Merajut Asa Lewat Gunungan Sampah

  • Whatsapp

Ilustrasi (Istimewa)

beritalima.com | Bau tak sedap dan pakaian lusuh di tubuhnya sudah menjadi kesehariannya. Jalan demi jalan ditelusurinya, gang demi gang di masukinya , mengangkut gunungan sampah di setiap depan rumah dengan sigap tanpa ragu. Gerobak sampah dan sapu lidi menjadi saksi bisu sang pahlawan lingkungan dalam menjalankan tugasnya mewujudkan lingkungan yang sehat.

Pahlawan tidak hanya ada di komik, film, atau buku novel. Di sekitar kita, ada juga pahlawan yang hanya merupakan manusia biasa tanpa kekuatan super. Pahlawan itu hanya bermodalkan sapu lidi dan gerobak untuk menjaga lingkungan tetap bersih. Pahlawan itu adalah tukang sampah. Tukang sampah adalah pahlawan lingkungan yang sesungguhnya. Tukang sampah adalah satu contoh orang berjasa yang seringkali tidak dihargai.

Pekerjaannya yang sangat rawan dengan penyakit dan tidak ada jaminan keselamatan kerja dari pemerintah.Pekerjaan dengan resiko tinggi,namun upah yang didapat tak seberapa. Banyak orang yang tidak memberikan apresiasi terhadap mereka, padahal tukang sampah yang juga berjasa dalam menjaga lingkungan dan kebersihan.

Namanya Solihin, tukang sampah yang berusia 50 tahun merupakan seorang tunawicara. Meski seorang tunawicara, Solihin tidak pernah lelah dalam menggeluti profesi ini. Solihin sudah berkerja sebagai tukang sampah selama 14 tahun. Solihin sudah merasakan pahit manisnya pengalaman sebagai pengangkut sampah. Umur yang semakin uzur, tak membuatnya menyerah untuk mencari sesuap nasi. Hanya bermodalkan gerobak kecil dan sapu lidi, Solihin sudah siap bertempur melawan kerasnya hidup di Jakarta demi upah yang tak seberapa.

Pernah suatu kali, Solihin dihina oleh seorang warga di salah satu perumahan dengan memanggilnya “Si gagu” hanya karena ia lupa mengembalikan tong sampah seperti semula.

Solihin juga pernah mendapat apresiasi oleh salah satu warga dengan diberikan uang tips sebesar Rp 200 ribu sebagai bentuk terima kasih sudah mengangkat tumpukan sampah.

Dalam melakukan pekerjaannya, Solihin dibantu oleh temannya. Dengan gerobaknya, setiap hari ia berkeliling mengangkut sampah dari tempat pembuangan di rumah-rumah penduduk.Sampah-sampah itu kemudian dibawa ke tempat pembuangan sampah dekat Perumahan Sunter Agung, Jakarta Utara.

Pekerjaan yang berat dengan upah yang kecil untuk hidup di Jakarta tidak membuat Solihin ragu dalam menjalaninya. Terbukti, ia bisa menyekolahkan ke-3 anaknya. Ia selalu menjalankan perkerjaan itu dengan gigih dan bersungguh-sungguh, meskipun banyak orang memandangnya rendah. Ia tidak merasa malu, karena menurutnya, tukang sampah adalah pekerjaan yang mulia.

Bekerja banting tulang harus dilakukan Solihin untuk menafkahi keluarganya. Tidak dihiraukan terik matahari dan bau tak sedap di tubuhnya, demi menyongsong kehidupan istri dan anaknya.

Setiap hari, tepatnya pukul 07.00 pagi, ia terbangun untuk menghadapi kerasnya hidup di Jakarta demi kelangsungan hidupnya. Setiap paginya, Solihin mulai menarik gerobak sampahnya untuk menjalankan tugasnya, yaitu menciptakan lingkungan yang bebas dari sampah. Gerobak itu menjadi penampung segala jenis sampah.

Ketika ditemui di kediamannya di Sunter Agung,Jakarta Utara, Solihin tampak lelah, kulitnya kusam, dan menggunakan baju berwarna kuning yang agak kotor. Meski begitu, Solihin tetap tersenyum dan tak pernah menampakkan wajah murung ketika ditemui pada saat wawancara. Dibantu istrinya, Solihin berusaha untuk berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. “Walaupun lelah, semuanya terbayar ketika lingkungan sudah tidak ada sampah,’ ujar istrinya, Ratna, yang menerjemahkan bahasa isyarat Solihin.

Berasal dari Jakarta, Solihin berusaha untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Sebagai tulang punggung keluarga, Solihin harus bekerja lebih keras untuk menjalankan tugasnya.Anak tertuanya, Sahrul, sudah berkeluarga dan bekerja serabutan. Sedangkan kedua anak bungsunya masih mengenyam pendidikan di bangku SMP. Terkadang, biaya pendidikan kedua anak bungsunya dibantu oleh kakaknya. Mereka hidup dalam segala keterbatasan. Tidak ada hura-hura apalagi pesta.

Setiap harinya, ia harus terkena debu polusi dan sinar matahari. Meskipun banyak orang yang memilih pekerjaan yang lebih nyaman, tetapi pria yang hanya lulusan SMP ini tidak pantang menyerah untuk mendapatkan rezeki yang halal. Ia tetap mendorong gerobaknya dari satu rumah ke rumah meskipun raut wajahnya tampak lelah dan keringat tampak bercucuran membasahi bajunya.

Bagi Solihin, yang terpenting adalah bagaimana ia bisa menafkahi istri dan kedua anak bungsunya.Tidak ada alasan yang membuatnya menyerah selain mengingat keluarga kecilnya yang selalu mendukungnya.


Meskipun pekerjaan ini kurang disukai karena dianggap rendah dan menjijikan, tetapi tanpa kita sadari, pekerjaan ini sangat berjasa dalam mewujudkan lingkungan yang asri dan sehat. Berkat jasa mereka, lingkungan menjadi bersih dan sedap dipandang mata. Tanpa mereka, lingkungan bersih hanyalah sebuah angan-angan tinggi.

Maka dari itu, jangan memandang pekerjaan mereka dengan sebelah mata, karena jasa mereka sangatlah besar, sehingga kita semua bisa merasakan lingkungan yang sehat, bersih, aman, dan nyaman.

Audia Natasha Putri
19 tahun
Mahasiswa Politeknik Negeri Jakarta (PNJ)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *