Dinda (bukan nama sebenarnya), menyadari bahwa semakin dewasa hidup yang ia jalani semakin berat. Ya, Dinda masih berusia 18 tahun kala itu.
“kamu kuat sekali ya din, anak seumuran kamu biasanya gampang sedih loh, tapi tadi saya tidak melihat kamu menangis sedikitpun” ucap seorang bapak tua yang menghampiri Dinda.
“hehe iya pak”
Tanpa disadari, air mata Dinda mengalir begitu saja, ia sudah tidak bisa lagi menahan kepedihan ini sendirian, Dinda memang selalu terlihat tegar jika berada di depan teman-temannya, namun akibat ucapan si bapak barusan, Dinda menjadi orang yang tampak menyedihkan.
“nangis aja din, tidak apa-apa jika bersedih, nangis aja sepuas kamu, temen-temen kamu udah pulang semua ko”
Seakan tau perasaan Dinda, si bapak mencoba untuk menyemangati Dinda yang sedang bersedih, ya, memang betul, Dinda adalah sosok yang selalu bahagia, bahkan teman-temannya sendiripun bingung kenapa Dinda tidak pernah kelihatan sedih.
Dinda adalah anak yang ceria, periang dan mudah bergaul, ia sangat dicintai di keluarganya, Dinda juga jarang mengeluh, Dinda melanjutkan pendidikannya di salah satu Universitas Swasta di Jakarta. Dinda sangat bersyukur bisa berkuliah di Universitas yang paling bergengsi di Jakarta, ya walaupun Swasta.
Malam itu, pukul 19:00 malam, Dinda sedang mengerjakan tugas di kamarnya, seluruh keluarga sibuk melakukan aktivitasnya masing-masing, tidak ada yang aneh malam itu, hingga pada akhirnya terdengar suara dari dapur rumah Dinda, “kebakaraaan” teriak seorang wanita yang merupakan kaka kandung Dinda, Nurul (bukan nama sebenarnya) namanya. “kebakaraaaan kebakarann” lagi-lagi suara itu terdengar jelas, sontak semua orang yang berada di dalam rumah menghampiri sumber suara.
Dinda yang kaget saat mendengar kata “kebakaran” langsung bergegas untuk melihat keadaan yang sebenarnya. Ya, ternyata benar kebakaran, Dinda melihat ada api yang muncul dari atas platform rumahnya. Api semakin besar, seluruh keluarga panik.
“Din, cepett telfonn pemadam” ucap Ibu
“baikk”
Dinda yang sangat panik tidak tahu harus menghubungi nomor yang mana, ia akhirnya menelfon sahabatnya untuk meminta bantuan.
“haloo, tolongg hubungii pemadammm, rumah guaa kebakaran”
“seriusss lo?” ucap sahabat Dinda yang awalnya tidak percaya dengan perkataan Dinda.
“iyaa seriusss, cepett tolongg panggilin mobil pemadam yaa”
“okee gua otw ke tempat pemadam kebakaran, tunggu di situ, gua bakal datang secepet mungkin” ucap sahabatnya menutup telfon.
Api semakin membara, si jago merah terlihat lahap memakan mangsanya, 10 rumah habis terbakar, termasuk rumah Dinda. Suara sirine mobil pemadam kebakaran membuat suasana semakin menegangkan, ambulan mulai berdatangan.
Tidak banyak barang yang sempat Dinda selamatkan, tapi ia bersyukur keluarga dan kedua kucing peliharaanya masih selamat, tidak ada luka sedikitpun. Teman-teman Dinda satu per satu mulai berdatangan, membawakan Dinda bantuan berupa pakaian dan makanan yang Dinda butuhkan.
“gapapa ya, Din” ucap Ibu.
Ibu adalah sosok yang sangat kuat bagi Dinda, Ibu tidak menunjukan kesedihannya kala itu, Ibu selalu berkata “gapapa, sudah jalan Tuhan”, tidak bisa dipungkiri, Dinda tahu betul jika Ibunya sangat sedih, tapi Ibu hanya menahan kesedihannya sendirian. Ibu adalah penyemangat Dinda agar tetap tegar, jika Dinda bersedih pasti Ibu akan lebih sedih melihat anak kesayangannya murung. Maka dari itu, Dinda harus selalu terlihat baik-baik saja.
“Din, yang sabar ya”
“kalau ada apa-apa bilang aja, ya, Din”
“Din, semangat”
Kalimat itu menjadi tidak asing lagi bagi Dinda, semua orang yang menemuinya berkata seperti itu.
Akhirnya api berhasil dipadamkan, Dinda menghampiri rumahnya yang sudah rata dengan tanah, tidak ada yang tersisa, semuanya habis terbakar, bahkan sepeda kesayangan Dinda ikut lenyap dilahap si jago merah, surat-surat berharga juga lenyap. Dinda melihat kesekeliling, seakan tak percaya hal ini menimpanya, “Tuhan, kenapa harus aku yang merasakan musibah ini?” batin Dinda.
Setelah api mulai padam, Dinda menuju rumah sementara yang akan dia tempati entah sampai kapan, Dinda dan seluruh keluarganya mulai memindahkan barang yang sempat diselamatkan, ya, Ayah, Ibu dan kakanya saling bergotong royong untuk membereskan barang yang tersisa.
Rumah yang ditempati Dinda setelah kejadian kebakaran bukanlah rumah yang mewah, dibilang sederhana juga tidak, karena hanya ada satu kamar, di sana lah Dinda dan ketiga orang keluarganya tinggal, satu kamar kecil untuk empat orang. Dinda yang biasa tidur di kamarnya sendiri, sekarang ia harus berbagi ruang dengan Ayah, Ibu dan kakanya, lagi-lagi Dinda tidak boleh terlihat sedih.
Menjadi dewasa memang rumit, kita tidak pernah tahu hal apa yang akan terjadi di masa depan, semua takdir sudah digariskan Tuhan, Dinda percaya, dibalik kejadian yang ia alami pasti ada hal indah yang sedang menantinya.
Pagi itu, Dinda terbangun, rasanya tidak percaya jika kejadian semalam menimpanya, Dinda memikirkan bagaimana kelanjutan pendidikannya nanti? Apa aku harus berhenti kuliah saja dan membantu memulihkan ekonomi keluarga?. Ide yang bagus, Dinda terus memikirkan hal itu, kuliah dan pakaian yang biasa ia kenakan membuatnya termenung, “teman teman akan berkata apa nanti melihat pakaianku yang kumuh”. Ya, memang anak seusia Dinda sangat memperhatikan penampilan.
Setelah dipikirkan matang-matang, akhirnya Dinda mengambil keputusan yang cukup berat. “Bu, Dinda berhenti kuliah aja ya, Dinda mau kerja aja buat bantu Ibu dan Ayah”. Lantas Ibu menolaknya dengan tegas “Tidak boleh, kamu harus kuliah, Ibu dan Ayah masih sanggup membayar uang kuliahmu”. Bohong, Ibu bohong, Dinda tahu Ibu sedang bohong, banyak keperluan yang harus dibeli, sisa uang yang ada pasti tidak cukup untuk membayar uang kuliah Dinda yang terbilang cukup mahal.
Akhirnya setelah bernegosiasi panjang, Dinda tidak melanjutkan kuliahnya di Universitas Swasta tersebut. Lagi-lagi Dinda harus merelakan semuanya, walaupun berat tapi Dinda harus tegar. Rasanya sulit meninggalkan teman-teman di sana, Dinda sudah terlanjur nyaman dengan lingkungan kampusnya, namun Dinda harus berani untuk mengambil keputusan, mungkin ini adalah jalan terbaik yang sudah ditentukan Tuhan.
“Din, walaupun kamu tidak melanjutkan kuliah di sana lagi, tapi kamu harus coba daftar PTN ya, nanti kamu harus ikut SBMPTN” ucap Ibu.
Dinda yang tidak pernah patah semangat untuk tetap berkuliah, mencoba mendaftar SBMPTN, menjelang ujian Dinda belajar dengan sungguh-sungguh, ia harus masuk kampus negeri untuk meringankan beban keluarga karena biaya kuliah di Perguruan Tinggi Negeri tidaklah begitu mahal jika dibandingkan dengan Perguruan Tinggi Swasta.
Waktu ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri pun tiba, Dinda berangkat menuju lokasi ujian diantarkan oleh sang Ayah. “doain Dinda ya, yah” ucap Dinda sebelum memasuki ruang ujian. Ini adalah harapan terakhir Dinda, jika ia gagal, Dinda tidak akan melanjukan kuliahnya, masa depan Dinda ada di tangannya sendiri, Dinda tidak akan mengecewakan kedua orang tuanya.
Pengumuman ujian akan diumumkan sebentar lagi, tegang, pasti. Dinda hanya bisa berdoa selama menunggu pengumuman, akhirnya jam sudah menentukan pukul 15:00 sore. Dinda mulai membuka web pengumuman SBMPTN, “bismillah” ucap Dinda, Dinda memasukan nomor ujian dan tanggal lahir untuk mengetahui apakah dia lulus atau tidak.
“ALHAMDULILLAH LULUSSS, BU DINDA LULUS BUU” ucap Dinda bahagia sambil menghampiri sang Ibu.
Tangis sudah tidak bisa ditahan lagi, Dinda benar-benar terharu dengan hasil yang ia dapatkan, Ibu tersenyum sambil sesekali menghapus air mata yang jatuh di pipinya, Ibu terlihat sangat bahagia saat mengetahui anaknya lulus masuk PTN.
Akhirnya Dinda diterima oleh salah satu Perguruan Tinggi Negeri di Depok, ya, Politeknik Negeri Jakarta. Dinda memulai kehidupan kuliahnya lagi dari nol, di Depok, Dinda cepat sekali beradaptasi dengan lingkungan kampus barunya, Dinda banyak bertemu dengan orang-orang baru, teman-teman baik yang sudah ia anggap seperti keluarganya sendiri. Hidup yang Dinda jalani sebelumnya memang tidak sesuai dengan keinginan, bahkan tidak pernah sedikitpun terlintas dibenak Dinda jika ia akan kehilangan semua benda yang dimilikinya, hidup ini memang penuh dengan kejutan.
Mungkin kalian pernah mendengar kata-kata “pengalaman adalah guru terbaik”. Apakah makna dari kata-kata tersebut? Terkadang orang hanya mengatakan sesuatu tanpa mengetahui makna sebenarnya, kini semakin dewasa kita sadar maksud dari kata-kata pengalaman tersebut.
Jika kalian pernah mengalami kegagalan dalam hidup, janganlah berpikir bahwa kegagalan itu tak memberikan apa-apa dalam hidup ini. Hidup yang kita lewati mungkin tidak selalu sesuai dengan keinginan, kegagalan hidup yang pernah kita alami akan memberikan kita pelajaran yang berharga, dan dari pelajaran itulah kita dapat menjadi dewasa seutuhnya.
Untsi Khairi, mahasiswa jurnalistik, Politeknik Negeri Jakarta