Menjadikan Hari Santri Sebagai Hari Kita Semua

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Tinggi Agama Jayapura)

Hari Santri kali ini diperingati dalam suasana yang sangat istimewa. Setidaknya ada 2 alasan mengapa demikian. Pertama, karena peringatan kali ini menjeleng pesta demokrasi yaitu pemilihan umum dalam rangka memilih Presiden sekaligus memilih DPR, DPD, dan DPRD. Kalau tidak ada hal yang luar biasa, pemilu tersebut akan diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2024. Kedua, adanya peristiwa peperangan Hammas-Israel yang secara tidak langsung juga akan berpengaruh kepada geopolitik dalam negeri. Di sadari atau tidak keduanya secara tidak langsung juga berpengaruh kepada eksistensi santri dalam arti luas.

Seagaimana kita ketahui, delapan tahun lalu atau tepatnya 15 Oktober 2015, Presiden Joko Widodo meneken sebuah Keputusan Presidan (Kepres) Nomor 22 Tahun 2015. Dengan kepres ini setiap tanggal 22 Oktober diperingati hari santri secara nasional. Ada beberapa alasan mengapa Kepres ini lahir. Menurut M. ZAENI RAHMAN sebagaimana hasil penelitiannya, ada empat maksud utama munculnya keputusan tentang hari santri. Pertama, hubungan santri dan nasionalisme. Hubungan antara santri dan nasionalisme dalam sejarah merujuk pada peran serta kontribusi para Kiai dan Santri (pesantren) dalam upaya mempertahankan kemerdekaan atas Belanda (NICA) yang kemudian dituangkan dalam sebuah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang disampaikan oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Kedua, bagian dari komunikasi politik. Merujuk pada fakta bahwa Keppres Hari Santri muncul berawal dari proses komunikasi antara Jokowi dagan salah satu tokoh NU, K.H. Thariq Darwis (Malang) ketika masa kampanye. Ketiga, penguatan identitas santri. Keppers tentang Hari Santri muncul sebagai sebuah pengakuan identitas terhadap kaum Santri. Keempat, Hari Santri sebagai sebuah simbol umat Islam khususnya Pesantren. Dalam penetapanya, Keppres Tentang Hari Santri merujuk pada alasan sejarah yang tercantum dalam isi Keppres No. 22 Tahun 2015.

Diterbitkannya Keppres tersebut merupakan jawaban akhir negara sekaligus mengakhiri polemik bernuansa pro kontra wacana yang berkembang sebelumnya, bahkan antar sesama Islam sendiri. Pertnyaan yang sampai sekarang belum terjawab secara tuntas adalah, untuk siapa hari santri ditetapkan? Jawaban atas pertanyaan ini penting, khususnya agar semua bisa berfikir dan hari santri yang diperingati setiap tahun ini tidak kehilangan ruhnya dan tetap relevan sepanjang zaman. Jawaban itu juga penting agar yang semula kontra pada akhirnya bisa legowo dan bahkan justru mengambil hikmah. Jika santri selalu dikonotasikan sebagai Islam, pada negara yang multi agama ini, jawaban pertanyan itu juga penting bagi non muslim. Pada akhirnya, semua hari-hari besar apa pun namanya, dalam konteks negara yang berpenduduk heterogen ini tetap menjadi milik bersama dengan menghilangkan primordialisme akibat pemikiran sempit berdasarkan golongan, suku, ras, dan agama.

Hari santri pada mulanya memang bertonggak dari sebuah pertistiwa sejarah yaitu ketika suatu ketika Presiden Soekarno ‘sowan’ ke pesantren Tebuireng Jombang pada tanggal 10 Oktober 1945 atau sekitar 2 bulan setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kepada Hadratusy Syaikh Hasyim Asy’ari beliau menyampaikan keresahannya atas kadatangan tentara sekutu di bawah komando Inggris. Yang menjadi masalah bukan kedatangan Inggrisnya, tetapi karena di belakang tentara sekutu membonceng NICA yang tidak lain adalah orang-orang Belanda. Dalih kedatangan sekutu ialah untuk mengambil alih kekuasaan dari Jepang, setelah menyerah tanpa syarat kepada sekutu pascaluluh lantaknya 2 kota ternama Nagasaki dan Hirosima oleh bom atom Amerika Serikat. Sang Proklamator sangat sadar, bahwa betapa potensi ummat Islam, khususnya di Jawa waktu itu luar biasa besar dan figur kakek Gus Dur yang juga sangat berpengaruh.

Akhirnya, seperti yang disebutkan Ahmad Mansur Suryanegara dalam Api Sejarah, dalam Rapat Perhimpunan Nahdlatul Ulama seluruh Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 diadakan ‘Resolusi Jihad’ pada Pemerintah Republik Indonesia yang pada pokoknya berisi dua agenda penting. Pertama, memohon dengan sangat kepada Pemerintah Republik Indonesia supaya menentukan suatu sikap dan tindakan jang nyata serta sepadan terhadap usaha-usaha yang akan membahayakan Kemerdekaan dan Agama dan Negara Indonesia terutama terhadap fihak Belanda dan kaki tangannya. Kedua, supaya memerintahkan melanjutkan perjuangan bersifat ‘sabilillah’ untuk tegaknya Negara Republik Indonesia Merdeka dan Agama Islam.
Efeknya luar biasa. NU kemudian menggelorakan semangat jihad di kalangan umat Islam waktu itu. Para ulama, pemuda serta Barisan Pemberontakan Rakjat Indonesia yang dipimpin Bung Tomo, kemudian berinisiatif membentuk organisasi bersenjata untuk mendapatkan persenjataan dari bala tentara Jepang.

Sebagaimana diungkapkan sejarawan Suryanegara, waktu itu markas-markas Jepang di Bandung, Garut, Surakarta, Yogyakarta, dan Semarang diserang oleh rakyat Indonesia. Persenjataan-persenjataan itu kemudian digunakan melawan Sekutu dan NICA. Bahkan, Laksamana Shibata Yaichiro, seorang panglima senior Jepang yang memihak kepada Republik Indonesia lebih memilih membukakan pintu gudang persenjataan Jepang kepada para pemuda Indonesia. Meskipun pada akhirnya, Laksamana Shibata Yaichiro menyerah ke Belanda namun sebelumnya telah meminta pasukannya untuk menyerahkan semua senjata ke rakyat Indonesia. Tentara Sekutu pun lantas meminta rakyat Indonesia agar menyerahkan seluruh senjata itu kepada pihak Sekutu. Akan tetapi, perintah itu, oleh Barisan Pemberontak Rakyat yang dipimin Bung Tomo tidak digubris. Pertempuran hebat pun kemudian terjadi. Tidak di sangka para santri–yang dalam kesaharian lugu itu– bisa sangat patriotik bersama seluruh elmen masyarakat yang anti penjajah bertempur habis-habisan melawan kolonial. Dengan doktrin “hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air bagian dari iman), para santri pun sangat yakin, bahwa perang mempertahankan tanah air dari penjajah merupakan perang suci (jihad). Dalam tradisi keilmuan pesantren mati karena jihad merupakan kematian paling mulia. Tahu akan semangat dan kondisi keyakinan santri dan rakyat yang demikianlah, Bung Tomo pun dengan mantap terus memekikkan kalimat : “Allahu Akbar, merdeka atau mati.” Sekali lagi, semangat yang menggelorakan pertempuran maha dahsyat itu timbul setelah adanya resolusi jihad. Selanjutnya, pertempuran itu pun kemudian memang diikuti oleh seluruh pesantren di seluruh pelosok tanah air. Keterikatan hubungan emosional antar santri dan kiai memudahkan perlawanan kaum santri ini menjadi sangat massif. Denan semangat patriot, masyarakat non santri pun kemudian banyak yang bergabung.

Dengan mengaca fenomena historis di atas penetapan hari santri yang diperingati secara nasional memiliki akar sejarah yang kuat. Akar sejarah itu ialah pertama, pentingnya soliditas antara pemimpin politik dengan tokoh informal. Pemimpin akan tidak dapat berbuat banyak ketika tidak mendapat dukungan tokoh informal yang biasanya mempunyai masa riil. Sebaliknya, seorang tokoh informal juga tidak bisa ‘mengamankan’ umat jika tidak mendapat dukungan politik dari pemimpin politik. Kedua, bahwa kepentingan negara adalah di atas kepentingan golongan. Sebagai tokoh sekaliber Soekarno, jauh-jauh dari Jakarta mau datang ke Jombang yang masih ‘pelosok’ itu sekedar sungkem sekaligus meminta pendapat dan dukungan. KH Hasyim pun yang mempunyai santri ribuan mau duduk bersama memikirkan nasib bangsa yang sedang mendapat ancaman musuh. Ketiga, pentingnya tetap menjunjung tingga kekuatan rakyat dalam menghadapi setiap ancaman. Para tokoh politik perlu menyadari hal demikian. Mereka tidak boleh mengabaikan rakyat karena pada hakikatnya suara rakyat adalah suara tuhan (Vox Populi Vox Dei). Ketika, para pemimipin politik mendekati sang tokoh informal karena memilik masa. Ukuran keberhasilan seorang pemimpin politik mendekati tokoh, pada akhirnya masa sendiri itulah yang akan menentulan.
Dengan menyadari 3 hal diatas mengklaim bahwa peringatan hari santri hanya kepentingan umat Islam apalagi dipahami secara sempit hanya milik NU (sekalipun semula harus diakui sebagai jasa Kiai-kiai NU) dalam konteks berbangsa dan bernegara, merupakan pikiran yang kini kurang relevan lagi. Anggapan demikian hanya membuat semua peringatan hari-hari besar akan ikut tereduksi dari makna besarnya dan hanya bernilai rutinitas tahunan. Dengan berfikir kontektual kita diharapkan mampu melihat esensi dari pada sekedar simbol. Hari Kartini memang diambil dari hari kelahiran seorang anak bupati Jepara bernama Raden Ajeng Kartini. Tetapi apakah kita boleh mengabaikan peran tokoh wanita lain, serti Dewi sartika, Tjut Nya’ Din, atau sejumlah tokoh wanita pejuang lainnya. Hari Pahlawan memang diperingati berdasarkan peringatan terhadap peristiwa heroik pada pertempuran yang terjadi 10 November 1945 di Surabaya. Akan tetapi, bukan berarti harus dipahami bahwa penghargaan terhadap perjuangan arek-arek Surabaya, mengabaikan sejarah pertempuran-pertempuran lain di belahan tanah air (Aceh, Bali, Sulawesi, dll). Tetapi, sebuah peringatan biasanya memang harus mengambil simbol tertentu yang karena peristiwa kesejarahan harus mengambil satu peristiwa yang dianggap monumental. Tentu tanpa harus dengan mengecilkan peran peristiwa sejarah lainnya. Intinya, ada makna universal yang dapat dipetik dari peristiwa sejarah yang melatarbelakangi pada peringatan hari santri yang berlaku secara nasional ini.
Cara berfikir demikian, tampaknya harus terus dikembangkan dalam setiap even peringatan hari nasional, termasuk peringatan hari santri ini. Kalau cara berfikir demikian kita sepakati, maka hari santri sejatinya adalah juga hari kita semuanya. Mengapa tidak diliburkan? Tentunya, bukan ranah tulisan ini untuk membahasanya. Sikap seperti ini sama, ketika ada sebagian kita mempertanyakan, mengapa ketika bulan puasa tidak libur? Jawabannya tergantung nurani kita. Kita patut berbaik sangka, terhadap para pembuat kebijakan. Tetapi, apabila kita ingat, bahwa resolusi jihad yang semula mengobarkan semangat heroik itu justru menjadi ironis jika harus diperingati dengan produktivitas kita terhenti. Selamat Memperingati Hari Santri.
Dirgahayu Santri Nusantara.

BIO DATA PENULIS
Nama : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP : 19621015 199103 1 001
Pangkat, gol./ruang : Pembina Utama, IV/e
Pendidikan : S-1 Fak. Syari’ah IAIN (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1988;
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001;
Hobby : Pemerhati masalah-masalah hukum, sosial, pendidikan, dan seni;
Pengalaman Tugas : – Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
– Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
– Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A 2008-2011
– Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas IA 2011-2016
– Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas IA 2016-2021
– Hakim Pengadilan Agama Semarang Kelas I-A 2021-2022.
Sekarang : Hakim Tinggi PTA Jayapura, 9 Desember 2022- sekarang

Alamat : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi
Alamat e-Mail : asmui.15@gmail.com

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait