SURABAYA, beritalima.com|
Beberapa waktu belakangan muncul anak muda bernama Rafi yang namanya sedang viral di beberapa media sosial. Pasalnya, video percakapannya dengan salah satu penulis terkemuka membahas tentang kedisiplinan di sekolah secara kritis memicu berbagai tanggapan dari masyarakat.
Merespons hal itu, Dosen Filsafat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga (UNAIR), Dr Listiyono Santoso SS M Hum, mengungkapkan bahwa kasus yang dialami anak muda seusia Rafi harus diapresiasi seluas-luasnya. Sebab, ia telah menerapkan cara berpikir kritis sejak dini serta berani untuk tidak menerima segala sesuatu apa adanya.
“Dengan demikian ia berani untuk menelaah dengan konsep yang selama ini mungkin bagi dia terdapat persoalan yang harus dipertanyakan,” ujar Wakil Dekan I FIB UNAIR itu.
Lantas, apabila sejak dini anak-anak mempunyai kemampuan bertanya, termasuk pertanyaan yang memunculkan masalah, orang tua maupun guru tidak perlu khawatir. Di situlah proses antara guru dan murid bersama-sama berinteraksi dan memberikan ruang sebesar-besarnya kepada anak muda seusia Rafi untuk dapat bertanya terus-menerus.
“Sebab, intelektualitas itu berawal dari sebuah pertanyaan,” imbuhnya.
Berpikir Kritis dan Filsafat Sebagai Ilmu
Listiyono mengungkapkan bahwa sebetulnya anak-anak sejak dini harus diajarkan tentang berpikir kritis. Sebab, hal itu menjadi bagian dari tiga keterampilan yang harus dilakukan ketika beradaptasi pada kemajuan zaman. Salah satunya adalah keterampilan belajar yang meliputi berpikir kritis, berpikir inovatif, berpikir kreatif, kolaboratif, dan mandiri.
“Dan juga, dalam terminologi filsafat, sebenarnya jejak awalnya bermulanya (filsafat, Red) berasal dari kemampuan melakukan atau memberikan pertanyaan kritis,” terangnya.
Di beberapa negara, cara berpikir kritis sudah dilakukan, bahkan setingkat TK sekalipun hingga sekolah menengah. Namun, Listiyono berujar bahwa terdapat perbedaan antara filsafat sebagai ilmu dengan berpikir kritis.
Filsafat sebagai ilmu memang berada di jenjang tertentu. Namun, sebagai proses berpikir kritis, harus dilakukan oleh setiap anak sejak dini, bukan hanya sekadar tahu.
Melalui sifat keragu-raguan yang berasal dari proses berpikir kritis, seorang anak akan berproses mencoba mencari tahu segala sesuatu yang telah terjadi. Seperti halnya Newton yang menemukan teori gaya gravitasi karena ia bertanya secara kritis mengapa benda jatuh ke bawah. Lalu, ia kemudian mencari tahu, mengajukan pertanyaan, melakukan riset, dan mengambil kesimpulan.
“Kalau kita lihat sekarang ini, setingkat mahasiswa saja banyak yang tidak mempunyai keterampilan berpikir kritis. Kenapa begitu? Karena sejak SD hingga SMA tidak terbiasa menerima segala sesuatu yang bersifat keragu-raguan,” tegasnya.
Kultur Masyarakat
Menurut Listiyono, kultur masyarakat kita selama ini menganggap bahwa orang yang berpikir kritis membahayakan bagi pengetahuan mapan (status quo), yang selama ini sudah dianggap benar. Hal itu juga didasarkan pada kecenderungan pengetahuan masyarakat yang sudah dimiliki dan dianggap sebagai kebenaran yang tidak boleh dibongkar dan dipertanyakan ulang.
“Itu menutup kemungkinan anak-anak menemukan sesuatu yang baru. Seharusnya model pembelajaran kita memberikan ruang yang sebesar-besarnya untuk melahirkan sebuah pikiran kreatif dan kritis. Toh kalau (Rafi) mengkritik sekolah, misalnya, lembaga pendidikan, guru harus siap menerima pertanyaan seperti itu,” sambungnya.
Dalam hal tersebut, Rafi membedakan antara pendidikan dan dan sekolah. Sekolah merupakan bagian kecil dari proses pendidikan. Dan, pendidikan dapat berlangsung di mana saja, baik pesantren, sanggar, maupun keluarga.
“Dan, masyarakat tidak bisa menerima itu. Mereka menganggap bahwa sesuatu yang baru ini membahayakan. Ini cara berpikir status quo yang tidak boleh diusik,” pungkasnya.