Oleh Stanislaus Riyanta
Pasca pendaftaran Capres-Cawapres oleh koalisi partai pengusung, dinamika politik di Indonesia semakin panas. Masing-masing kubu yang sudah mulai terpolarisasi melakukan aksinya untuk menaikkan elektabilitas pasangan yang diusung dan untuk menurunkan elektabilitas lawan politik. Aksi politik ini, selama tidak melanggar Undang-Undang yang berlaku, wajar untuk dilakukan dalam sebuah sistem demokrasi.
Kubu oposisi yang merupakan koalisi dari partai Gerindra, PAN, PKS, Demokrat, dengan pasangan Capres-Cawapres Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dengan gencar melakukan aksi politik dengan jargon #2019GantiPresiden. Sementara kubu petahana yang diusung oleh partai PDIP, Golkar, PKB, PPP, Nasdem, Hanura, dan PKPI, dengan pasangan Capres-Cawapres Joko Widodo-Ma’ruf Amin, gencar mengkampayekan #Jokowi2Periode, atau jargon lain yang tujuannya melanjutkan kepemimpinan Joko Widodo.
Kubu oposisi wajar jika menggunakan jargon #2019GantiPresiden untuk mengurangi elektabilitas petahana. Jargon tersebut didorong dengan isu-isu populis untuk menarik massa pendukung, bahkan isu SARA dilekatkan untuk menambah elektabilitas pendukung dengan basis politik identitas. Sebagai kubu oposisi, penggunaan jargon pergantian petahana adalah suatu keuntungan tertentu yang wajar.
Kubu petahana tentu saja akan menggunakan jargon untuk mempertahankan kepemimpinan. Keuntungan sebagai petahana adalah dapat mengkampanyekan keberhasilan selama masa kepemimpinan dengan menggunakan kekuatan struktur pemerintah. Selain itu basis kekuasaan dan kewenangan struktural yang dimiliki akan memudahkan akses untuk melakukan penggalangan suara dari seluruh lapisan masyarakat. Keuntungan yang tidak dimiliki oleh kelompok oposisi ini merupakan suatu kewajaran yang dimiliki oleh kubu petahana.
Reaksi dari masing-masing kubu terhadap jargon lawan politik inilah yang perlu mendapat perhatian. Kubu oposisi yang gencar melakukan deklarasi #2019GantiPresiden mendapat perlawanan dari massa yang cukup kuat di berbagai daerah. Kasus terakhir di Surabaya dengan rencana deklarator Ahmad Dani, dan di Pekanbaru dengan deklarator Neno Warisman, mendapat perlawanan dari massa sehingga acara tersebut batal.
Perlawanan menggunakan massa tandingan justru akan menaikkan popularitas jargon #2019GantiPresiden tersebut. Situasi ini jika terus menerus terjadi akan semakin menarik simpati dari masyarakat, terutama dari kelompok netral. Kelompok netral akan menganggap bahwa kubu oposisi sebagai korban kekuasaan yang perlu dibela. Perlawanan terhadap aksi kubu oposisi dengan cara membenturkan massa adalah cara yang tidak baik dan justru akan menurunkan elektabilitas petahana. Selain itu perlawanan menggunakan massa secara frontal akan menarik perhatian banyak pihak termasuk media massa. Hal ini tentu justru sangat menguntungkan kubu oposisi karena mendapat bantuan kampanye secara murah dan efektif.
Selain itu bentuk perlawanan massa berpotensi menyebabkan konflik sosial. Benturan massa karena perbedaan pilihan politik bisa menjadi konflik massa yang mengarah kepada aksi kekerasan. Hal ini juga akan semakin bertambah parah jika ada pihak tertentu yang menggunakan isu SARA sebagai katalisator terjadinya konflik.
Sikap masing-masing kubu koalisi pengusung capres-cawapres dalam Pilpres 2019 dalam menanggapi jargon yang diusung lawan politik harus diperbaiki. Jargon politik sebaiknya dilawan dengan jargon politik lainnya. Banyak cara-cara yang cerdas untuk menggalang massa tanpa harus mengorbankan persatuan bangsa. Masing-masing kubu, petahana dan oposisi, mempunyai kekuatan, keuntungan dan konsekuensi politik, yang bisa dimanfaatkan secara maksimal. Dalam konteks jargon #2019GantiPresiden sebagai alat propaganda kubu oposisi untuk menarik massa, sebaiknya dilawan oleh petahana dengan jargon yang lebih menarik massa. Banyak keuntungan yang dimiliki oleh kubu petahana sebagai materi jargon yang lebih realistis.
Menyiapkan dan melawan jargon oposisi dengan jargon lain yang menarik akan lebih baik daripada sibuk melakukan perlawanan massa. Perlawanan dengan menggunakan massa tandingan akan berdampak merugikan petahana karena berkurangnya simpati dari masyarakat. Selain itu aksi perlawanan massa, pasti akan mengundang keterlibatan aparat keamanan dan perangkat intelijen. Situasi ini dapat membangun pemikiran publik bawah kubu petahana menggunakan aparat keamanan dan perangkat intelijen untuk kepentingan politik. Pemahaman publik, terutama oposisi, bahwa aparat keamanan dan perangkat intelijen bersikap netral akan sulit terjadi karena adanya kepentingan politik. (*)
*) Stanislaus Riyanta, mahasiswa Doktoral bidang Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia