Dr. Lia Istifhama, M.E.I., Aktivis dan Penulis
Sejarah mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan RI dikisahkan oleh banyak pihak. Hal ini berkenan dengan proses perjuangan yang sangat panjang dan tentunya melibatkan spirit juang segenap anak bangsa yang mendedikasikan diri mereka sebagai Pahlawan untuk masa depan generasi bangsa setelahnya.
Salah satu sumber yang tidak bisa dilewatkan saat kita mempelajari sejarah perjuangan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia adalah dengan membedah buku ‘Perjuangan RRI Surabaya’ yang diterbitkan oleh RRI Regional 1 Surabaya 1999 lalu. Buku setebal 174 halaman tersebut, berisikan berbagai dokumen penting yang menjadi saksi sejarah perjuangan mempertahankan Kemerdekaan.
Selain itu, juga terdapat beberapa pengakuan saksi sejarah dan untaian kronologis beberapa peristiwa yang terjadi di Surabaya. Sebuah kota di Indonesia yang menjadi momentum kulminasi perlawanan terhadap Sekutu dan Belanda yang ingin mengagalkan Proklamasi bansa sehingga Surabaya-lah yang memiliki julukan Kota Pahlawan.
Buku bercover foto prasasti peristiwa pembakaran Gedung studio RRI Surabaya tanggal 29 Oktober 1945 tersebut, lebih berkesan sebagai buku sejarah perjuangan untuk pertahanan Kemerdekaan bangsa ini, daripada sejarah RRI itu sendiri. Sekalipun, di awal tulisan, tetap dijelaskan cikal bakal RRI, yaitu bermula dari sejarah siaran radio di negeri ini yang saat itu dilakukan oleh N.V. Nirom tahun 1934.
Dipilihnya foto prasasti pengingat ‘peristiwa pembakaran Gedung studio RRI Surabaya’, bisa dipahami bahwa buku ini bertujuan ‘menyelamatkan sejarah’. Saat itu, tepat pada akhir Oktober 1945, pasukan Sekutu yang terdiri dari serdadu Gurkha (Nepal), datang ke kantor RRI dengan maksud merampasnya. ‘Arek-arek Suroboyo’ tidak bisa melakukan perlawanan mengingat jumlah pasukan dan persenjataan yang dimiliki Sekutu. Namun, jiwa juang tinggi tidak memupus strategi. Dan dengan keberanian kuat, arek-arek Suroboyo pun membakar gedung studio RRI yang mengakibatkan tewasnya pasukan Gurkha yang terjebak dalam gedung.
Secara sistematis, buku tersebut menjelaskan peristiwa yang terjadi setiap harinya. Sangat rapi dan detail. Sebagai contoh, diterangkan larangan Hosokyoku (organisasi penyiaran radio saat itu) untuk mengudara pada 19 Agustus 1945. Siaran radio baru diizinkan oleh Jakarta (pemerintah) pada 5 September 1945, itupun tidak terkait dengan pemberitaan bagaimana Indonesia setelah proklamasi Kemerdekaan. Buku ini pun secara detail menjelaskan setiap peristiwa sebelum terjadi perobekan bendera Belanda di sekitar hotel Yamato.
Secara jelas dan tegas menampilkan bukti dan saksi, buku tersebut bahkan memaparkan bahwa peritiwa perobekan bendera yang sangat ikonik, bukan terjadi tepat di Hotel Yamato, melainkan Gedung yang bersebelahan dengan hotel. Tepatnya, toko perusahaan ‘Toko Ywelier’ yang pada tingkat tiganya, berkibar bendera Belanda.
Dengan pejuang yang secara berani tanpa gentar sedikitpun adalah Soetahadi, operator RRI yang terstimulus semangat juang akan komando Bung Tomo agar ‘arek-arek Suroboyo’ menurunkan bendera merah putih biru milik Belanda. Saat itu, pak Soeto, sebutan akrabnya, menurunkan bendera merah putih biru, lantas menyobek bagian biru bendera tersebut dan memasukkan ke kantong bajunya. Kemudian bagian bendera yang menyisakan warna merah dan putih, ditarikkan ke atas untuk dapat berkibar kembali. Pak Soeto memekikkan tiga kali dengan lantang ucapan: “Merdeka, merdeka, merdeka!”
Tidak dapat ditampikkan, bahwa buku ini memiliki ‘kemampuan’ kuat untuk menjelaskan fakta sejarah secara otentik dan tegas, ketika banyak sumber lainnya tidak mampu menjelaskan sedetail itu. Buku ‘Perjuangan RRI Surabaya’ mampu mendeskripsikan runtutan peristiwa secara gamblang, yaitu dari tanggal kejadian, siapa saja yang terlibat, dan apa bagaimana peristiwa terjadi.
Bahkan secara cerdas, buku ini mampu merelevansikan setiap peristiwa dengan keterlibatan RRI di dalamnya. Sebagai contoh saat menjelaskan peristiwa Konperensi Meja Bundar (KMB), buku ini menunjukkan ‘chemistry’ antara peristiwa KMB dengan RRI Kediri. Sejarah sama dijelaskan tentang upaya Belanda ‘menghancurkan’ spirit juang para operator RRI hingga mereka harus pergi ke luar Surabaya, melintas berbagai tempat dan akhirnya bisa kembali mengudara di Surabaya.
Pengakuan terhadap RRI sebagai salah satu ‘lakon sejarah’ pertahanan Kemerdekaan bangsa, diakui banyak pihak. Diantaranya adalah Residen Sudirman yang pernah menyampaikan kalimat sanjungan pada ‘pejuang’ yang berada di kantor RRI: “Gebrakan pemuda radio Surabaya pantas kalau di tulis dengan tinta emas dalam sejarah”.
Kalimat tersebut disampaikan pada tanggal 27 September 1945. Dan pada tanggal yang sama, harian Suara Rakyat menerbitkan pemberitaan yang menyatakan bahwa RRI Surabaya adalah instansi yang pertama melakukan perebutan (Kemerdekaan) dari tangan Jepang.
‘Sangat fenomenal’, ungkapan yang sangat layak dilekatkan pada buku yang bukan hanya mampu menyajikan sejarah secara detail, namun juga beberapa naskah pidato bersejarah yang tentunya jarang terpublikasi saat ini. Diantaranya adalah naskah pidato Gubernur Soeryo yang disiarkan menjelang 10 Nopember 1945, tepat pukul pukul 21.00 dan pukul 22.45.
Pada akhirnya saya berkesimpulan, bahwa buku ini ‘wajib dipertahankan demi sejarah bangsa’. Sangat akan disayangkan jika ragam kisah dan saksi sejarah, hilang ditelan jaman. Anak-anak bangsa di berbagai generasi mendatang, patut mengetahui sejarah Kemerdekaan dan juga perjuangan mempertahankan Kemerdekaan bangsa ini. Tentu, hal ini sebagai bentuk ikhtiar agar setiap generasi bangsa mencintai negeri ini. Mencintai kedamaian dan tetap berusaha memberikan karya hebat demi bangsa ini.
Bangsa Indonesia harus terus Merdeka dan harus selalu memiliki anak bangsa yang memiliki spirit juang tinggi untuk negeri. “Jangan sampai anak-anak enggan belajar sejarah hanya karena sejarah dianggap sebagai masa lalu.”