Oleh : Firman Syah Ali
MUI lahir pada tahun 70-an sebagai “cara daripada Soeharto” untuk mengkooptasi ormas-ormas islam. Pada waktu itu Soeharto bukan hanya membentuk MUI, tapi juga membentuk PPP untuk mengkooptasi partai-partai Islam, KNPI untuk mengkooptasi Ormas-ormas Kemasyarakatan Pemuda (OKP), KORPRI untuk mengkooptasi kaum buruh pemerintah, SPSI untuk mengkooptasi kaum buruh swasta dan banyak lagi lainnya.
Selama pemerintahan junta militer Orde Baru, MUI menjadi tukang stempel kebijakan rezim, sesuai dengan motif dibentuknya LSM plat merah ini oleh cendana. Tentu saja wadah kooptatif sejenis MUI pada waktu itu senasib dengan MUI, hanya jadi tukang stempel kebijakan-kebijakan “daripada Soeharto” di bidangnya masing-masing, yang KNPI di bidang kepemudaan, yang KORPRI di bidang kepegawaian dan lain-lainnya.
Begitu rezim praetorian Orde Baru runtuh pada tahun 1998, di mana penulis menjadi pelaku sejarah sebagai pimpinan salah satu kesatuan aksi saat itu, wadah-wadah kooptatif warisan rezim otoritarian ini menjadi residu yang seharusnya juga bubar bersamaan dengan bubarnya Orde Baru.
Tapi sudah menjadi nasib sejarah bangsa ini, tahun 1998 itu yang bubar hanya Soeharto, Orde Baru dengan segala wadah kooptatif bentukannya banyak yang belum bubar hingga saat ini, misalnya Golkar, PPP, MUI, KNPI, KORPRI, SPSI dan lain-lainnya. Korupsi Kolusi dan Nepotisme juga belum bubar, bahkan lebih parah daripada jaman Soeharto kata Mahfud MD.
Khusus MUI, sejak bubarnya Orde Baru, seringkali dijadikan alat ugal-ugalan politik oleh kelompok minoritas yang bergaya mayoritas. Pernyataan-pernyataan para pengurus MUI yang mengatasnamakan MUI sering bikin resah dan gaduh karena beraroma radikal. Terutama saat Tengku Zulkarnaen masih aktif sebagai Wakil Sekjen MUI, banyak sekali mengeluarkan statemen yang merugikan NKRI dan menguntungkan kelompok-kelompok anti NKRI.
Tentu saja sesekali MUI membuat klarifikasi bahwa pernyataan Tengku Zulkarnaen bukan atas nama MUI, namun tentu saja berita pernyataan MUI yang disampaikan oleh Tengku Zulkarnaen selalu lebih viral daripada klarifikasi MUI. Jaman sekarang, siapa yang lebih viral dia yang kuat.
Selain Tengku Zulkarnaen juga ada Anwar Abbas yang sering bikin statemen kontroversial. Wartawan sering menulis statemen Anwar Abbas tersebut sebagai statemen MUI. Ketika ada pengurus MUI lain mengklarifikasi bahwa itu hanya pernyataan Anwar Abbas pribadi, tetap saja kalah viral sama statemen Anwar Abbas sebagai MUI.
Belum hilang juga dalam ingatan kita betapa Bachtiar Nasir pernah berpetualang dengan kendaraan GNPF MUI, walaupun ada klarifikasi dari MUI bahwa GNPF MUI bukan bagian dari MUI namun tetap saja klarifikasi dari MUI kalah viral dibanding kesan berita bahwa GNPF MUI merupakan bagian dari MUI.
Tidak menutup kemungkinan di masa depan akan terus bermunculan petualang-petualang seperti Tengku Zulkarnaen, Anwar Abbas dan Bachtiar Nasir ini. Walaupun pimpinan MUI ulama moderat, tetap saja para pengurusnya yang kontra moderasi tampil ugal-ugalan dan oleh wartawan ditulis atas nama MUI. Oleh karena itu tidak salah juga jika saat ini muncul aspirasi warganet agar MUI dibubarkan.
Biarlah aspirasi umat islam disampaikan oleh Ormasnya masing-masing, yang nahdliyyin disampaikan oleh NU, yang muhammadiyyin disampaikan oleh Muhammadiyah, yang Washliyah biar disampaikan oleh Jamaah Al Washliyah dan sebagainya.
Manhaj dan Madzhab dalam islam memang sangat plural, mereka punya karakteristik masing-masing. Warna-warni perbedaan dalam islam ini sangat indah bahkan menjadi rahmat. Oleh karena itu tidak perlu diseragamkan dalam satu wadah yang wadah tersebut sangat rawan digunakan untuk ugal-ugalan politik kelompok minoritas.
Kita tidak ingin MUI hanya menjadi alat panjat sosial kelompok-kelompok minoritas yang mengaum laksana kelompok mayoritas. Mayoritas masyarakat muslim Indonesia yang berpikiran moderat tentu lebih bahagia jika MUI segera diakhiri saja.
*) Penulis adalah Koordinatir Pusat Nahdliyyin Madura Bergerak (NABRAK)