Mimpi Besar yang Dirajut Tekad

  • Whatsapp
Ilustrasi foto: Randy Tarampi/Unsplash

beritalima.com | Semua bermula dari percakapanku dengannya sewaktu masih memakai seragam putih biru. Kami bersandar di balkon lantai dua sekolah yang menghadap langsung ke lapangan basket. Saat itu, lapangan basket dipenuhi oleh anak-anak kelas lain yang sedang berolahraga. Suara riuh permainan basket tidak membuat percakapan kami terganggu, justru sebaliknya, topik yang kami bahas semakin dalam. Sebuah pertanyaan kemudian meluncur dari mulutku, “Punya mimpi yang ingin dicapai?”

Pertanyaan itu muncul karena aku tidak bisa membayangkan mau seperti apa masa depanku. Waktu SD, aku bermimpi untuk diterima di SMP dan SMA terkenal, lalu melanjutkan kuliah di luar negeri. Mimpi itu membuatku selalu berusaha menjadi yang terbaik di kelas. Sayangnya, lambat laun segalanya menjadi kabur dan bukan lagi prioritas. Untuk waktu yang cukup lama aku merasa hilang arah, hanya fokus pada apa yang bisa kulakukan. Jadi, begitu ia meresponku dengan senyuman lebar dan mata yang berkilat-kilat, aku terkejut. Tidak siap dengan antusiasmenya, tekadnya, dan mimpi besarnya.

“Seorang dokter. Mungkin spesialis bedah jantung. Kalau bisa, sih, lulusnya dari Universitas Padjadjaran.”
Jawabannya tidak ada keraguan, seolah ia telah menghafalnya di luar kepala. Bagiku, yang tidak memiliki mimpi yang utuh, mendengar mimpinya yang begitu spesifik seperti sebuah titik balik.
Suatu hari, di tahun keduanya sebagai pelajar SMA, aku bertandang ke rumahnya bersama beberapa temanku untuk merayakan hari ulang tahunnya. Ia belum pulang sekolah, jadi kami menunggu di kamarnya. Saat itu, aku tidak sengaja melihat kertas rapornya di meja belajar dan terkejut melihat hasil nilainya yang jauh di atas rata-rata.

Sebagai sesama siswa jurusan IPA, aku tahu sulitnya meraih nilai-nilai tersebut. Sekali lagi, aku teringat mimpinya. Untuk bisa diterima di perguruan tinggi negeri saja sudah sulit, apalagi di jurusan kedokteran, yang mana memiliki tingkat kesulitan yang berbeda dengan persaingan yang ketat.

Setelah mencari tahu lebih jauh—mengingat kami tidak satu SMA—ternyata ia meraih peringkat satu di kelasnya dan peringkat dua secara keseluruhan di sekolahnya. Pencapaiannya itu merupakan sesuatu yang luar biasa lantaran temanku itu tidak begitu menonjol secara akademis saat SMP. Ia tidak pernah masuk sepuluh besar sebelumnya, tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, dan tidak terlalu aktif di kegiatan sekolah. Jadi mendengar prestasinya selama SMA membuatku kagum dan termotivasi. Jika ia bisa, maka aku juga bisa.

Nilai-nilainya selama di SMA tidak diraih dengan mudah. Ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk belajar dan mengulang materi yang telah dipelajari di kelas. Salah satu metode belajarnya melalui kursus daring. Ia mengikuti beberapa les untuk setiap mata pelajaran yang sulit. Hampir tiap malam ia melatih hasil belajarnya dengan mengisi soal-soal yang didapatnya dari buku dan internet. Untuk sekian waktu, kami jadi jarang bertemu, aku pun tidak ingin memecah fokus belajarnya.

Pada tahun 2016, ia lulus dari salah satu SMA favorit di Kota Bogor dengan nilai terbaik dan diterima di jurusan kedokteran, Universitas Indonesia, melalui jalur SNMPTN. Ia mencetak sejarah bagi sekolahnya karena menjadi satu-satunya lulusan yang pernah diterima di jurusan, universitas, dan jalur tersebut. Seperti yang diketahui, jalur SNMPTN merupakan jalur masuk perguruan tinggi negeri melalui seleksi rapor.

Hasil yang diraih olehnya berjuang selama tiga tahun berbuah manis. Setiap waktu, tenaga, uang, dan pikiran yang telah ia curahkan akhirnya menuntun ia selangkah lebih dekat dengan mimpinya. Selain itu, ia diterima di universitas terbaik untuk jurusan kedokteran di negeri ini, sebuah mimpi terpendam yang tidak disangka-sangka dapat terwujud.

Tidak berhenti sampai di situ, kerja kerasnya tetap ia lanjutkan semasa mengikuti kuliah. Bukan berasal dari keluarga dokter, ia sempat merasa pesimis, rendah diri, dan kesulitan untuk bisa menyaingi teman-temannya yang prestisius dari segi latar belakang sosial dan akademik. Namun, mengetahui semua itu tidak bisa diubah, ia memilih untuk fokus pada studinya dan aktif di organisasi—sesuatu yang sempat ia lewatkan saat sekolah dulu.

Berkat ketekunannya, pada tahun 2018, ia dipercaya menjadi ketua untuk menaungi sebuah organisasi mahasiswa kedokteran di kampusnya. Lewat organisasi tersebut, ia telah banyak mengikuti berbagai konferensi nasional dan internasional, kegiatan sosial dan pelayanan kesehatan, serta bertemu dengan mahasiswa-mahasiswa kedokteran dari berbagai penjuru Asia. Baginya, selain mengasah kemampuan dan memperluas relasi, menjadi bagian dari semua pengalaman itu telah mengubah hidup dan cara pandang hidupnya.

Pernah suatu waktu, ia datang ke kampusku—yang kebetulan satu lingkungan kampus dengannya—untuk meminjamkan kamera. Kami tenggelam dalam percakapan singkat yang bermakna. Salah dua topiknya tentang bagaimana mimpinya menjadi dokter akan segera terwujud dan bagaimana hobi menulisku akan berubah menjadi profesi yang serius. Kami membicarakan kemungkinan-kemungkinan di masa depan, sesuatu yang saat masih SMP tidak mampu kubayangkan.

Pada akhir tahun 2019, ia menyelesaikan sidang skripsinya dan lulus lebih cepat, kemudian melanjutkan koas di paruh awal 2020.
Kami berteman baik untuk waktu yang lama, melihat perkembangan satu sama lain, mengetahui kegagalan dan keberhasilan masing-masing. Sosoknya merupakan definisi dari mimpi yang terwujud melalui tekad, kerja keras, dan keberanian untuk memperjuangkan prosesnya.

Selama masih ada mimpi, maka harapan pasti ada. Setiap orang bisa menggantungkan mimpinya setinggi mungkin, tinggal bagaimana harus bekerja dan berpikir lebih keras untuk menemukan cara menggapainya.
Bermimpilah, Tuhan tidak pernah tidur saat memeluk mimpimu.

(Safira Ginanisa/Politeknik Negeri Jakarta)

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait