Minyak Goreng, Hukum, Dan Janda

  • Whatsapp

Oleh: Asmu’i Syarkowi
Kini minyak goreng langka. Keusulitan mencarinya nyaris seperti mencari kuda yang bisa terbang. Ketika ibu-ibu pada meributkan kesulitan mencarinya, saya nyaris tidak percaya. Tetapi, ketika melihat langsung di lapangan saya baru yakin dan percaya bahwa isu kelangkaan minyak goreng bukan sekedar isapan jempol belaka. Survei membuktikan, di hampir semua gerai minimarket dan mall besar kosong mlompong. Kelangkaan ini mirip kelangkaan susu beruang (susu sapi murni ) kemasan saat diisukan dapat membuat daya tahan tubuh kebal corona beberapa waktu lalu. Susu kaleng yang biasanya dijual per-kaleng 8 ribu itu dijual dengan harga sampai tembus 15-18 ribu per-kaleng.

Apakah minyak goreng bener-benar habis hingga harus mengalami kelangkaan? Atau, adakah yang menggunakan minyak goreng dalam jumlah besar dalam sebulan terakhir. Atau, bahkan adakah selompok manusia yang kini tidak lagi minum dan mandi menggunakan air tetapi menggunakan “bimoli” dan sejenisnya? Sejumlah pertanyaan dari yang bersahabat sampai ke pertanyaan konyol dapat saja kita ajukan untuk membangun asumsi. Termasuk asumsi, apakah di balik isu ini ada pemain politik ekonomi kelas tinggi. Tetapi asumsi apapun yang kita munculkan, mungkin kita sepakat, bahwa kelangkaan minyak goreng kali ini, dengan mengambil pelajaran kasus sebelumnya, memang tidak wajar. Pada kasus-kasus sebelumnya, selalu saja terbukti ada ‘pemain’ di balik gejolak kelangkaan bahan pokok tertentu. Kita juga heran, dalam kondisi harga minyak normal, beberapa saat kemudian tiba-tiba bermunculan toko tidak resmi yang menjual barang tertentu yang pernah mengalami kelangkaan. Dari mana mereka mendapat barang dagangan itu. Hasil hipotesis kita barang-barang itu, jangan-jangan didapat ketika oknum itu berhasil mengumpulkan barang yang sebelumnya langka. Tampaknya oknum tadi malang, karena barang yang dikumpulkan tidak berhasil dijual habis dengan harga mahal sebagaimana diharapkan.

Di negeri pancasila ini, peristiwa kelangkaan demi kelangkaan sudah sering terjadi. Beberapa waktu lalu ibu-ibu mengeluhkan harga cabe yang melangit. Beberapa saat kemudian terjadi kelangkaan bawang putih; belum selesai bawang putih disusul kelangkaan kedelai. Beberapa kasus mengenai kelangkaan tersebut beberapa di antaranya mendapat pembenaran logika. Kasus cabe misalnya, harga tinggi disebabkan oleh faktor cuaca. Bawang putih mahal karena faktor transportasi. Seiring dengan kemajuan tingkat pendidikan sekalipun bukan sarjana ekonomi, tampaknya kini banyak orang yang faham ‘hukum ekonom’. Dalam hal ini, hukum permintaan dan penawaran. Permintaan dan penawaran merupakan salah satu hukum dasar yang digunakan dalam ilmu ekonomi. Hukum permintaan dan penawaran bertujuan untuk menjelaskan hubungan antara harga dan ketersediaan suatu barang atau jasa. Baik permintaan (demand) maupun penawaran (supply) bersifat saling berlawanan. Hal ini nantinya yang akan memengaruhi harga barang atau jasa sesuai dengan pasar. Kondisi tersebut digambarkan ke dalam kurva permintaan dan penawaran. Hukum ekonomi demikian sering bisa menciptakan celah permainan hukum rimba. Orang yang yang punya jaringan akan bisa menciptakan suasana tertentu guna maraup keuntungan berlimpah. Jaringan dimaksud misalnya para pemilik modal berkolaborasi dengan oknum alat kekuasaan. Permainan mereka sangat canggih sehingga orang kecil hanya dapat mengetahui efeknya tanpa mengetahui akar masalahnya.

Salah satu permainan kasar yang sering terjadi di balik kelangkaan bahan pangan ini ialah penimbunan barang. Apakah kelangkaan ini akibat ulah para spekulan menimbun barang? Dari latar belakang fenomena di atas bisa saja demikian. Akan tetapi, kelangkaan minyak goreng memang bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Sebagaimana dijelaskan oleh Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Oke Nurwan (kompas.com, 26/11/2021), bahwa kenaikan harga minyak goreng lebih dikarenakan harga internasional yang naik cukup tajam. Selain itu, faktor yang menyebabkan harga minyak goreng di Indonesia mahal adalah turunnya panen sawit pada semester kedua. Akibatnya, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng. Selain itu, faktor yang menyebabkan harga minyak di Indonesia mahal adalah turunnya panen sawit pada semester kedua. Sehingga, kata dia, suplai CPO menjadi terbatas dan menyebabkan gangguan pada rantai distribusi (supply chain) industri minyak goreng. Penyebab lain yang menyebabkan naiknya harga minyak goreng yakni adanya kenaikan permintaan CPO untuk pemenuhan industri biodiesel seiring dengan penerapan kebijakan B30. Faktor lainnya, yaitu gangguan logistik selama pandemi Covid-19, seperti berkurangnya jumlah kontainer dan kapal.

Terlepas dari penjelesan-penjelasan tingkat tinggi yang sering sulit dicerna orang awam tersebut, masyarakat awam memang sering mengalami kepanikan menghadapi gejolak kelangkaan. Ironisnya, reaksi menyikapi kelangkaan kadang-kadang sering disikapi dengan aji mumpung. Mumpung masih banyak barang lalu memborong barang melebihi keperluan wajar seperti biasanya. Mereka melakukan penimbunan stok kebutuhan tidak bermaksud untuk diperdagangkan tetapi hanya untuk keperluan pribadi. Tetapi secara diam-diam ada pula sekelompok orang yang menimbun barang dengan dengan maksud mencari keuntungan besar, Mareka seolah tidak peduli dengan penderitaan sesama. Ibarat menari di atas penderitaan orang lain. Ulah para spekulan ini sering lambat terdeteksi oleh para penegak hukum. Kiprah gilanya sering baru terendus ketika orang banyak sudah ‘menggelepar kesakitan’. Salah satu tujuan UU 7 Tahun 2014 tentang perdagangan ialah menjamin kelancaran distribusi dan ketersediaan barang. Bagi para spekulan yang berusaha memanfaatkan aji mumpung dengan menimbun barang, hukum sudah memberikan ancaman pidana. Sesuai Pasal 107 UU Nomor 7 Tahun 2014, pelaku usaha yang menyimpan barang kebutuhan pokok dan/atau barang penting dalam jumlah dan waktu tertentu pada saat terjadi kelangkaan barang, gejolak harga, dan/atau hambatan lalu lintas perdagangan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana dendapaling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

Penegak hukum, dalam hal ini (polri, jaksa, dan hakim) jelas mempunyai peran penting. Peran penting ini bisa ditunjukkan dengan selalu memonitor ulah para spekulan. Temuan POLRI adanya minyak goreng sebanyak 92.676 kotak seberat 1.138.361 kilogram di gudang milik PT Salim Ivomas Pratama Tbk perlu dilanjutkan dengan temuan-temuan berikutnya. Mengapa? Masyarakat sudah terlanjur menduga, bahwa kelangkaan minyak goreng ini diduga juga diakibatkan oleh para spekulan. Kasus ‘kelangkaan masker’ dan sejumlah alat kesehatatan yang barkaitan dengan pengendalian virus corona bebarapa waktu lalu menjadi dasar asumsi masyarakat mengenai hal ini. Penegak hukum perlu terus mengayomi masyarakat dengan melakukan tindakan hukum denga tegas dan terukur. Saat seperti ini justru harus dipandang sebagai upaya menunjukkan kinerjanya kepada bangsa dan Negara. Kaitannya dengan para penegak hukum kelangkaan minyak goreng ini, yang ditakutkan masyarakat ialah adanya anomali hukum. Hukum yang “mengatur perdagangan” berubah menjadi “perdagangan hukum”. Akibatnya, benang kusut mengenai jalannya perdagangan sulit diurai, akibat banyak penegak hukum terlibat praktek dagang hukum.

Problem kelangkaan kebutuhan bahan pokok yang terjadi secara beruntun sudah berakibat menimbulkan kesengsaraan masyarakat. Akhir-akhir ini, tampaknya masyarakat terus didera kelangkaan demi kelangkaan berikut melambungnya beberapa bahan pokok. Padahal, pandemi beserta dampak ikutan yang ditimbulkan telah menjadikan masyarakat kalang kabut. Ekonomi masyarakat sudah banyak yang dalam posisi “lebih besar pasak dari pada tiang”. Padahal kita tahu, ketahanan ekonomi pada umumnya menjadi soko guru keharmonisan keluarga. Banyak rumah tangga yang dulu dibangun sekedar atas dasar cinta pada akhirnya runtuh ketika ‘asupan gizi’ tidak lagi mamadai. Dalam kasus nyata, pengadilan agama lebih sering menerima perkara pengajuan cerai karena alasan ekonomi. Sebagaimana tercatat dalam data statistik, saat ini hampir semua pengadilan agama kini lebih banyak menerima kasus perceraian dengan acara cerai gugat ( yaitu, perceraian yang diajukan istri) dari pada kasus cerai talak (perceraian yang diajukan suami). Maraknya perceraian dan pada akhirnya melahirkan janda-janda baru itu kini lebih dipicu oleh problem ekonomi keluarga. Gangguan ekonomi keluarga saat ini, salah satunya adalah akibat tingginya harga-harga bahan pokok yang untuk kali ini, akibat kelangkaan minyak goreng. Lalu, akankah kelangkaan minyak goreng ini juga akan memberi andil menambah jumlah janda-janda baru? Pernyataan demikian jelas bukan mengada-ada. Setidaknya, Mbak Puan dalam kepasitasnya sebagai Ketua DPR, sebagimana dimuat Tempo ( 10/03/2022 ) setidaknya pernah mengingatkan dampak ini. “Kelangkaan Minyak Goreng Bisa Timbulkan Kegaduhan”. Semoga tidak ah….

beritalima.com
beritalima.com

Pos terkait