Jakarta | beritalima.com – Akibat berkembangnya voluntary carbon market, Menteri Lingkungan Hidup dan Kepala Badan Pengendalian Lingkungan Hidup Dr. Hanif Faisol Nurofiq tidak bisa terus menerus mendekotomikan atau membenturkan antara compliant market dengan voluntary carbon market. Maka menggunakan Pasal pada Peraturan Presiden No.98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
Menteri LH mengeluarkan metodologi untuk saling mengakui terhadap perdagangan karbon untuk menurunkan emisi gas rumah kaca.
Hal itu diucapkan saat doorstop setelah Menteri LH/Kepala BPLH memberi sambutan sebagai keynote speech pada Seremonial Penandatanganan Global Carbon Council (GCC) dan Plan Vivo. Perjanjian Saling Pengakuan atau Mutual Recognition Agreement (MRA) dan Forum Karbon Nasional, di Hotel Pullman Jakarta, Selasa (16/9/2025).
Sebelumnya dikatakan Menteri Hanif, telah melakukan langkah-langkah penting kendari bulan yang lalu telah melakukan mutual Recognition Agreement (MRA) dengan gold standar, suatu skema perdagangan karbon internasional voluntary skema yang membasiskan diri kepada tech space atau teknologi.
Hari ini ungkapnya, melengkapinya dengan dua MRA lagi, yaitu dengan Global Carbon Council dari UAE dan Plan Vivo jadi yang Carbon Global Council itu juga tech space, kemudian untuk Plan Vivo merupakan suatu skema voluntary internasional dengan nature base.
“Jadi telah tiga skema voluntary yang kita lakukan kerjasama di dalam MRA itu apa yang kemudian di MRA-kan tadi kamu bertanya gitu, jadi semua detail, apa yang menjadi skema mereka, dan apa yang menjadi skema kita telah melakukan rekognisi saling mengakui,” terang Hanif Faisol Nurofiq.
Menurutnya yang dikeluarkan nanti, apakah menggunakan metodologi atau LVV yang digunakan sebagai ukuran untuk saling mengakui. Baik yang dilaksanakan oleh gold standar foundation, Global Carbon Council dan Plan Vivo itu merupakan bagian dari yang dilakukan dalam sertifikat pengurangan emisi Indonesia atau SPEI.
“Jadi pelaksanaannya gimana, maka semua perdagangan karbon pada sisi tech space maupun nature base dapat dilakukan melalui skema compliant market sesuai dengan Paris Agreement maupun voluntary market sesuai dengan skema – skema yang ada,” terangnya
“Bagaimana mekanismenya, di dalam pelaksanaan di Indonesia, menurutnya wajib tetap melalui sistem regresi nasional, tidak boleh lepas daripada itu, karena ini merupakan kedaulatan kita, mata uang kita tera ukur kita, sehingga dilakukan melalui SMN tadi,” sambungnya.
Lanjutnya, bagaimana mekanisme pengukuran dari pengurangan emisi, tentunya emisinya berdasarkan skema yang mereka miliki masing-masing, namun pada saat kemudian, katakan Gold Standard Foundation atau Plan Vivo atau GCC tadi mengeluarkan sertifikat. Maka pada saat kemudian sertifikat itu harus diakui maka nilainya sama.
“Kalau dia mengeluarkan dengan nilai 100, maka kita juga mengakunya 100, sebaliknya juga demikian, pada saat Indonesia mengeluarkan sertifikat senilai 200 ton CO2, maka mereka juga tetap akan menilai sebanyak itu,” tegasnya.
Langkah tindak lanjutnya, boleh melakukan perdagangan internasionalnya tanpa memindahkan catatan karbon. Sebagai catatan, karbon masih di Indonesia, karena karbon itu adalah produk Indonesia, meskipun sertifikatnya atas nama 3 sertifikat tadi pada saat akan memindahkan karbon maka diperlukan autorisasi
“jadi ada autorisasi yang kita keluarkan terhadap sertifikat yang dia terbitkan. Jadi pada saat dia menerbitkan nilainya sama, tetapi kita harus stempel. itu adalah karbon Indonesia, nah disini berlakulah kemudian pemindahan karbon,” tuturnya.
Terangnya, perdagangan karbon digunakan untuk kepentingan voluntary, biasanya untuk kegiatan sosial dan lain-lain. Tetapi pada saat bicara Paris Agreement, melalui pasar compliant market, maka wajib diotorisasi oleh Menteri Lingkungan Hidup.
“Jadi ini yang kemudian akan berjalan namun hari ini, kekuatan kita untuk memaksa, agar kemudian menggunakan karbon compliant, itu masih perlu didiskusikan dengan banyak negara,” tandasnya.
Rezim dari Paris Agreement memutuskan suatu hal tidak pernah dengan voting, selalu dengan konsensus
sehingga diperlukan waktu agak panjang untuk menyikap ini. Kenapa Indonesia lambat? bukan lambat, karena Indonesia berpegang teguh kepada Paris Agreement.
Namun ternyata, di luar sana yang siterima KLH/BPLH berkembang voluntary carbon market untuk ini. Menteri LH tidak bisa terus-menerus mendekotomikan membenturkan antara compliant market dengan voluntary carbon market. Maka menggunakan pasal Peraturan Presiden Nomor 98 tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon.
“Ini yang kemudian akan saling melakukan pengakuan
pengakuan mutual, sama-sama dalam nilai karbon tersebut, sehingga apapun bentuknya, maka nilai karbon tetap terkontrol di dalam kita,” imbuh Menteri Hanif.
Yang paling penting tuturnya, menjaga integritas karbon kalau sudah dilakukan pengukuran, harus benar-benar dan jangan main-main.
“Begitu orang cedera dengan hasil pengukuran kita, maka integriti yang kita harapkan akan ambruk. Begitu ambruk, karbon kita tidak akan ada nilainya, karbon kita hari ini masih terjual di angka paling besar
10 dolar, artinya apa? pasar belum percaya kepada kita sepenuhnya,” terangnya.
“Mari membangun pasar karbon ini dengan melakukan integritas yang sangat tinggi, karena begitu integritas sangat tinggi, maka nilai karbonnya cukup sangat tinggi,” pungkas Menteri Hanif.
Jurnalis : Dedy Mulyadi






