Sorotan: Yousri Nur Raja Agam MH
PERINGATAN Hari Bela Negara (HBN) ke-71, tanggal 19 Desember 2019, “kabarnya” mendapat perhatian Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Tetapi, saat menjelang HBN 2019 ini, terasa sepi. Tidak ada gema. Mana gaungnya?
Kabarnya Menhan Prabowo Subianto ingin HBN 2018 ini, tidak saja menjadi bekal para kader bangsa di dalam negeri. Tetapi juga ingin memberikan pelatihan bela negara kepada para pekerja migran. Tujuannya agar saat berada di luar negeri, mereka menjadi duta bangsa Indonesia.
Pernyataan Prabowo itu pernah disampaikan setelah melakukan pembicaraan dengan Menteri Tenaga Kerja (Mennaker) Ida Fauziyah. Kemenhan dan Kemenaker sepakat memfasilitasi pelatihan bela negara bagi pekerja migran Indonesia, terutama terkait dengan pemahaman-pemahaman tentang Indonesia dan masalah nasionalisme.
Saat itu Prabowo menekankan bahwa setiap warga negara berhak dan wajib ikut dalam program bela negara. Konsep pertahanan rakyat semesta telah menjadi doktrin pertanahan yang dianut oleh bangsa ini. Itu adalah doktrin Indonesia selama ini. Indonesia tidak akan dikuasai negara lain jika seluruh rakyat menjadi komponen pertahanan negara.
Kita harus menyiapkan komponen pendukung dari seluruh rakyat Indonesia dari semua sektor apakah itu sektor petani, nelayan, sektor swasta, akademis, ormas dan parpol. Itu menjadi komponen pendukung pertahanan negara kita.
Tidak hanya itu, saat serah terima jabatan (sertijab) dari Ryamizard Ryacudu, Prabowo Subianto juga bertekad melanjutkan sejumlah program kerja yang telah dilakukan sejak 2014 dari bela negara hingga soal khilafah. Memang, tidak hanya program bela negara dan khilafah, namun sejumlah persoalan seperti ISIS harus diperhatikan demi mempertahankan kedaulatan Republik Indonesia.
Program bela negara membidik mahasiswa yang tergabung di resimen mahasiswa (menwa) sebagai sasaran utama, selain aparatur sipil negara (ASN). Dalam UU PSDN (Undang-Undang Pengelolaan Sumber Daya Nasional) untuk Pertahanan Negara sebagai komponen penting dalam bela negara. Generasi muda dari kalangan mahasiswa akan ditempatkan di komponen cadangan (komcad) dan menjadi aset nasional.
Nah, dari segala persiapan untuk Peringatan HBN 2019, juga layak pula ditelaah ke belakang, latar belakang lahirnya HBN itu. Sebab, generasi muda harus memahami dan menghayati sejarah Hari Bela Negara itu.
HBN ditetapkan pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Keputusan Presiden Nomor 28 Tahun 2006. Isinya adalah menerapkan 19 Desember 1948 sebagai Hari Bela Negara.
Maaf, ternyata peringatan HBN 2019 ini sangat “sepi publikasi dan pemberitaan”. Ucapan Prabowo selaku Menhan, belum ada gaung dan gemanya di Bumi Nusantara ini. Padahal, tanggal 19 Desember 2019, tinggal beberapa jam lagi.
Jangankan di daerah pelosok tanah air, di Pusat Pemerintahan di Jakarta dan ibukota provinsi di seluruh Indonesia saja, semangat juangnya belum terasa. Tiada pekik bela negara dan semboyan-semboyan peringatan yang seharusnya menggelegar. Menyentakkan raga memperingati perjuangan “mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia” yang saat itu dikangkangi Kolonial Belanda.
Kala itu Belanda mengumumkan Indonesia sudah bubar. Presiden Sukarno dan Wapres Moh.Hatta ditawan bersama pejabat tinggi negara. Ibukota negara yang ketika itu mengungsi di Jogjakarta dikuasai musuh. Untung berdiri PDRI (Pemerintah Darurat Republik Indonesia) di Bukittinggi, Sumatera Barat, yang “membela” keberadaan Negara Republik Indonesia.
Memang, HBN adalah untuk mengenang sejarah perjuangan PDRI. Waktu itu, Indonesia sudah merdeka, diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945. Saat delegasi Sekutu yang memenangkan Perang Dunia II datang ke Indonesia untuk melucuti senjata pasukan Jepang yang kalah perang, ternyata diikuti pasukan Belanda. Mereka ingin kembali menjajah dan tidak mengakui Indonesia yang sudah merdeka.
Untuk itu diadakanlah beberapa kali perundingan, di antaranya Perjanjian Renville. Tetapi Belanda mengingkari perjanjian itu. Jakarta sebagai ibukota Negara kita menjadi tidak aman dan terpaksa pindah ke Jogjakarta.
Pada 19 Desember 1948 pasukan Belanda menyerbu Jogjakarta.
Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh.Hatta, beserta beberapa pejabat Negara ikut ditangkap dan ditawan. Menghadapi situasi yang gawat itu, Presiden Soekarno yang sebelumnya memimpin sidang kabinet mengirim mandat membentuk pemerintahan darurat kepada Menteri Kemakmuran Syafrudin Prawiranegara yang sedang berada di Bukittinggi.
Bung Karno juga mengirim radiogram kepada Soedarsono di New Delhi, India, untuk membentuk pemerintahan dalam pengungsian. Bukittinggi ibukota PDRI, dikenal memiliki banyak sejarah perjuangan. Kota ini dikenal sebagai pusat perjuangan Kaum Padri yang dipimpin Imam Bonjol melawan Belanda.
Bahkan Jepang, yang menguasai Indonesia saat itu, menjadi Kota Bukittinggi sebagai pusat pengendalian pemerintahan militernya untuk kawasan Sumatera, Singapura, Malaya dan Thailand. Kota ini menjadi pangkalan komandan militer ke-25 Kempetai, pimpinan Mayor Jenderal Hirano Toyoji.
Syafrudin Prawiranegara bertindak cepat demi membela Negara Republik Indonesia yang sudah merdeka mendirikan PDRI. Syafrudin Prawiranegara, segera menyusun cabinet bersama Kolonel Hidayat dan Gubernur Sumatera Teuku Mohammad Hasan. Ternyata Belanda mengetahui, beberapa hari kemudian Kota Bukittinggi diserbu, dan pemerintahan berpindah-pindah ke pedalaman dan pegunungan di sekitar Bukittinggi.
Siaran radio dari Bukittinggi, dapat dimonitor di beberapa Negara, termasuk disiarulangkan oleh para petinggi Indonesia yang sedang berada di India. Akhirnya, PBB mengakui, Indonesia masih ada, tidak bubar seperti yang dinyatakan pihak Belanda.
Prabowo di awal menjabat Menhan, menekankan, apa yang dilakukan para pejuang dalam keadaan yang sangat kritis itu, itulah yang disebut “Bela Negara” dalam arti yang sesungghnya. Untuk itu, layak Prabowo selaku Menhan bertekad untuk meningkatkan aktivitas dan ragam acara dalam HBN tahun 2019 ini dan tahun-tahun selanjutnya. (?)