Menguji Relevansi Agama Di Era Google

  • Whatsapp

Review Buku
Denny JA, 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama dari Kebenaran Mutlak Menuju Kekayaan Kultural Milik Bersama
 
Ahmad Najib Burhani

*Profesor Riset di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)

 
Ini adalah buku yang cukup berani “menggelitik” keyakinan teologis kita dengan menghadap-hadapkannya kepada temuan ilmu pengetahuan.

Buku ini juga mempertanyakan peran agama yang selama ini kita terima secara for granted, bahwa agama berfungsi positif dalam pembentukan moral di masyarakat.

Buku ini menampilkan dinamika dan problematika yang dihadapi umat beragama di era digital sekarang ini.

Pertanyaan dasar yang secara implisit hendak ditampilkan oleh buku adalah: Masih relevankah agama di dunia modern saat ini?

Jika masih relevan, dalam hal apa dan dengan cara seperti apa?
 
Secara struktur, Denny JA menampilkan empat persoalan penting dari agama di era digital ini.

Pertama, seperti diuraikan dalam Bab 1, ada korelasi yang seakan negatif atau terbalik antara kesejahteraan, kebahagiaan, serta korupsi dengan keyakinan tentang pentingnya peran agama.

Alih-alih memberikan kesejahteraan dan kebahagiaan, justru di negara-negara yang peran agamanya dominan, korupsi di negara tersebut sangat tinggi. Kebahagiaan dan kesejahteraan lebih banyak terjadi di negara-negara yang meyakini bahwa agama tak lagi penting dalam kehidupan.

Indeks tentang kebahagiaan, kesejahteraan, dan korupsi tersebut seakan menunjukkan bahwa agama telah kehilangan elan vital atau peran nubuwwah-nya.
 
Kedua, berbagai temuan arkeologis membuktikan bahwa cerita-cerita kenabian yang tertulis dalam Alquran dan kitab suci lain itu hanya mitos belaka.

Kisah beberapa Nabi itu tidak memiliki bukti empiris dan historis.

Termasuk dalam hal ini adalah cerita tentang eksistensi Nabi Musa dan eksodus umat Yahudi dari Mesir.

Demikian pula cerita tentang Bahtera Nuh dan banjir besar pada zaman itu yang konon menenggelamkan seluruh permukaan bumi ini.
 
Ketiga, meski agama dalam beberapa kasus membelenggu masyarakat, seperti pada kasus perempuan di Saudi Arabia, dan menciptakan hubungan yang kurang harmonis antar-umat beragama, namun selalu ada upaya dari sebagian umat beragama untuk keluar dari keterjebakan itu.

Mereka mencoba membebaskan umat dengan tetap bersandar pada dalil-dalil keagamaan. Contohnya adalah apa yang dilakukan Nahdlatul Ulama (NU) dengan gagasannya yang sangat berani.

Penggunaan konsep “kafir” dalam hal kenegaraan adalah tidak relevan dan karena itu harus dihapuskan. Ini menunjukkan bahwa agama masih memiliki kekuatan positif, tidak melulu bermakna negatif.

Pendeknya, agama bisa seperti pedang bermata dua. Ia bisa menjadi sumber kemandegan dan sekaligus sumber kemajuan. Itu

semua terletak bagaimana umat beragama menginterpretasikan ajaran-ajaran keagamaan.

“Yang buruk itu adalah tafsir agama yang ‘main hakim sendiri,’ membenarkan elemen kekerasan, dan menyebar sentimen permusuhan” (h. 10).
 
Keempat, meski banyak mendapatkan kritik dan kecaman, agama sebetulnya banyak mengandung mutiara yang bisa bermanfaat bagi umat manusia dan bisa menjadi kekayaan kultural bersama.

Di antara mutiara itu adalah yang disarikan oleh penulis dalam tiga prinsip (kebajikan, power of giving, dan oneness) yang menjadi irisan agama-agama dan 10 mutiara ajaran Alquran.

*
 
Jika buku ini dibaca hanya pada Bab 1 dan 2, terutama bersandar pada indeks kebahagiaan, kesejahteraan, dan korupsi, serta beberapa temuan arkeologis, maka pembaca bisa berkesimpulan bahwa agama kini tak lagi relevan.

Agama lambat laun akan hilang dari peradaban atau ditinggalkan para pemeluknya.

Ia, pada masa yang akan datang, hanya menjadi kekayaan kultural yang kehilangan fungsinya sebagai faith, belief, dan worldview.
 
Namun Denny JA di beberapa tempat dalam buku ini membantah sendiri kesimpulan itu dan mengatakan bahwa agama memiliki 1000 nyawa (h. 30, 37, 45).

Karena itu, Agama tak akan mati (h. 30).

Sayangnya, argumen yang dipakai untuk mendukung jawaban ini tak sekokoh guncangan yang ia sodorkan, baik dalam bentuk data indeks dan temuan arkeologis.

Jawabannya banyak bersandar pada keyakinan seorang beriman yang sufistik dan kurang berhasil membalikkan info-info yang ditampilkan sebelumnya bahwa di negara-negara Skandinavia, agama telah kehilangan nyawanya.
 
Jika Denny JA menambah dengan indeks atau data survei tentang pengaruh agama dalam gerakan filantropi –seperti salah satu prinsip yang disarikannya dari agama-agama, yaitu power of giving—barangkali akan lebih menguatkan argumen bahwa agama memiliki nilai positif di masyarakat.

Demikian juga, seperti ditulis Robert Hefner dalam Civil Islam (2000), jika Denny JA memasukkan peran ormas Islam dalam balancing democracy di Indonesia, maka makna agama dalam masyarakat kontemporer akan tampak lebih kokoh lagi.

Dalam bentuknya sekarang, pembaca bisa berkesimpulan bahwa agama kurang penting dalam memengaruhi kehidupan; agama tak bisa memberi kebahagiaan dan kesejahteraan, serta tidak bisa mencegah korupsi.
 
Mungkin bisa ditanyakan tentang besaran korelasi ketiga indeks yang ditampilkan itu dengan agama.

Karena ternyata ada negara yang menganggap agama tetap penting dan tingkat korupsinya rendah, seperti Singapura. Ini berarti korupsi dan kebagiaan tak mesti terkait dengan agama.

Atau, seperti yang disampaikan Denny JA, “moral publik di pemerintahan TIDAK ditentukan oleh banyak atau sedikitnya mereka yang meyakini agama. Tapi korupsi lebih ditentukan oleh manajemen modern” (h. 18).
 
Terkait temuan-temuan arkeologis mengenai kenabian dan juga biblical archeology, hal ini sudah menjadi kajian para mufassir dan intelektual muslim, termasuk Fazlur Rahman.

Rahman, misalnya membahas tentang apakah Alquran itu kitab sejarah atau kitab yang lebih merupakan tuntutan etika. Dia berkesimpulan bahwa Alquran bukan buku sejarah.
 
Beberapa terjemah Alquran dari Ahmadiyah, baik Lahore maupun Qadiani, juga menerjemahkan ulang cerita-cerita dalam Alquran yang seakan bertentangan dengan temuan ilmu pengetahuan.

Di antaranya terkait kisah Nabi Adam sebagai manusia pertama, Isra’ Mi’raj, keperawanan Maryam setelah melahirkan Nabi Isa.

Juga tafsir ulang atas kemampuan Nabi Sulaiman memindahkan istana Ratu Balqis dan berbicara dengan semut.

Juga tafsir baru atas tongkat Nabi Musa yang mampu membelah laut, dan tentang Nabi Isa yang diangkat hidup-hidup ke langit sebelum atau setelah–tergantung keyakinan keagamaan yang dianut—disalib hingga ia turun lagi ke bumi nanti sebelum Hari Kiamat.

Cerita-cerita seperti itu tak bisa diterima oleh nalar manusia dan karena itu beberapa rationalists muslim menerjemahkan ulang sehingga tak bertentangan dengan ilmu pengetahuan.

*
 
Sebagai catatan akhir, secara umum, buku ini berhasil memprovokasi kesadaran kita untuk berpikir kritis dan mempertanyakan kembali kondisi kita sebagai umat beragama.

Dan seperti keyakinan penulis buku, agama mungkin tak akan mati, tapi ia bisa saja bergeser fungsinya menjadi spiritualitas dan kekayaan kultural umat manusia.

Ini, di satu sisi, bisa berarti sebuah reduksi dari peran agama, tapi, di sisi lain, ini juga bisa dimaknai sebagai transendensi dari peran keagamaan.

Masa depan itu akan tergantung bagaimana umat beragama memaknai dan mengimplementasikan ajaran-ajaran agama yang diyakini.*

 000-

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait