Oleh: Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang KelasI-A)
Selasa sore hari 9 Agustus 2022 menjelang pengumuman Kapolri itu, boleh jadi merupakan saat menegangkan sekaligus menit-menit panjang bagi Sang Jenderal FS. Masyarakat pun rasanya sudah tidak tidak sabar menantikan siapa tersangka baru yang akan disebut oleh orang nomor satu di Korp Bhayangkara itu. Akan tetapi, ketika penyandang bintang empat itu dengan tegas menyebut FS yang tidak lain adalah orang nomor satu di Devisi Propam sendiri sebagai tersangka tambahan, banyak pihak lega. Pihak dimaksud yang sudah pasti, pengacara dan keluarga almarhum dan masyarakat pada umumnya. Pihak Polri pun mungkin juga lega kerena bisa mengambil putusan berani yang ternyata mendapat dukungan luas. Sebelumnya memang banyak orang menduga peran sang jenderal FS dalam kasus kematian tidak wajar Sang Brigadir J, tetapi siapa menyangka Polri bisa jujur sekaligus berani mengungkapnya. Apakah itu karena perintah dan dukungan presiden, tekanan masyarakat, atau keluarga korban, bukan soal. Yang penting kini masyarakat bisa menyaksikan bahwa Polri masih ada. Dan, dalam konteks agama kejujuran dan keberanian Polri ini jelas mirip dengan yang dideklarasikan baginda rasulullah SAW: “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti aku (sendiri) yang akan memotong tanagnnya” (lau anna fatimata binta Muhammadin saraqat, laqatha’tu yadaha”).
Bagi Sang Jenderal penentuan sebagai tersangka dalam kasus yang sangat menghebohkan ini tentu merupakan kemalangan sekaligus musibah paling besar dalam sejarah hidupnya. Apalagi, pasal yang disangkakan dan ancaman hukumannya juga bukan main-main. Pengabdian kepada negara yang berbuah karir cemerlang itu kini harus hancur dan bahkan seperti hilang tak berbekas. Perjuangannya menapaki posisi strategis di korp kebanggaannya, seolah seperti panas setahun dihapus dengan hujan sehari. Istri dan anak serta keluarga besarnya juga harus ikut menanggung beban akibat perilakunya yang mungkin tidak pernah terbayangkan sedikit pun sebelumnya.
Dengan posisinya sekarang, kini masyarakat pun telah mengumpat, menghardik, memaki atau menujukkan kebencian lain sekaligus iba kepada sang jenderal malang itu. Orang nomor satu di devisi penegak aturan justru menjadi orang pertama yang menjadi contoh melanggar aturan. Orang yang biasa memerintahkan menindak dan menghukum oknum polisi nakal, justru menerima tindakan dan hukuman. Petuah-petuah yang disampaikan kepada bawahan, kini ternyata hanya retorika jabatan yang tidak tercermin dalam perilakunya sendiri. Jejak digital petuah-petuahnya—yang sering diulang-ulang oleh tayangan media—tentu juga akan menambah malu sekaligus hukuman moral yang berat bagi dirinya pada hari-hari berikutnya. Kecemerlangan karir sebuah profesi, ternyata tidak selalu berujung manis bagi diri dan keluarga.
Lantas pelajaran apa yang dapat kita petik dari pengalaman sang jenderal malang ini?
Kita juga boleh geram atau semacamnya kepada jenderal ‘cemerlang’ ini. Akan tetapi, kita juga perlu sadar bahwa yang demikian merupakan suratan takdir dan bahkan pasti sudah menjadi rencana Tuhan yang pasti ada hikmah. Hikmah inilah yang menuntut kita untuk mengambil pelajaran darinya. Setidaknya ada 4 (empat) hikmah yang dapat kita petik dari kasus yang menimpa sang jenderal kita ini.
Pertama, perbuatan menghilangkan nyawa cepat atau lambat pasti akan segera ditemukan pelakunya. Sepertinya, teks-teks kitab suci (Al Qur’an) juga telah mengabadikannya. Dalam Al Quran hal demikian telah diabadikan dalam sebagian surat Al Baqarah, yaitu ketika ketika ada sekelompok orang kebingungan mencari pelaku pada kasus pembunuhan yang terjadi. Pembunuhan misterius ini pada akhirnya terungkap dengan cara yang waktu itu sangat tidak masuk akal. Berawal dari perintah nabi Musa a.s. agar orang-orang menyembelih sekor sapi betina, kemudian ditemukan dengan mudah siapa pembunuhnya. Ternyata, pembunuhnya ialah orang-orang dekat sekitar korban sendiri.
Ketika terjadi beristiwa berdarah era tahun 65-an, para 7 jenderal yang dibunuh dengan cara tidak wajar ini pun dengan mudah ditemukan lokasi pembuangannya meskipun menurut para pelakunya sudah disembunyikan dengan rapi. Pembunuhnya pun dengan cepat di adili. Masih era yang sama, Ketika masyarakat terjadi chaos yang diwarnai pembantaian antar sesama, para pelakunya pun seolah menanggung akibat perbuatan, meskipun secara formal tidak pernah diadili. Trauma ketika harus menghabisi sesama manusia, seolah menghantui sepanjang hidupnya.
Dalam media sering kita saksikan, mayat yang telah dimutilasi oleh pembunuhnya telah dibuang ditempat yang ‘aman’, ternyata polisi hanya memerlukan beberapa hari saja menemukan pembunuhnya, setelah mendapat laporan masyarakat. Sepertinya ada tagan-tangan gaib, yang menuntun aparat untuk menemukan pembunuhnya. Atau, nyawa yang dirampas dengan tidak benar itu akan mencari sendiri siapa perampasnya.
Kedua, tidak ada kejahatan yang sempurna ( no crime is perfect). Doktrin ini sudah sangat terkenal di dunia kriminologi. Doktrin ini seolah mengingatkan kita bahwa jangnlah anda berbuat kejahatan apapun, karena pasti akan ketahuan juga. Seorang yang melakukan kejahatan betatapun rapinya, pasti akan ketahuan. Polisi tidak saja mempunyai segenap cara menemukan kelemahan itu, teapi bahkan dengan mudah menangkap anda. Kasus kematian sang Brigadir tampak sudah rapi dan nyaris sempurna cara membungkusnya. Tetapi di balik kerapian itu justru dengan mudah menimbulkan kecurigaan masyarakat awam sekalipun. Berawal dari kejanggalan dan dukungan media itu, pada akhirnya dengan cepat ditemukan tersangkanya.
Ketiga, kebenaran pada akhirnya akan menemukan jalannya (the truth will find its own way). Pada pokoknya kalimat bijak ini mempunyai penjelasan bahwa kebenaran suatu saat akan tampak sebagai kebenaran yang nyata meskipun pada awalnya terlihat samar atau bahkan mungkin sama sekali tidak terlihat akibat dengan sengaja disembunyikan. Akibat suatu rekayasa, sering kebenaran yang sudah jelas terlihat, samar atau bahkan tidak terlihat sama sekali.
Penampakan kebenaran ini sering dumulai dari terkuaknya bau busuknya sebuah kejahatan. Sering banyak orang mengira kejahatan itu tampak seperti kebaikan. Yang demikian bisa terjadi akibat sebuah rekayasa yang biasanya menyebabkan suatu kajahatan tidak terlihat sama sekali. Banyak orang lupa bahwa sepandai-pandai membungkus bangkai, suatu saat akan tercium juga baunya. Sebaliknya tidak perlu terlalu cemas dengan kebenaran yang tertutup. Seiring dengan terkuaknya bau busuknya kejahatan akan dengan sendirinya kebaikan itu tercium harumnya. Bau harum ini akan keluar sering dengan penampakan bau bangkai kejahatan. Orang tua kita (Jawa) juga sering menyampaikan petuah agar kita tidak galau menghadapi kemunafikan dengan kata bijak “becik ketitik, ala ketoro”.
Keempat, bahwa musibah apapun bisa menimpa setiap manusia. Kita mungkin geram, marah atau sikap benci lainnya. Akan tetapi perlu kita ingat bahwa bagi pelaku tentu juga merupakan musibah luar biasa. Meskipun ibarat nasi sudah menjadi bubur, nasib yang kini menimpa tentu tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Sebagaimana semboyan Polri, impian sang Jenderal itu tentu juga “pengabdian terbaik” kepada bangsa dan negara. Bahkan, dengan jabatan yang dimiliki sekarang, tentu sah-sah saja kalau dia ingin menjadi orang nomor satu di tubuh Polri. Akan tetapi, nasib yang tidak pernah dia kehendaki berkata lain. Dalam konteks demikian, saat-saat dalam kesendirinnya dan menghadapi hari-hari penjang berikutnya, pasti beliau mengalami penyesalan yang luar biasa.
Sebagai sesama manusia yang sama-sama tidak mengetahui kejelasan nasib di masa mendaatang, kita tidak perlu larut dalam eoforia umpatan kepada tersangka. Sebab, hal-hal demikian dalam bentuk yang lain sangat mungkin akan menimpa kita atau keluarga kita. Kebanyakan orang, ketika ada orang lain mendapat ganjaran musibah karena perbuatan jahatnya benyak orang ‘nyukurne”. Padahal mereka tidak tahu suatu saat hal serupa akan menimpanya juga. Mengenai hal ini rasulullah SAW pernah mengingatkan kita: “Barang siapa mencela orang lain karena perbuata jeleknya, sebelum mati dia akan (dibalas) dengan melakukan kejelekan serupa”. Peringatan rasulullah ini sejatinya membawa pesan, bahwa manusia perlu rendah hati dengan siapa saja, terhadap pelaku kejahatan sekalipun. Al Ghazali, dalam Kitab Bidayatul Hidayah juga telah mengingatkan, agar kita selalu rendah hati kepada orang lain. Bahkan, terhadap orang kafir sekalipun. Alasannya, kita tidak pernah mengetahui nasib di penghujung hidup kita: baikkah atau burukkah?
Semoga menjadi bahan renungan.