JAKARTA, beritalima.com | Penjajakan kerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sedang dilakukan Kementerian Pertahanan (Kemhan). Programnya, merekrut mahasiswa untuk terlibat dalam latihan militer melalui program Bela Negara.
Wakil Menteri Pertahanan, Sakti Wahyu Trenggono, mengatakan, rencana kerjasama ini merupakan upaya pemerintah agar generasi milenial tidak hanya kreatif dan inovatif, tapi juga cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-hari.
Menurutnya, kecintaan generasi milenial terhadap negara juga bisa ditunjukkan dengan bergabung dalam komponen cadangan (Komcad) seperti yang diamanatkan UU No.23 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN).
Disebutkan, wacana kerjasama ini timbul, pertama karena Kemendikbud yang dipimpin Nadiem Makarim gagal paham dalam melihat kebutuhan dan prioritas dunia pendidikan. Sejumlah persoalan yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap kebebasan akademik kampus, alih-alih menjamin kebebasan mimbar akademik kampus, tapi malah mengafirmasi militerisasi sektor pendidikan, yang justru bertentangan dengan nafas Kampus Merdeka yang digagas Nadiem.
Kedua, terjadinya militerisasi sektor pendidikan, mulai dari jenjang Sekolah Dasar sampai dengan Perguruan Tinggi. Pada Juni 2019 lalu Kemendikbud telah menggandeng Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk membina para peserta didik baru yang difokuskan pada karakter nasionalisme siswa dengan materi mengacu pada Kemendikbud. Karakter utama yang diajarkan bertujuan menangkal paham radikalisme yang akan diterapkan di masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS) SD, SMP, SMA, dan SMK.
Ketiga, secara lebih spesifik juga terjadi militerisasi program Bela Negara dan makna nasionalisme. Padahal, Pasal 6 ayat (2) UU PSDN menyebutkan salah satu keikutsertaan warga negara dalam upaya Bela Negara dapat dilakukan dengan pengabdian sesuai dengan profesi. Mengapa bentuk bela negara bagi dunia kampus yang dicanangkan bersifat militeristik? Hal ini tentu tidak relevan, karena seharusnya yang dicanangkan adalah pengabdian sesuai dengan profesi.
Dalam konteks nasionalisme, apa yang disampaikan Wakil Menteri Pertahanan bahwa kerjasama tersebut agar generasi milenial juga cinta bangsa dan negara dalam kehidupan sehari-hari, telah mempersempit makna nasionalisme, seolah-olah nasionalisme tinggi hanya dimiliki oleh militer. Padahal, pemahaman dan penerapan nasionalisme akan beragam sesuai dengan bidang masing-masing.
Dan keempat, kerjasama tersebut juga berpotensi semakin memperluas peran militer dalam ranah sipil, karena tentu yang akan menjadi instruktur dalam pelatihan militer di kampus adalah TNI aktif. Persoalan ini berefek domino kepada ketidakterpenuhan ihwal kebijakan dan keputusan politik negara sebagai landasan perbantuan TNI seperti yang diatur pada Pasal 5 dan Pasal 7 ayat (3) UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI (UU TNI).
Upaya-upaya melibatkan TNI untuk tugas-tugas di luar tupoksi utamanya tentu memiliki aturan main yang harus ditaati. Namun, pada Pasal 7 ayat (2) UU TNI, dari 14 item yang termasuk dalam Operasi Militer Selain Perang (OMSP), tidak ada satu pun poin yang menyebut sektor pendidikan atau pun sekedar berkaitan dengan sektor pendidikan menjadi bagian dari OMSP.
Atas dasar itu, SETARA Institute sebagaimana disampaikan Wakil Ketua Badan Pengurus Bonar Tigor Naipospos berpendapat, satu, Kemdikbud seharusnya menjamin kebebasan mimbar akademik kampus yang terbungkam beberapa waktu belakangan ketimbang mengafirmasi militerisasi sektor pendidikan.
Dua, cara menangkal intoleransi dan radikalisme di lingkungan perguruan tinggi harus dilakukan dengan cara-cara yang inklusif dan demokratis yang menghargai kebebasan akademik kampus.
Tiga, mengingat kampus merupakan dunia akademik yang nantinya akan melahirkan pelbagai profesi, program Bela Negara di kampus seharusnya diarahkan kepada pengabdian sesuai profesi. Pengabdian sesuai profesi juga termasuk salah satu bentuk keikutsertaan warga negara dalam upaya Bela Negara seperti yang disebutkan Pasal 6 ayat (2) UU PSDN.
Empat, Presiden perlu mengevaluasi kinerja Kementerian dalam kerangka agenda reformasi TNI. Beberapa Kementerian justru menjadi pintu masuk perluasan peran militer dalam ranah sipil, bahkan Kementerian yang lingkup kerjanya di luar OMSP dan jabatan sipil yang dikecualikan untuk TNI aktif seperti yang disebutkan dalam UU TNI.
Lima, DPR perlu aktif dalam pengawasan setiap agenda reformasi TNI, terutama dalam hal keterlibatan DPR dalam kebijakan dan keputusan politik negara yang menjadi dasar TNI dalam menjalankan tugasnya sebagai alat negara di bidang pertahanan dan Operasi Militer Selain Perang (OMSP) seperti yang diatur dalam UU TNI.
Enam, Pemerintahan sipil seharusnya turut memastikan profesionalitas alat negara (TNI-Polri) dengan tidak memberikan jabatan-jabatan sipil tertentu dan/atau membuka kerjasama-kerjasama di luar pengaturan perundang-undangan.
Menurutnya, reformasi TNI dan Polri harus berjalan dua arah atau timbal balik; TNI-Polri fokus melakukan reformasi, sementara presiden/DPR/politisi sipil wajib menjaga proses reformasi itu berjalan sesuai mandat konstitusi dan peraturan perundang-undangan. (Ganefo)