Jakarta – beritalima.com, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk menolak keseluruhan uji materi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika soal penggunaan ganja untuk medis. Penolakan tersebut tertuang denga nomor 106/PUU-XVIII/2020 tanggal 20 Juli 2022.
“Mengadili, 1. Menyatakan permohonan Pemohon V dan Pemohon VI tidak dapat diterima. 2. Menolak permohonan para Pemohon untuk seluruhnya,” demikian bunyi putusan MK.
Kendati MK menilai narkotika golongan 1 yang hanya diperuntukkan untuk penelitian ilmiah saja, namun, MK juga membuka opsi kajian mendalam dengan mengajak Kementerian Kesehatan.
Dalam pertimbangannya, MK berpandangan meski berbagai negara telah mengatur penggunaan beberapa jenis Narkotika Golongan I untuk pengobatan, namun bukan berarti negara-negara lain yang belum mengatur seperti Indonesia juga tidak
mengoptimalkan penggunaan narkotika untuk pelayanan kesehatan.
Alasan MK lainnya, bahwa jenis narkotika yang mungkin dapat bermanfaat untuk pelayanan kesehatan tidak berbanding lurus dengan besar akibat yang ditimbulkan dari tingkat ketergantungannya yang tinggi.
MK juga menyatakan bahwa fakta berbagai negara sudah mengatur hal tersebut, tidak dapat dijadikan parameter untuk diterapkan semua negara karena ada karakter yang berbeda, jenis bahan Narkotika, struktur budaya hukum, sarana prasarana
yang dibutuhkan.
Selebihnya, MK juga menyatakan bahwa ketentuan penggolongan dan pengaturan sebagaimana dalam pasal aquo termasuk dalam open legal policy atau kewenangan dari pembuat undang-undang yakni Pemerintah dan DPR.
Sebelumnya, gugatan terhadap aturan penggunaan ganja untuk medis dilayangkan oleh Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Naflah Murhayanti. Mereka adalah ibu dari penderita celebral palsy. Sedangkan para pemohon dari lembaga yaitu ICJR, LBH Masyarakat, dan Rumah Cemara yang merupakan bagian dari Koalisi Jaringan Advokasi Narkotika untuk Kesehatan yang mengupayakan reformasi kebijakan Narkotika di Indonesia.
Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi untuk mencabut Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf a dan Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang melarang penggunaan Narkotika Golongan I untuk pelayanan kesehatan.
Karena ketentuan tersebut bertentangan dengan UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak atas kesehatan dan Pasal 28C ayat (1) tentang hak untuk memperoleh manfaat dari hasil perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk itu, Koalisi Advokasi Narkotika untuk Kesehatan menyerukan agar:
1. Sebagai open legal policy, maka dalam proses revisi UU Narkotika, Pemerintah dan DPR harus mengkaji ulang pelarangan penuh penggunaan narkotika untuk Narkotika harus menjadi poin penting untuk dihapuskan dalam revisi UU Narkotika.
Dengan revisi ini, maka Pemerintah maupun Swasta sesuai amanat MK akan memiliki peluang besar untuk menyelenggarakan penelitian yang komprehensif dan mendalam tentang penggolongan narkotika, serta teknis pemanfaatan narkotika untuk kepentingan kesehatan, bahkan sampai dengan membangun sistem yang kuat terkait dengan hal tersebut.
2. Pemerintah segera melakukan penelitian dan pengkajian ilmiah terhadap jenis-jenis Narkotika golongan I yang dapat dimanfaatkan sebagai pelayanan kesehatan. Penelitian ini juga penting untuk menghasilkan skema yang jelas dan komprehensif tentang pemanfaatan Narkotika Golongan I untuk kepentingan pelayanan kesehatan.
Sebagai catatan, MK menekankan kata “segera” pada putusannya, sehingga hal ini harus dimaknai tidak boleh lagi ada penundaan dan ketidakpastian dari pemerintah dalam melakukan penelitian narkotika untuk pelayanan kesehatan. Selain itu.
Pemerintah Indonesia juga dapat merujuk penelitian-penelitian lain di luar negeri maupun yang dikelarkan badan PBB seperti kajian pada 2019 dari Expert Committee on Drugs Dependence (ECDD) yang menjadi dasar rekomendasi perubahan golongan dan pemanfaatan ganja untuk pelayanan kesehatan di the Commission on Narcotics Drugs (CND).
3. Bersamaan dengan itu, Pemerintah juga harus memberikan solusi kepada anak-anak yang menderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja. Pemerintah harus membantu memikirkan pembiayaan pengobatan di Indonesia yang tidak tercover BPJS dan peralatan penunjang lain yang berbiaya tinggi.
Diketahui, sidang permohonan perkara ini telah digelar sebanyak sepuluh kali sejak permohonan dikirimkan ke Mahkamah Konstitusi pada 19 November 2020. (Han)