Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim PTA Banjarmasin)
Opini, beritalima.com | Dalam praktik peradilan agama, perkara kewarisan Islam sering kali menjadi ladang ujian bagi baik hakim maupun para lawyer. Di satu sisi, para pengacara merasa telah menyusun gugatan dengan benar dan lengkap sesuai logika hukum perdata; namun di sisi lain, hakim justru menilai gugatan tersebut tidak memenuhi formalitas hukum acara. Hasilnya? Gugatan dinyatakan niet ontvankelijke verklaard—tidak dapat diterima.
Bagi para pihak, keputusan seperti ini tentu menimbulkan frustrasi. Mereka datang ke pengadilan dengan harapan mendapat keadilan substantif, tetapi yang terjadi justru perkara terhenti di ambang pintu: belum sempat masuk ke pokok perkara, gugatan sudah kandas hanya karena alasan formal. Tak jarang, gugatan yang sama diajukan kembali, diperiksa oleh majelis hakim lain di pengadilan yang sama, dan hasilnya tetap sama: tidak dapat diterima.
Fenomena ini sesungguhnya menunjukkan adanya “gap keilmuan dan persepsi” antara hakim dan lawyer dalam memahami perkara kewarisan Islam. Para lawyer sering kali berangkat dari perspektif law in books dan civil law, sementara hakim agama membaca perkara waris dari kacamata fiqh al-mawaris yang terinternalisasi dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) serta yurisprudensi peradilan agama. Perbedaan epistemologis inilah yang sering kali melahirkan ketegangan praktis di ruang sidang.
Sebagai contoh, dalam perkara waris, sering kali hakim berpendapat gugatan “kurang pihak” karena tidak melibatkan seluruh ahli waris, meskipun dalam pandangan pengacara hal itu dianggap tidak relevan dengan pokok gugatan yang diajukan. Dalam pandangan hakim, setiap ahli waris memiliki rechtstreek belang—kepentingan hukum langsung terhadap harta waris—sehingga tidak bisa dikesampingkan. Namun dalam pandangan lawyer, mereka merasa cukup menggugat pihak yang dianggap menguasai harta waris. Dua cara pandang ini, jika tidak disatukan dalam kesepahaman, akan terus menimbulkan perkara yang berputar di tempat.
Dalam konteks ini, perlu adanya jembatan pengetahuan antara hakim dan para lawyer. Pendidikan hukum acara peradilan agama dan kewarisan Islam semestinya tidak hanya menjadi domain internal hakim, tetapi juga perlu disebarluaskan kepada para praktisi hukum yang kerap beracara di lingkungan peradilan agama. Pelatihan bersama, forum diskusi yurisprudensi, serta penerbitan pedoman beracara dalam perkara waris Islam bisa menjadi solusi yang konstruktif.
Selain itu, pengadilan agama sebagai institusi peradilan yang terbuka terhadap publik perlu berperan aktif dalam membangun komunikasi profesional dengan para advokat. Sebagaimana hakim memiliki tanggung jawab menjaga integritas putusan, advokat juga memiliki tanggung jawab etis untuk memahami karakter hukum Islam yang berlaku di peradilan agama. Kesepahaman keduanya adalah prasyarat penting bagi tercapainya keadilan yang substansial, bukan sekadar keadilan formal.
Pada akhirnya, kedua belah pihak harus mempunyai komitmen yang sama. Para lawyer memahami posisi hakim yang memang harus menegakkan hukum acara. Kecerobohan yang berakibat kesalahan dalam penerapan hukum acara bagi hakim lebih berat konsekuensinya ketimbang kekeliruan menerapkan hukum materiil. Pada saat yang sama, hakim juga memahami posisi para lawyer yang secara moral mempertaruhkan reputasinya demi kepentingan masyarakat pencari keadilan yang diwakilinya. Di atas semua, keduanya juga mempunyai komitmen yang sama, bahwa menangani perkara waris Islam sejatinya bukan semata soal pembagian harta, tetapi juga menyangkut hak dan kemaslahatan keluarga. Jika perkara hanya berhenti pada formalitas, maka substansi keadilan menjadi tertunda. Karenanya, sudah saatnya hakim dan lawyer berbicara dalam “bahasa hukum yang sama” agar pengadilan tidak menjadi arena perbedaan persepsi, melainkan tempat bertemunya keadilan yang sejati. Semoga.







