Menyoal ‘Organisasi’ Tradisi “Bukber” Kita

  • Whatsapp

Oleh: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Tinggi PTA Jayapura)

Menjelang isyak seorang suami terlihat terus terdiam. Ketika itu sang istri yang biasa ceria, tiba-tiba terlihat bermuram durja, sewot, dan sesekali bergumam sendirian. Suami segera paham, mengapa istrinya demikian. Mungkin menurutnya penyebabnya terlihat sepele, namun tentu tidak demikian bagi istri. Hidangan buka di meja makan, dengan segala bentuk dan variasinya, terlihat nyaris tak tersentuh. Pasalnya, suami dan anak-anak yang biasa berkerumun bersamanya untuk menyerbu bersama-sama hidangan menu buka tersebut, hari itu tidak ikut menyentuhnya karena baru memenuhi undangan buka bersama di ranahnya masing-masing. Anak-anak yang besar harus berbuka bersama di sekolah mereka, sedangkan suami (ayah) harus memenuhi undangan buka bersama di rumah salah seorang koleganya. Istri yang tinggal sendirian bersama si kecil jelas tidak mungkin menjadi “badal” (pengganti) untuk menghabiskan menu buka yang terhampar di meja. Melihat menu buka yang nyaris utuh di meja, tentu istri mana yang tidak kecewa. Kekecewaannya setidaknya disebabkan oleh 2 hal. Pertama, karena merasa jerih payahnya menyiapkan pernik-pernik hidangan demi keluarga sia-sia. Kedua, yang lebih penting karena alasan ekonomis, yaitu harus mengeluarkan uang belanja yang tidak sesuai keperluan.

Narasi di atas memang hanya sebuah ilustrasi, akan tetapi bukan mustahil terjadi di dunia nyata. Atau, jangan-jangan ilustrasi itu pernah terjadi pada keluarga anda, yaitu akibat buka bersama yang tidak ‘terorganisasi’ dengan baik, bisa mengakibatkan, salah satunya, disharmoni dalam keluarga.
Tradisi “Bukber”
Berbagai keunikan biasa terjadi di setiap bulan Ramadhan ini. Salah satu keunikan yang sampai kini dilakukan oleh kaum muslimin adalah acara berbuka bersama. Acara yang kini sering disingkat “bukber” ini tampaknya, dari tahun ke tahun semakin bervariasi. Variasi itu terjadi, baik penyelenggaranya, tempatnya, kemasan acaranya, dan tentu menunya. Tidak hanya diselenggarakan oleh keluarga, tetapi tidak jarang juga oleh kantor atau instansi. Tidak hanya oleh orang tua tetapi juga telah menjadi bagian tren anak-anak muda. Menu yang disajikan pun bervariasi, dari yang hanya biasa sampai mewah.
Landasan “naqli” yang termasuk dijadikan argumen bukber oleh para pendakwah adalah sebuah hadits yang berbunyi; “Barangsiapa memberi buka (makan) orang yang berpuasa, maka ia memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa mengurangi sedikit pun pahala orang yang berpuasa itu” (HR. Tirmidzi, dari Yazid bin Khalid Al-Juhanniy). Pada kesempatan lain rasulullah SAW juga pernah menganjurkan makan bersama. Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Abu Dawud, bahwa “Para Sahabat Nabi Muhammad SAW bertanya, “Mengapa makan tidak kenyang?” Kemudian, Nabi balik bertanya, “Apa kalian makan sendiri?” Para sahabat menjawab, ‘iya’,” Kemudian Rasulullah SAW menjawab lagi, “Makanlah kalian bersama-sama dan bacalah basmalah, maka Allah SWT akan memberikan berkah kepada kalian semua,” (HR Abu Dawud).

Dalam konteks sosial, tradisi bukber sebagaimana selama ini terselenggara, tampaknya mempunyai sejumlah sisi positif, seperti menjaga silaturahmi, kerukunan tetangga, menumbuhkan sikap mental berbagi antar sesama dan yang jelas: “menggembirakan”. Meskipun demikian, tradisi tahunan ini tampaknya perlu terus ‘dievaluasi’ oleh semua pihak. Kesempatan waktu makan yang sempit (antara maghrib dan isya) dan pada saat sama menu buka yang berlebih-lebihan, sering mengakibatkan makanan ‘sisa buka’ harus dibuang percuma. Mau dibagikan kepada yang memerlukan pun, belum disiapkan data siapa yang harus menerima. Dengan demikian bukber berpotensi membuka peluang terjadinya “tabdzir” (pemborosan) atau menyia-nyiakan makanan. Padahal, di luar masih sangat banyak masyarakat yang kekurangan makanan. Pada saat yang sama bukber ini juga sering tidak tepat sasaran. Masyarakat yang diundang terkadang tidak diprioritaskan masyarakat yang sepatutnya lebih berhak diundang, seperti fakir miskin. Bahkan, sering terjadi masyarakat kurang mampu merasa canggung untuk hadir ketika yang hadir dalam acara bukber, banyak orang kaya dengan penampilan gemerlap mereka.
Di luar itu, bukber mestinya dijadikan sarana ajang mempererat keluarga. Ketika banyak dalil, baik dari Al Qur’an atau al Hadits, yang memberikan petunjuk pentingnya silaturrahmi, harus diartikan betapa pentingnya menjaga kerukunan antar keluarga, apalagi di antara mereka ada yang kurang mampu. Kalau demikian, momentum bukber sejatinya juga harus dipandang sebagai pelajaran agar mengenal lebih dekat karakteristik (kondisi sosial ekonomi) keluarga.

Meskipun demikian, hal-hal yang dianggap kontra syariat sedapat mungkin memang sepatutnya dihindari. Atau, bahkan jika tidak mungkin sama sekali menghindari, lebih baik siapa pun tidak perlu menyelenggarakan acara bukber. Ketika rasulullah SAW memberikan motivasi agar memberikan buka “orang puasa”, harus diartikan bahwa orang puasa tersebut adalah orang yang berpotensi mengalami “kesulitan” menemukan menu buka puasa saat waktunya tiba. Kesulitan ini dapat dimaknai 2 kemungkinan: Pertama, kesulitan karena situasi dan kedua, kesulitan karena materi. Kesulitan karena situasi, seperti orang yang sedang dalam perjalanan dan/ atau karena suatu urusan. Sedangkan kesulitan karena materi, seperti orang yang memang benar-benar kurang mampu (fakir miskin).
Intinya, masalah bukber sejatinya adalah masalah pemberian yang berkaitan dengan makanan. Masalah pemberian makanan, pertanyaan utamanya ialah siapa yang paling berhak mendapat pemberian tersebut. Jawaban implementatifnya tentu bisa berbeda tergantung konteks situasi dan kondisi sosial yang ada. Pemikiran dasar ini perlu kita kemukakan, agar jangan sampai acara bukber yang semula dimaksudkan dengan tujuan-tujuan ideal kemudian bergeser menjadi aktivitas rutin yang salah kaprah. Akibatnya, kegiatan yang sering dirancang dan melibatkan orang-orang penting itu, justru terlihat menjadi sebuah aktivitas tidak cerdas. Bukber menjadi aktivitas tidak cerdas, ketika momen itu hanya berupa kegiatan “makan bersama” antar teman atau antar jam’ah masjid belaka. Apalagi, jika sampai bertetangan filososi puasa, yaitu “menahan diri”. Khusus bagi kehidupan keluarga, jangan sampai bukber menjadi bibit disharmoni dalam keluarga. Sebagai contoh, kehangatan bersama keluarga saat berbuka justru sering terganggu hanya karena maraknya acara bukber di luar rumah yang tidak terorganisasi secara baik, seperti yang diilustrasikan pada bagian awal tulisan ini. Wallahu a’lam.

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait