Cepu, beritalima.com| – “Kalau kamu bukan anak ulama besar, bukan pula anak seorang raja, maka menulislah.” Demikian petuah tajam dari Imam Al-Ghazali yang menggugah siapa saja yang mendengarnya.
Petuah ini bukan sekadar ajakan, tapi peta jalan menuju keabadian. Bukan raja? Bukan ulama besar? Tak masalah, asal mau menulis.
Menulis bukan hanya tentang tinta dan kertas. Ia adalah alat perlawanan terhadap lenyapnya ingatan.
Bagi Al-Ghazali, ilmu tak cukup disimpan dalam kepala. Ia harus dituliskan agar terus mengalir melampaui zaman.
Kita hidup dalam dunia yang cepat lupa. Apa yang tak ditulis, akan hilang ditelan waktu.
Menulis menjadikan gagasan kita hidup lebih lama dari tubuh kita. Ia adalah perpanjangan lidah, bahkan saat mulut telah membisu.
Tak semua orang lahir dalam keluarga istimewa. Namun menulis memberi siapa saja kesempatan untuk istimewa.
Lewat tulisan, kita bisa berdialog dengan masa depan. Bisa juga berdiskusi dengan mereka yang hidup ratusan tahun lalu.
Menulis bukan semata soal akademik atau formalitas. Ia adalah upaya menata dunia lewat kata.
Menulis menyusun ulang realitas. Ia menyaring pengalaman dan mengkristalkan pemikiran.
Dunia mengenal Plato, Ibn Sina, Al-Ghazali, karena mereka menulis. Tanpa tulisan, siapa yang mengingat mereka?
Menulis adalah jalan sepi tapi benderang. Ia bukan hanya untuk yang pintar, tapi yang tekun.
Kemuliaan bukan hanya milik keturunan atau bangsawan. Ia juga milik mereka yang berani mencatat dan berbagi ilmu.
Tulisan tidak tidur. Ia bekerja siang malam tanpa lelah menginspirasi pembaca.
Di era digital, peluang menulis terbuka lebar. Tak harus cetak, blog dan media sosial pun bisa jadi panggung.
Menulis adalah demokratisasi gagasan. Siapa saja bisa berbicara dan didengar lewat tulisan.
Tentu, tak semua tulisan langsung hebat. Tapi yang terus menulis, akan terus membaik.
Menulis juga melatih ketekunan dan keteraturan berpikir. Ia memaksa kita untuk jernih dan jelas dalam menyampaikan ide.
Tulisan bukan cuma untuk orang lain. Ia juga cermin bagi diri sendiri.
Dengan menulis, kita belajar mengenal pikiran sendiri. Belajar mengkritik dan mengembangkan sudut pandang.
Tulisan adalah saksi bisu dari perjalanan kita. Ia merekam langkah, keresahan, harapan.
Dunia membaca orang yang menulis. Dan lupa pada mereka yang diam.
Jika ingin berkontribusi dalam peradaban, maka menulislah. Bukan karena kita besar, tapi karena kita ingin berguna.
Tak perlu menunggu jadi siapa-siapa. Menulislah, justru agar menjadi seseorang.
Sebagaimana Al-Ghazali, mari jadikan pena sebagai pedang. Bukan untuk melukai, tapi untuk membuka jalan kebaikan.
Warisan terbaik bukanlah emas atau jabatan. Tapi ilmu yang ditulis dan dibagikan.
Menulislah bukan demi populer, tapi demi kebermanfaatan. Karena tulisan yang ikhlas, akan menemukan pembacanya sendiri.
Dan saat tubuh kita tak lagi di dunia ini, Tulisan kita akan tetap bicara, menyampaikan cahaya.
Jadi, bro, kalau kamu bukan anak raja, bukan anak ulama besar, Tapi kamu punya semangat, maka ambillah pena, dan menulislah.
Oleh Gunawan Trihantoro, Sekretaris Kreator Era AI Jawa Tengah, Rumah Kayu Cepu, 23 April 2025.




