Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas IA)
Bagi kebanyakan orang, penghujung ramadhan selalu terasa penuh gegap gempita. Berbagai aktivitas dilakukan untuk mengakhiri ibadah ramadhan sekaligus menyambut lebaran. Keinginan membuat suasana lebaran sebagai hari bahagia membuat suasana mall atau toko swalayan selalu penuh sesak.Upaya mempercantik hidangan atau urusan tata boga lainnya, membuat ibu-ibu rela membuat antrean panjang di tukang selep daging atau berpanas-panas ria di depan oven kue. Upaya memperindah rumah juga sering harus membuat bapak-bapak ikut berjejal di toko bangunan, sekedar mengantre mendapatkan warna cat yang diperlukan dan asesoris rumah lainnya. Susana gembira ketika memilih baju-baju di mall atau toko baju lainnya, pada momen lain, juga tidak jarang diwarnai insiden-insiden kacil, seperti ibu-ibu yang ‘mengomel’ karena merasa persiapan penyambutan hari lebaran belum dianggap sesuai standar atau sekedar kecapekan membuat kue. Bapak-bapak pun tidak jarang sering kurang dapat menahan emosi karena mendapat ‘serangan’ istri dengan membuat reaksi ‘pedas’ sebagai penangkisnya.
Fenomena di atas hanyalah sekelumit ilustrasi, bagaimana tradisi menyambut lebaran. Bagi sebagian kita, persiapan menyambut lebaran sering menyisakan cerita unik dalam sebuah keluarga, dari yang lucu, senang, bahkan berupa tragedi-tragedi kecil. Dalam suasana silatarurahmi, baik antar keluarga atau tetangga, momen-momen menyambut lebaran itu tidak jarang menjadi bahan gunjingan lebaran. Pernik-pernik peristiwa seputar mempersiapkan hari lebaran justru semakin melengkapi cerita lucu sebagai bumbu keakraban suasana silaturahmi.
Dalam KBBI kata “lebaran” diartikan sebagai hari raya ummat islam yang jatuh pada setiap tanggal 1 Syawal setelah menjalani ibadah puasa di bulan ramadhan. Menurut MA Salamun dalam salah satu artikelnya pada tahun 1954 sebagaimana dimuat dalam “Majalah Sunda” istilah lebaran sebenarnya berasal dari agama Hindu. Menurutnya kepopulren istilah tersebut di kalangan Umat Islam kemungkinan diperkenalkan oleh para wali dengan tujuan agar orang-orang Hindu yang baru masuk Islam tidak merasa asing dengan agama barunya. (antara news.com,3 Mei 2022).
Kita memang boleh tidak sependpat dengan teori tersebut. Akan tetapi yang pasti setiap disebut lebaran yang dimaksud adalah Idul Fitri yang telah dirayakan oleh ummat Islam sejak tahun ke-2 Hijriah oleh rasulullah SAW. Umat Islam merayakan sebuah momen hari raya ini dengan menyebutnya sebagai sebagai “hari kemenangan”. Tapi kemenangan atas apa?
Secara historis hari Idul Fitri tidak bisa lepas dari dua peristiwa. Pertama, saat itu bertepatan dengan kemenangan kaum muslimin dalam perang Badar. Kemenangan itu menjadi sejarah, bahwa di balik perayaan Idul Fitri ada histeria dan perjuangan para sahabat untuk meraih kemenangan dan ikhtiar agar umat Islam yang baru hijrah menjadi jaya. Oleh karenanya, setelah kemenangan perang diraih umat Islam, umat Islam secara tidak langsung merayakan dua kemenangan, yaitu kemenangan atas dirinya yang telah berhasil berpuasa selama satu bulan, dan kemenangan dalam Perang Badar. Dengan demikian, ketika idul fitri sering disebut sebagai hari kemenangan, sebenarnya dikaitkan dengan konteks peristiwa yang demikian. Itulah sebabnya, mengapa kalimat takbir yang sering kita dengar via toa masjid/musala, sering diselingi dengan kalimat heroik: “…..mukhlisina lahud din, walau karihal kafirun….sadaqa wa’dah wanasara abdah, wa a’aza jundah wahazamal ahzaba wahdah.”
Kedua, sebelum Islam datang, kaum Arab jahiliyah mempunyai dua hari raya (Nairuz dan Mihrojan) yang dirayakan dengan sangat meriah. Dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa asal-usul disyariatkannya hari raya ini juga tidak lepas dari tradisi orang jahiliyah yang mempunyai kebiasaan khusus untuk bermain (dengan berpesta pora) dalam dua hari itu. Kebiasaan yang sudah melembaga itu oleh rasulullah kemudian diganti menjadi hari yang lebih baik, dan perayaan yang lebih baik pula, yaitu “Idul Fitri” dan “Idul Adha”. Tradisi minum khamer dan euforia dalam bentuk kemaksiyatan diganti dengan berbagai kegembiraan tetapi tetap mengacu kepada syariat. Modifikasi budaya berhari raya ini tampaknya juga diikuti oleh para walisongo ketika budaya lokal yang bernuansa kemusrikan harus berhadapan dengan ajaran Islam.
Tempaan Ramadhan
Idul Fitri datang ketika umat Islam sudah menjalankan ibadah wajib puasa ramadhan selama satu bulan penuh. Sepanjang bulan suci tersebut, kaum muslimin menahan lapar, haus, dan hal-hal lain yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga matahari terbenam. Secara bahasa, as-shaum (puasa) memang sama artinya dengan imsak, yang artinya menahan. Jangankan yang diharamkan, yang dihalalkan pun selama puasa tidak dilakukannya, seperti makan dan minum serta berhubungan seks di siang hari. Dengan demikian ramadhan merupakan arena kaum muslimin berlatih menahan diri dari segala macam godaan material. Godaan materi ini pula sering membuat orang yang sedang puasa, tidak saja tidak lupa saat menghadapi kematian, tetapi yang lebih penting, tidak lupa tujuan utama diciptakan. Apa itu? Tidak lain menyembah Allah SWT.
Proses latihan selama ramadhan tersebut, diwujudkan dalam bentuk larangan terhadap hal-hal yang sebelumnya halal, seperti makan dan minum. Inilah proses penempaan diri. Targetnya: “Bila seseorang menahan diri dari yang halal-halal saja mampu, mestinya akan lebih mampu menahan diri yang haram-haram.” Selanjutnya, layaknya siswa sekolah yang mendapatkan rapor selepas melewati masa-masa sulit menghadapi ujian, demikian pula orang-orang yang berpuasa. Setelah melewati momen-momen penting sebulan penuh, umat Islam pun berhak mendapatkan hasilnya. Apa hasil itu? Jawabannya tak lain adalah predikat “takwa”, sebagaimana janji Allah di Al-Baqarah ayat 183: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Dalam hadits: “Barang siapa berpusa ramadhan dengan landasan iman dan berharap ridha Allah akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”
Takwa merupakan standar paling tinggi bagi tingkat kemuliaan manusia. Seberapa tinggi derajat mulia manusia tergantung pada seberapa tinggi takwanya ( “Inna akramakum ‘indallâhi atqâkum”). Dalam konteks puasa ramadhan, tentu takwa dan ampunan tak bisa digapai dengan sebatas menahan lapar dan dahaga. Sebab, pada kesempatan lain, rasulullah juga pernah bersabda: “Banyak orang yang berpuasa, namun ia tak mendapatkan apa pun dari puasanya selain rasa lapar saja.” (HR Imam Ahmad). Dengan demikian, pahala puasa yang spekulatif di satu sisi dan jaminan ampunan bagi yang berpuasa di sisi lain, sejatinya mendorong kita untuk bersikap “khauf” dan “raja”.
Menurut Ustadz Arifin Ilham, secara bahasa, khauf adalah lawan kata al-amnu. Al-Amnu adalah rasa aman, dan khauf adalah rasa takut. Khauf adalah perasaan takut terhadap siksa dan keadaan yang tidak mengenakkan karena kemaksiatan dan dosa yang telah diperbuat. Sedangkan raja’ adalah perasaan penuh harap akan surga dan berbagai kenikmatan lainnya, sebagai buah dari ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dalam konteks berpuasa ini khauf bisa dimaknai sebagai sikap untuk “tidak terlalu percaya diri”, bahwa puasa yang kita lakukan merupakan jaminan penebus semua dosa atau bahkan jaminan memperoleh predikat takwa. Atau, jangan-jangan, akibat ulah kita selama puasa, puasa yang kita justru hanya menjadi sebuah aktivitas ibadah yang sia-sia di hadapan Allah SWT. Sedangkan, raja dalam konteks puasa kita, kita implementasikan dalam bentuk sikap optimis, bahwa Allah dengan segenap sifat kemurahan-Nya tentu tidak sedikitpun menyia-nyiakan pengabdian hamba-Nya seberat “dzarroh” pun.
“Khauf” dan “raja” dalam diri perlu kita beri tempat secara seimbang. Hujjatul Islam, al-Ghazali ketika ditanya tentang mana yang lebih utama, khauf atau raja? Beliau pun menjawab dengan balik bertanya, manakah yang lebih enak, roti atau air?. Dengan jawaban itu beliau hendak mengatakan, bahwa keduanya harus kita tempatkan sesuai konteknya. Saat kita lapar tentu sepotong roti akan lebih enak karena sangat kita perlukan tetapi saat kita dahaga seteguk air tentu akan terasa nikmat daripada sepotong roti. Tetapi, ketika rasa lapar dan haus hadir bersamaan dan kedua rasa ini sama-sama besar porsinya, maka roti dan air perlu diasupkan bersama-sama.
Dalam konteks individual khauf dan raja perlu kita pelihara karena dapat mendukung kualitas keberagamaan kita. Setidaknya ada dua hikmah mengapa demikian. Pertama, sebagai proteksi diri agar tidak mudah terjerembab ke jurang kemaksiyatan secara terus-menerus. Kedua, agar terhindar dari sikap ujub atau berbangga diri apalagi sombong sekalipun dalam zona ketaatan.”Jangan kalian merasa paling suci, (karena) Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang paling bertakwa”, begitu Allah mewanti-wanti kita. (vide An Najem ayat 32). Dalam konteks sosial, dua sikap batin ini perlu kita pelihara terus juga dalam rangka agar jangan sampai kita mudah menghakimi perilaku orang lain. Manusia sama sekali belum tentu tepat menilai perbuatan mereka sendiri, tetapi Allah selalu tidak pernah meleset penilaiannya. Karena Allah Maha mengatahui betapa pun tersembunyi.
Pada akhirnya, perlu kita tanamkan dalam diri kita, Allah selalu punya cara tersendiri dalam menilai setiap perbuatan hamba-Nya. Kita memang tidak dibebanarkan terlalu optimis dengan kebaikan yang kita lakukan. Kita sering terjebak dengan suatu kebaikan dan oleh karena kita itu kita pun larut dengan kebaikan itu. Persepsi kita dengan kebaikan itu membuat kita juga sering apriori bahwa di balik kebaikan yang kita tekuni itu ada kebaikan yang lebih bernilai menurut pandangan Allah. Kisah Juraij—sebagaiamana diriwayatkan Imam Muslim dalam hadits sahihnya– yang ahli ibadah itu (al-abid) tentu patut menjadi pelajaran untuk kita jadikan bahan renungan. Dia lebih mementingkan ibadahnya daripada sekedar memenuhi panggilan ibunya. Ketika beliau terjebak dengan suatu kebaikan yang dianggapnya lebih prestis, melupakan kabaikan lain (memenuhi panggilan ibunya) justru membuatnya mendatangkan ‘hukuman’ Allah. Ibadah yang semula baik dan oleh karenanya dia lakukan dengan penuh kesungguhan, akibat melupakan kebaikan yang lebih harus diprioritaskan, membuat ibadah yang dilakukan dinilai oleh Allah sebagai rutinitas yang justru mendatangkan murka Allah SWT. Dalam Kitab Bidayatul Hidayah karya Al-Ghazali, juga dapat kita jumpai, bagaimana dramatis dan tragisnya sebuah amal kebaikan untuk bisa sampai diterima Allah SWT. Intinya, yang disangka sebuah kebaikan yang dilakukan dengan optimisme tinggi pada akhirnya hanya menuai murka Allah SWT.
Akan tetapi, kita juga tidak dibenarkan terlalu pesimis. Dalam praktik sebenarnya kita sering dihadapkan kepada kebaikan-kebaikan, tetapi tidak kita lakukan, karena pada umumnya banyak orang menganggapnya sepele. Atau, bahasa kekiniannya, “tidak bernilai popularitas”. Dalam hadits juga dapat kita jumpai, amalan yang terlihat sepele yang dilakukan dengan tulus ternyata juga bisa mengantarkan seseorang menjadi ‘kekasih’ Allah. Dalam salah satu hadits rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Al Bukhary dari Abu Hurairah r.a, seorang pelacur diampuni dosanya hanya karena meberikan minum anjing yang hampir mati karena sangat kehausan. Kabaikan yang yang tak lazim yang dilakukan wanita–dan karenanya sering disepelekan oleh banyak orang—itu, justru dapat ‘menyita’ perhatian Allah dan membuat-Nya ridha kepadanya. Benar kata Gus Bahak (mengutip kata kiai-kiai Jawa): “(Sebenarnya) banyak cara untuk bisa menjadi wali (dekat dengan Allah)”. Mengapa demikian? Ketika seseorang melakukan kebaikan-kebaikan sekecil apapun, tanpa pamrih siapapun, sejatinya hanya ketakwaanyalah yang menuntunnya. Wallahu a’lam.