untuk tidak mengulang tema yang sama baik secara ide maupun visual,” tegasnya. (*)