Merdeka Belajar Untuk Para Penyandang Disabilitas di Abad Digital

  • Whatsapp

BANJARMASIN, beritalima.com- Dengan lahirnya UU Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, maka kedudukan penyandang disabilitas sebagai subjek (diakui keberadaannya). Yaitu manusia yang bermartabat yang memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya.

Dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 31 Ayat 1, 2, 3, 4, 5, berbunyi, 1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. 2. Warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya. 3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.4. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. 5. Memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Setiap warga negara Republik Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan setinggi mungkin tanpa memandang latar belakang dan kondisi fisik. Kesempatan yang sama semestinya juga diberikan kepada para disabilitas yang terdiri dari tuna rungu, tuna grahita, tuna daksa, tuna netra dan autisme.

Penyandang disabilitas seyogyanya berhak mendapatkan pendidikan hingga Perguruan Tinggi sebagaimana remaja normal lainnya. Ini menjadi tugas dan kewajiban kita bersama baik pemerintah, swasta, masyarakat maupun keluarga.

Menurut data Survei Penduduk Antar Sensus atau Supas BPS pada 2015, menunjukkan jumlah penyandang disabilitas Indonesia sebanyak 21,5 juta jiwa. Angka ini terus bertambah setiap tahunnya. Data tersebut jauh lebih menggambarkan jumlah penyandang disabilitas di Indonesia dibandingkan survei tiga tahun sebelumnya, yakni pada 2012.

Pada Supas 2012, jumlah penyandang disabilitas di Indonesia tercatat 6 juta jiwa. Tahun 2014 naik menjadi 10 juta difabel.

Mengutip berita dari sebuah majalah yang cukup ternama, ada sebuah divisi yang bernama Unit Layanan Difabel ini berisi relawan yang bertugas membantu mahasiswa berkebutuhan khusus.

“Kami membuka kesempatan yang sama kepada putra-putri Indonesia untuk mendapatkan pendidikan tinggi, termasuk kawan-kawan dengan keterbatasan yang memenuhi persyaratan akademis bisa kuliah di ULM,” kata Wakil Rektor I Bidang Akademik Universitas Lambung Mangkurat, Aminuddin Prahatama Putra, di Banjarmasin,beberapa waktu lalu.

Menurutnya, Universitas Lambung Mangkurat merupakan satu-satunya perguruan tinggi di Kalimantan yang memiliki layanan khusus difabel. Dengan begitu, segala keperluan mahasiswa penyandang disabilitas akan dibantu melalui unit tersebut. Sehingga mereka merasa nyaman belajar.

“Keberadaan unit layanan difabel menyadarkan kita bahwa teman-teman disabilitas juga punya hak dan kewajiban yang sama,” katanya.

Aminuddin berharap, para orang tua tak perlu khawatir atau berkecil hati dengan anak-anak mereka, terutama yang berkebutuhan khusus. Penyandang disabilitas, menurutnya lagi, juga butuh pengetahuan dan mampu mengukir prestasi di bidang masing-masing.

Pada tahun akademik 2019-2020, Universitas Lambung Mangkurat menerima delapan mahasiswa difabel. Mereka terdiri dari tunanetra, low visiaon, tuli, dan autistik. Selain menyediakan Unit Layanan Difabel, ia berjanji memperbaiki berbagai fasilitas penunjang pendidikan untuk mahasiswa difabel.

Itu hanya sedikit contoh dari Perguruan Tinggi yang peduli disabilitas. Tentunya ada juga beberapa Perguruan Tinggi yang peduli dengan pendidikan lanjutan penyandang disabilitas yaitu UI, UNJ, UPI, UIN Ciputat. Namun sepertinya jumlah itu masih amat sedikit dan sangat terbatas serta quotta penerimaan penyandang disabilitas yang sangat minim jumlahnya.

Sementara itu, Kementerian Sosial dengan pelayanan publik, yaitu BBRSPDI Temanggung, saat ini hanya menerima sekitar 75 siswa/i usia minimal 15 tahun, seluruh Indonesia dengan masa rehabilitasi sosial 6 bulan.

Demikian juga beberapa Balai Rehabilitasi Sosial lainnya di bawah Kemensos, menerima siswa penerima manfaat dengan quotta yang minim. Setelah lulus sebagian ada yang bisa tersalurkan bekerja namun sebagian lagi putus sekolah dan akhirnya menjadi pengangguran disabilitas. Jika diamati dari syarat penerimaan karyawan juga para penyandang disabilitas sudah terdiskriminasi yaitu aturan sehat jasmani dan rohani.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibawah Nadiem Anwar Makarim, yang diharapkan memberikan angin segar dan pencerahan terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia, terlihat belum menyentuh ranah pendidikan lanjutan untuk penyandang disabilitas hingga dapat memperoleh kesempatan seluas-luasnya meneruskan pendidikan setinggi-tingginya terkait haknya sebagai bagian warga negara RI sesuai ketrampilan, bakat dan talentanya.

Mendikbud RI Nabiel Anwar Makarim dan jajaran teamnya terlihat masih sibuk menggodok 4 kebijakannya yaitu USBN, UN, RPP, Zonasi dan pendataan gedung-gedung sekolah yang roboh, kurang layak pakai.

Kementerian Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan Anak, Kementerian Hukum dan HAM RI juga sangat diperlukan peran serta dalam memperjuangkan pendidikan lanjutan ke perguruan tinggi untuk para penyandang difabel sehingga setara dengan warga negara yang lain.

Jadi, sampai kapankah para penyandang disabilitas memperoleh pemenuhan haknya untuk dapat melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi sesuai UU Nomor 8 tahun 2016. (Lily).

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *